INI acara tahunan ala pemerintah Burma alias Myanmar. Setiap menjelang 27 Mei, pemerintah Myanmar getol menangkapi orang yang masuk daftar "anak-anak nakal" dan menjebloskan mereka ke hotel prodeo. Mereka yang ditangkap biasanya beridentitas aktivis atau politisi yang kebetulan punya nyali lebih untuk mengkritik junta militer yang berkuasa. Merekalah, begitu tuding para tentara, ancaman terhadap kestabilan dan keamanan nasional.
Kejadian seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun, tepatnya sejak Liga Demokrasi Nasional (National League for Democracy atau NLD) menang besar dalam pemilihan umum 27 Mei 1990 lalu. Sebanyak 392 dari 485 kursi parlemen yang tersedia disabet oleh partai oposisi pimpinan Aung San Suu Kyi, putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, Jenderal Aung San, dan pemenang Nobel Perdamaian 1991 itu. Tapi rezim militer—sudah sejak 1962 ikut campur tangan (meski tak secara terbuka) dalam pemerintahan dan baru pada 1988 terang-terangan merebut kekuasaan—menganggap kemenangan NLD seperti angin lalu. Sejak saat itulah militer rajin membabat bibit-bibit perlawanan yang meremehkan kekuatan mereka.
Meski status Liga Demokrasi Nasional tetap legal, sampai kini sudah ratusan anggota dan simpatisannya yang dipenjarakan. Suu Kyi sendiri sudah menjadi tahanan rumah sejak 1989. Sedangkan parlemen hasil pemilu itu baru dibolehkan bekerja pada 1993, dengan catatan bahwa mereka masih berada di bawah pengawasan dan campur tangan SLORC—Dewan Restorasi Keamanan dan Hukum Negara—badan tertinggi negara yang dibentuk tentara.
Tahun ini, kurang dari sepekan menjelang satu dasawarsa kemenangan NLD, pemerintah sudah menangkap lebih dari 70 anggotanya karena ketahuan memiliki jurnal, disket, atau dokumen ilegal lain yang isinya antipemerintah. Sebagian ditangkap di Yangon, ibu kota Myanmar, dan sebagian lagi ditahan di daerah Taungdwingyi, sebelah utara Yangon. Mereka terkena hukuman penjara antara tujuh dan sembilan tahun.
Seorang anggota parlemen terpilih bahkan ikut ditangkap di Kota Mandalay, wilayah tengah negara di sebelah barat daratan Asia Tenggara ini. Kamis lalu, Than Lwin, anggota NLD yang pada 1990 terpilih mewakili Distrik Mandalay di parlemen, divonis penjara sembilan tahun. Dosanya? Menyampaikan pidato subversif di depan umum dan menuding pemerintah yang bukan-bukan.
Sementara itu, nasib Suu Kyi masih belum berubah. Lulusan Universitas Oxford, Inggris, ini hanya boleh keluar kalau suasana hati pemerintah sedang bagus. Itu pun tentu dalam ruang gerak terbatas. Sambungan teleponnya disadap, surat-suratnya disortir, dan tamu dilarang berkunjung. Lebih jelek lagi, pekan lalu beredar kabar bahwa junta militer, melalui Menteri Dalam Negeri Kolonel Tin Hlaing, telah mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh Suu Kyi.
Tentu saja tudingan yang dilontarkan oleh Front Demokrasi Mahasiswa Myanmar (organisasi politik pelajar Myanmar di pengasingan) itu ditolak mentah-mentah oleh rezim. "Itu cuma bagian dari kampanye kelompok antipemerintah," demikian tulis juru bicara resmi dalam faksimile yang dikirimkan ke berbagai media asing dan dalam negeri. Tanpa menyebutkan nama—seperti kebiasaan para penguasa junta—sang juru bicara juga menyatakan bahwa rumor miring yang merugikan pemerintah begitu bukan hal baru. "Instruksi palsu sering diberikan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab dengan menggunakan saluran komunikasi radio polisi," tulisnya, "dan itu karena mereka punya niat buruk."
Kalaupun kampanye itu dosa, tangan pemerintah sendiri tak sepenuhnya bersih. Belakangan ini, mereka aktif melangsir propaganda melalui media massa yang dikuasai pemerintah. Anggota NLD, demikian tertulis dalam halaman editorial, berkongkalikong dengan pemberontak di perbatasan Myanmar-Thailand. Bahkan, disarankan agar Suu Kyi dan kaki tangannya dieksekusi karena mengkhianati negara. Tuduhan paling gres ini muncul lantaran Suu Kyi terang-terangan mendukung sanksi internasional untuk memaksa pemerintah Myanmar membiarkan tumbuhnya demokrasi.
Suu Kyi dan kawan-kawannya memang terkenal antikekerasan. Meski sudah sepuluh tahun berjuang tanpa hasil yang menggembirakan, mereka tetap enggan mengangkat senjata. "Pertumpahan darah sangat kami hindarkan," kata Suu Kyi. Karena itu, di dalam negeri, mereka setia pada strategi mengajak pemerintah berdialog dengan kalangan oposisi. Sampai sekarang, imbauan ini sekadar masuk kuping kanan pemerintah dan langsung keluar lewat kuping kiri.
Di luar negeri, gerakan oposisi Myanmar di pengasingan gencar melobi agar dunia mau memberikan sanksi internasional, terutama secara ekonomi, kepada negara bekas koloni Inggris itu. Direktur Eksekutif Pemerintahan Koalisi Myanmar di Luar Negeri, Soe Pyne—pekan lalu berada di Jakarta—mengakui bahwa "investasi yang selama ini masuk selalu bekerja sama dengan penguasa." Dan, "Uangnya hanya masuk kantong keluarga mereka," katanya kepada Purwani Dyah Prabandari dan Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Artinya, tutur Soe Pyne lagi, dunia tak perlu khawatir akan konsekuensi sanksi internasional bagi rakyat. Pekerja biasa, yang kini pun tak mampu membeli sekaleng Coca-Cola, tak akan tambah menderita jika pabrik minuman ringan itu angkat kaki dari sana.
Banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Filipina, yang tak mau bekerja sama dengan Myanmar selama junta militer masih bersikukuh tak mau mengubah sikap. Toh, Myanmar masih punya Cina, mitranya dalam perdagangan senjata, dan beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia, yang ingin menggaet Myanmar ke dalam organisasi tersebut dan juga melakukan investasi di negara berpenduduk 48 juta jiwa ini.
Itu tak cukup, tentu saja. Ekonomi negara terus terpuruk. Kelompok oposisi pun semakin yakin, kekuatan rezim militer mulai lemah. Kalau mereka benar, peringatan tahunan menjelang 27 Mei kali ini bisa berarti lain, yakni bukan sekadar arogansi unjuk kekuatan, tapi juga reaksi ketakutan atas ancaman yang semakin besar. Kapan pemerintah Myanmar akan terpojok dan mau duduk berdialog satu meja dengan Suu Kyi dan kawan-kawan? Siapa tahu sebentar lagi.
Wendi Ruky (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini