Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perempuan dalam Pemilu Afganistan

Perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilu Afganistan kali ini mencatat rekor tertinggi.

19 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perempuan dalam Pemilu Afganistan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABUL - Berbeda dengan di negara lain, menjadi kandidat dalam pemilihan umum di Afganistan tak sekadar menang dan kalah. "Kami seperti menghadapi perang dalam skala kecil. Saya bisa-bisa terbunuh, terluka, atau diculik," kata Dewa Niazai, kandidat perempuan berusia 26 tahun dari provinsi bagian timur Nangarhar, Selasa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan yang memegang gelar sarjana komputer dari India itu merupakan 1 dari 417 kandidat perempuan yang akan bertarung dalam pemilu parlemen Afganistan, besok. Keterlibatan perempuan dalam pemilu kali ini tercatat jauh lebih tinggi dibanding dua pemilu sebelumnya yang digelar pasca-invasi Amerika Serikat pada 2001.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski serangan bunuh diri mematikan terhadap para kandidat-baik perempuan maupun pria-bertujuan memaksa pemilih untuk memboikot pemilu, para kandidat tetap bersemangat. Kekerasan dalam pemilu ketiga sejak invasi Amerika Serikat pada 2001 ini tak memandang jenis kelamin.

Sembilan kandidat, termasuk seorang perempuan, tewas dalam sejumlah serangan terpisah. Dua kandidat lainnya diculik dan belum diketahui nasibnya, sementara empat lainnya terluka.

Namun kekerasan yang dilakukan Taliban dan kelompok Negara Islam itu tak menyurutkan niat Niazai untuk berkompetisi memperebutkan kursi parlemen Afganistan. Ia ingin menjadi suara bagi perempuan yang tidak berpendidikan dan tidak terwakili di parlemen.

Pekan lalu, sebuah ledakan dalam rapat umum pemilihan seorang kandidat perempuan di provinsi timur laut Takhar menewaskan 22 orang dan melukai 35 lainnya. Nazifa Yousuf Bek, sang kandidat, berdiri sekitar 10 meter dari lokasi ledakan.

"Para pendukung sedang menunggu untuk mendengarkan pidato saya. Tapi, dalam beberapa detik, saya dikelilingi oleh potongan tubuh mereka," kata guru berusia 32 tahun itu kepada Reuters. "Saya terguncang, tapi saya juga bertekad untuk melanjutkan kampanye pemilihan. Ini adalah tanggung jawab saya."

Bagi kandidat perempuan, ada tantangan tambahan, kata Maria Bashir, jaksa perempuan pertama di Afganistan dari Provinsi Herat, yang turut mencalonkan diri. "Dibanding kandidat laki-laki, perempuan memiliki lebih banyak masalah dalam pemilihan. Ketidakamanan dan pelecehan menghambat mobilitas perempuan, dan juga membuat keluarga membatasi akses kami," tutur dia.

Seperti kandidat perempuan lain, Bashir menegaskan dia mencalonkan diri dalam pemilihan karena kecewa terhadap kegagalan pemerintah meningkatkan keamanan dan menjaga hak-hak perempuan. Tidak dapat mengadakan rapat terbuka karena masalah keamanan, Bashir pun mengundang pemilih untuk menghadiri diskusi politik di rumahnya, dan berkeliling kota pada malam hari untuk menyebarkan pamflet yang mendorong pemilih untuk memberikan suara mereka.

Sabri Andar-satu-satunya kandidat perempuan penyandang disabilitas-ikut bertarung untuk memperebutkan sebuah kursi mewakili Kabul. Dia mengatakan fokus utamanya adalah memastikan undang-undang hak asasi manusia tidak diabaikan.

"Hukum tentang kesetaraan ada di atas kertas, tapi belum diimplementasikan," katanya. "Sebagai anggota parlemen, saya ingin memastikan Afganistan mempraktikkan apa yang tertulis dalam konstitusi kami."

Meski kampanye hak perempuan telah lama digaungkan setelah tergulingnya Taliban, aktivis perempuan mengatakan tradisi lama seperti pernikahan anak atau pembunuhan perempuan oleh anggota keluarga tetap marak. Remaja putri Afganistan masih menerima pendidikan lebih sedikit daripada anak laki-laki.

Berdasarkan konstitusi baru Afganistan, setidaknya 68 dari 250 kursi di majelis rendah parlemen diperuntukkan bagi perempuan. Kuota ini jauh lebih tinggi dibanding negara-negara Barat lainnya. Dengan 28 persen kursi parlemen yang dikuasai perempuan, jumlah ini jauh lebih tinggi 8 persen dibanding Kongres Amerika Serikat.

Namun kandidat perempuan yang berkampanye di daerah pemilihan mereka mengatakan budaya patriarki Afganistan menyebabkan mereka menghadapi kendala untuk didengar, bahkan jika mereka menang. "Kami dilatih untuk berpakaian dengan cara yang dapat diterima oleh pria. Kami berbicara dengan cara yang tidak membuat marah pria dan, dalam politik, kami diharapkan untuk menenangkan mereka agar tetap relevan," kata Masooda Jalal, mantan menteri perempuan.

Selain menghadapi pelecehan seksual, banyak anggota parlemen perempuan mengeluh tidak dianggap serius oleh rekan pria mereka. Mereka sering dianggap sebagai pajangan untuk memperoleh dana dari kelompok bantuan internasional yang berkomitmen mempromosikan kesetaraan gender.

Nasrullah Stanekzai-seorang profesor ilmu politik di Universitas Kabul dan mantan penasihat hukum Presiden Ashraf Ghani-mengatakan kesetiaan etnis, agama, politik, dan keuangan dari kandidat perempuan membatasi peran mereka. "Calon perempuan memenangi pemilu dengan bantuan politikus laki-laki yang pada gilirannya mengharapkan mereka bekerja sebagai antek di parlemen. Hal ini menyebabkan para perempuan sulit memiliki pendapat independen," kata Stanekzai. REUTERS | CHANNEL NEWSASIA | SITA PLANASARI AQUADINI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus