Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Bukan Lautan Tapi Kolam Asam

8 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT tangki biru berukuran 3.000 liter berjejer dikelilingi pagar kayu. Agak ke belakang dari keempat tangki itu, ada sebuah tangki yang lebih besar, berdiamater sekitar 6 meter. Di perut semua tangki, tertulis "PT MHU, Comdev Tahun 2009". Di luar pagar, terpacak sebuah plang dengan logo perusahaan tersebut bersanding dengan logo Kabupaten Kutai Kartanegara.

Tempayan itu sumbangan PT Multi Harapan Utama pada 2009. Kelimanya menampung air yang disedot dari sebuah kolam berukuran sekitar satu lapangan sepak bola, yang berjarak sekitar 500 meter dari situ. Terletak di Desa Margahayu, Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, kolam itu kepunyaan PT Multi Harapan Utama, yang terbentuk dari bekas lubang tambang yang tak diuruk lagi.

Dari tangki-tangki tersebut, air dialirkan ke rumah warga Desa Margahayu untuk mencukupi kebutuhan air bersih. Semula perusahaan yang mengatur pembagiannya. Sejak 2012, pengelolaannya dilanjutkan oleh warga lewat kelompok masyarakat Tirta Pelita Kita. Penduduk mesti menjadi pelanggan untuk mendapatkan layanan.

"Biayanya Rp 5.000 per meter kubik," kata Surati, yang ditemui pada November tahun lalu. Pada bulan itu, ia harus merogoh Rp 389 ribu atas biaya pemakaian air untuk dua rumah: rumahnya dan rumah anaknya yang bersebelahan.

Misto, pengelola Tirta Pelita, mengatakan air disedot dari lubang bekas tambang PT Multi Harapan Utama dengan mesin 4 silinder. Dari tangki, air langsung mengalir ke rumah penduduk di dua dusun di Desa Margahayu. "Kami tak pernah melakukan uji air karena air hanya digunakan untuk mandi dan mencuci," kata Misto.

Tempo melakukan uji laboratorium terhadap kualitas air dari lubang PT Multi Harapan Utama di ALS Laboratory Group di Bogor, Jawa Barat, pada Desember tahun lalu. Sampel air dari tangki penampung air Tirta Pelita menunjukkan tingkat keasaman yang cukup tinggi, pH 3,6. Padahal nilai pH normal antara 6 dan 8--yang artinya air layak dikonsumsi.

Air pun memiliki kandungan logam berat di atas baku mutu. Misalnya mangan 5,85 miligram per liter, seng 0,571 miligram per liter, dan besi 0,683 miligram per liter. Sebagai perbandingan, menurut Sisca Nurhafifa, penyelia laboratorium ALS Laboratory Group, kandungan mangan yang ditoleransi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan paling banyak 4 miligram per liter.

Selain dari tangki Tirta Pelita, Tempo mengambil sampel air dari lubang bekas tambang PT Multi Harapan Utama di Desa Jonggon, tetangga Desa Margahayu. Dari void bernomor 29 dari 56 bekas lubang milik perusahaan tersebut, keasaman air sudah dalam tingkat keasaman normal. Tapi air masih mengandung besi, seng, dan mangan.

Sampel ketiga diambil dari air yang mengalir ke sawah di Desa Jonggon Jaya. Air irigasi bersumber dari sebuah void PT Multi Harapan Utama di desa itu. Pada November tahun lalu, Tempo menelusuri jalur airnya. Air buangan dari bekas tambang tersebut langsung melimpah ke saluran irigasi.

Hasil uji laboratorium memperlihatkan keasaman air sampel ketiga mencapai pH 3,4. Air juga mengandung seng dan besi yang melebihi kadar yang dimaklumi Kementerian Kesehatan. Kandungan besi tak boleh lebih dari 0,3 miligram per liter.

Kandungan logam berat, yakni besi, mangan, timbel, dan seng, juga terdapat dalam sampel terakhir. Air contoh diambil dari air yang dikonsumsi penduduk dan bersumber dari void PT Multi Harapan Utama di Jalan Raya Tenggarong-Kota Bangun Kilometer 15 di Loa Ipuh.

Air dari bekas tambang pernah menyebabkan puluhan orang di Desa Jonggon terserang diare. Pada musim kemarau 2015, penduduk Desa Jonggon mengalami kesulitan air bersih. Mereka kemudian menggunakan air lubang bekas tambang PT Multi Harapan Utama di desanya untuk keperluan sehari-hari. Akibatnya, sekitar 50 warga Jonggon menderita diare. Angkat tersebut masuk kategori kejadian luar biasa.

Tempo berupaya meminta klarifikasi ke PT Multi Harapan Utama. Didatangi ke kantornya di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, pada Desember dan Januari lalu, Presiden Direktur PT Multi Harapan Utama, Boedi Santoso, tak bisa ditemui. Seorang perempuan bernama Heni yang mengaku sebagai asisten Boedi mengatakan bosnya tak ada di tempat. Permohonan wawancara yang diajukan lewat surat juga tak berbalas.

Rendahnya kualitas air juga ditemukan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Lembaga ini menguji sejumlah lubang di lima area konsesi tambang batu bara di Samarinda pada Mei 2016. Hasilnya, kualitas air jauh di bawah angka yang dibakukan pemerintah.

Misalnya, nilai pH air di lubang yang ditinggalkan PT Graha Benua Etam mencapai 3,2--berarti memiliki keasaman tinggi. "Semua sampel yang diambil juga terdeteksi mengandung konsentrasi logam berat," kata Pradarma Rupang, aktivis Jatam Kalimantan Timur. Saat hendak dimintai konfirmasi ke kantor PT Graha Benua Etam di Samarinda, menurut alamat yang tertera di akta perusahaan, perusahaan tersebut sudah tak ada.

Temuan Tempo di lapangan, penggunaan kolam bekas tambang untuk sumber irigasi dan air bersih terjadi di area konsesi sejumlah perusahaan. Beberapa kolam juga digunakan untuk budi daya ikan.

Salah satu penyebab penduduk menggunakan kolam tersebut adalah letaknya yang dekat dengan permukiman. Penelusuran ke beberapa area tambang, sejumlah void jaraknya kurang dari 500 meter dari rumah penduduk. Salah satu lubang PT Graha Benua Etam, misalnya, hanya berjarak 200 meter.

Contoh lain, void nomor 29 milik PT Multi Harapan Utama juga hanya sekitar 200 meter dari tempat tinggal warga. Padahal, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012, jarak antara tambang dan rumah penduduk harus lebih dari 500 meter.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Pengaduan Pengawasan dan Pengenaan Sanksi Administrasi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan penggunaan air dari bekas lubang tambang tak boleh sembarangan. Jika air dari bekas lubang melimpah begitu saja tanpa melewati kolam penampung dan menyebabkan kualitas air yang digunakan penduduk itu di bawah standar mutu, perusahaan bisa dipidana.

"Pemerintah akan menindak jika terbukti perusahaan melakukan pencemaran air dari lubang tambang," ujar Vivien.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Kalimantan Timur Riza Indra Riadi mengatakan perusahaan semestinya rutin melaporkan kondisi kolam bekas tambangnya. Berdasarkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, hasil pemantauan melalui uji laboratorium mestinya dilakukan satu bulan sekali dan dilaporkan ke pemerintah daerah dan BLHD.

Menurut Riza, pengalihan bekas lubang untuk dimanfaatkan masyarakat juga tak mudah. Salah satu syaratnya, kualitas air harus di atas standar mutu, yang diketahui dari uji laboratorium. Perusahaan tak bisa sekadar mengubah rencana reklamasi dan pascatambang, serta memberikan lampiran surat dari masyarakat yang meminta void itu dimanfaatkan.

Mengalirnya air dari bekas lubang tambang langsung ke sawah dan rumah penduduk jelas merupakan pelanggaran. Menurut Riza, jika air langsung dipakai tanpa diendapkan dulu di kolam penampung, berarti perusahaan membuang limbah tanpa izin. "Air yang keluar dari tambang aktif atau void hitungannya limbah," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus