APAKAH Ethiopia akan menjadi semacam Vietnam-nya Uni Soviet? Ini
pertanyaan yang menggantung dan mencemaskan banyak negara Barat
belakangan ini, sementara perang terus berkecamuk di daerah yang
dikenal sebagai Tanduk Afrika ini.
Beberapa tahun terakhir perang gerilya telah berlangsung antara
gerilyawan Eritria yang ingin membebaskan diri dengan pemerintah
pusat Ethiopia di Addis Abeba. Tahun lalu Somalia meramaikan
suasana dengan menyerbu wilayah Ogaden, propinsi Ethiopia yang
berbatasan dengan Somalia, dengan bantuan kelompok-kelompok
setempat yang pro Somalia. Pasukan Somalia berhasil menduduki
daerah yang cukup luas dan mempertahankan daerah yang direbutnya
selama berbulan-bulan.
Akhir tahun lalu wajah pertempuran berubah. Di sana muncul
kekuatan baru yang merubah imbangan kekuatan. Beberapa minggu
setelah Presiden Somalia Muhammad Siad Barre memutuskan
pengusiran 3000 penasehat Soviet dan melarang kapal-kapal Soviet
berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Somalia, "penasehat-penasehat"
Soviet muncul lagi di Tanduk Afrika -- kali ini di Ethiopia.
Uni Soviet secara besar-besaran memberi bantuan militer pada
pemerintah Ethiopia yang dipimpin oleh Letkol Mengistu Haile
Mariam melalui angkutan udara yang dituduh oleh Somalia sebagai
"bantuan melalui angkutan udara yang terbesar dalam sejarah."
Bantuan militer Uni Soviet tidak saja' berupa persenjataaan
modern duri MIG-21 dan 23, perlengkapan radar, sampai roket
peluncur, tetapi juga pilot dan awak pesawat serta beberapa
unit infantri. Tidak cukup dengan itu saja, ratusan pcnasehat
tehnis Jerman Timur, Bulgaria dan tentara Yaman Selatan
didatangkan juga kc Ethiopia. Tetapi jumlah pasukan asing
terbesar di Ethiopia adalah tentara Kuba, yang menurut perkiraan
terakhir mencapai 11 ribu, dan banyak di antaranya yang
diterbangkan dari Angola.
Menuju Jalur Minyak
Munculnya kekuatan baru ini segera menggoncangkan Tanduk Afrika.
Tidak saja gerilyawan Eritria yang terdesak karena hantaman
udara tentara Ethiopia yang menggunakan persenjataan baru dari
Soviet, tetapi juga tentara Somalia terdesak mundur dari wilayah
yang telah didudukinya sejak tahun lalu. Presiden Siad Barre,
yang kabarnya selama ini dibantu secara diam-diam oleh Saudi
Arabia dan Iran karena berusaha mengusir pengaruh Marxis di
negerinya, dengan sia-sia berusaha memperoleh bantuan
negara-negara Barat. Siad Barre menuduh bahwa Uni Soviet dengan
membantu secara besar-besaran Ethiopia berusaha untuk
memancangkan pengaruhnya di Tanduk Afrika untuk digunakan
sebagai pangkalan di Afrika Utara. "Melalui Ethiopia, Uni Soviet
akan dapat mengatur jalur minyak dan jalan laut ke negara-negara
Barat lewat Laut Merah," kata seorang pejabat Somalia bulan
lalu.
Keadaan ini jelas mencemaskan banyak negara Barat. Tapi Amerika
Serikat sendiri selama beberapa bulan mencoba bertahan untuk
tidak melibatkan diri dalam persengketaan ini dengan dalih bahwa
semuanya ini dimulai sendiri oleh Somalia dengan menyerbu dan
menduduki wilayah Ethiopia. Tapi beberapa pejabat tinggi AS
beberapa minggu terakhir ini sudah mengisyaratkan bahwa
penumpukan kekuatan Soviet di Ethiopia akan membahayakan
kelanjutan perundingan pengurangan persenjataan AS dan Uni
Soviet. Pekan lalu ketika harian resmi Uni Soviet Pravda menuduh
bahwa pemerintah Carter berusaha "memeras" Uni Soviet dengan
mengaitkan dua masalah ini Presiden Carter mengakhiri keraguan
tentang sikap AS. Dalam suatu konperensi pers, Carter
memperingatkan Uni Soviet bahwa keterlibatan militernya di
Tanduk Afrika bisa mengganggu persetujuan Konggres pada
persetujuan pengurangan persenjataan AS-Uni Soviet di masa
mendatang.
Dua Jenderal Soviet
Dalam keterangannya di depan Panitia Luar Negeri Senat, Menlu AS
Cyrus Vance membenarkan bahwa dua jenderal Uni Soviet membantu
memimpin pasukan Ethiopia dan Kuba dalam peperangan dengan
Somalia. Di samping 11 ribu tentara Kuba, di Ethiopia
sekarang ini juga ada 1000 penasehat Soviet, kata Vance
Presiden Carter juga menuduh Soviet secara berlebihan telah
mempersenjatai Somalia, yang kemudian menggunakannya untuk
menyerbu dan menduduki Ogaden, wilayah Ethiopia. Kini, kata
Carter, Soviet berganti sekutu dan secara berlebihan
mempersenjatai Etlhiopia.
Carter mengulangi seruannva agar Somalia menarik mundur
pasukannya dari Ogaden, dan juga pasukan Kuba serta Uni Soviet
dari Ethiopia. Menlu Soviet Adrew Gromyko sementara itu
memberikan jaminan pada AS bahwa pasuhan Kuba-Ethiopia tidak
akan menyerbu Somalia setelah merebut kembali Ogaden, yang
diperkirakan akan segera terjadi.
Seruan Carter ini telah membikin jengkel Moskow, tapi jelas AS
terus bersikap hati-hati dalam menghadapi kemelut ini. Carter
misalnya juga menandaskan bahwa AS tidak akan memberi bantuan
persenjataan pada Somalia maupun Ethiopia sampai pertempuran
berhenti di Ogaden.
Uni Soviet sendiri mungkin merasa belum tenteram dengan
kehadirannya di Ethiopia. Rakyat Ethiopia sendiri membenci
kehadiran orang-orang asing ini di negaranya. Di samping itu
Partai Rakyat Revolusioner Ethiopia yang berorientasi Marxis dan
bergerak di bawah tanah mengancam akan membunuh habis semua
orang Rusia dan Kuba. Agaknya Soviet menganggap ancaman ini
serius: semua pejabat tinggi Rusia kalau bepergian diwajibkan
naik mobil berlapis baja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini