Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
August Sander merekam jejak peradaban manusia dengan kamera. Karya-karyanya historis dan artistik. Ia seorang seniman dan dokumentator yang brilian. Pertengahan Mei ini, karya-karyanya dipamerkan di Galeri Cemeti, Yogyakarta, dan juga di Jakarta pada Juni mendatang.
Pada suatu ketika, August Sander menghentikan sang kala. Tepat di depan padang rumput yang terhampar luas, picingan matanya mematikan langkah tiga pemuda yang berdandan habis-habisan. Berjas, bercelana, dengan topi laken yang serba hitam dan tongkat tergenggam di tangan kanan. Salah seorang pemuda itu bergaya dengan menggelayutkan sebatang rokok di bibirnya. Serentak ketiga pasang mata itu menerkam kamera.
Sepintas tak ada yang menarik dari foto hitam-putih ini. Ia tak lebih dari sehelai kertas yang menyajikan aksi tiga pemuda kampung di Jerman yang tengah memamerkan busana wol yang ”kuno”.
Namun, ”kuno” tidak identik dengan cacat. ”Kuno” itulah yang membuat gambar memiliki arti. Foto yang bertajuk Jungbauern atau ”Petani Muda” ini direkam pada 1912, dan gambar ini adalah sebuah awal perjalanan peradaban manusia abad ke-20. Gaya busana yang dikenakan, cara matanya menatap kamera, dan gurat raut wajah boleh dikatakan merupakan cikal bakal citra manusia saat ini, setidaknya manusia Jerman.
Petani Muda menjadi jejak awal perjalananan manusia pada awal abad ke-20. Foto ini menjadi sampul buku August Sander yang termasyhur, Menschen des 20. Jahrhunderts alias ”Manusia-Manusia Abad Ke-20”. Petani Muda hanyalah satu dari ratusan potret manusia yang bisa direkam August Sander. Beragam manusia Jerman, dari berbagai status dan golongan masyarakatnya, telah diabadikannya dengan gaya yang nyaris tak berubah.
Walter Benjamin, esais dan kritikus seni pada tahun 1931, menulis tentang karya Sander: ”Penggubah (karya itu) melakukan pendekatan terhadap tugas luar biasa ini tidak selaku cendekiawan dan tanpa ada konsultasi dengan pakar-pakar teori tentang ras ataupun peneliti sosiologi, tapi berdasarkan pengamatan langsung.”
Gaya penyajian Sander adalah pengulangan dan konsistensi. Wajah, busana, dan latar belakang yang kabur menjadi ciri khas fotografinya. Penampilan mereka yang tampak kaku mencerminkan sikap masyarakat Jerman saat itu, yang cenderung konservatif. Karya-karya August Sander adalah dokumentasi sosial pada masanya. Sander mengambil apa saja yang ada di sekelilingnya, yang terkadang berasal dari kehidupan teman-temannya sendiri.
”Jika kita berpikir dalam alur estetis dan tidak mengaitkannya dengan kondisi sosial yang terjadi saat itu, kita akan berhenti dan terjebak. Dan kita tidak dapat menangkap maksud yang ingin disampaikannya,” ujar Firman Ichsan, Ketua Jurusan Fotografi Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, kepada Gita W. Laksmini dari TEMPO.
Karya-karya Sander meninggalkan jejak perenungan. Sander menyerahkan penafsiran masing-masing. Karyanya tidak bersifat instan yang langsung dikunyah penikmatnya. ”Ia memberikan suatu kesan, tempat kita diberi ruang bermain tersendiri. Karena itu, karyanya pun menjadi klasik,” kata Firman.
Bagi fotografer Yudhi Soerjoatmodjo, keistimewaan Sander terletak pada kompleksitas gaya. Secara sadar, Sander telah merencanakan membuat karya yang luas dan besar. ”Sander ingin membuat dokumentasi manusia Jerman berdasarkan tipologi kerja dan sosialnya,” tutur Yudhi, yang kini aktif mengelola Imaging Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang fotografi.
Tak mengherankan jika Sander berhasil memotret hampir semua kalangan, mulai petani, pekerja kasar, industrialis, seniman, pedagang, wartawan, gembel, hingga pedihnya hati orang-orang Yahudi yang dikejar-kejar Nazi.
Karya Sander, di mata Yudhi, memiliki karakter yang kuat. Sander tidak mempersoalkan popularitas obyek fotonya. Justru tipikal orang yang dipotretnya yang menjadi hal penting. Ia memotret karakter subyek dengan serius dan tidak melepaskan status sosial yang melekat. Hal itulah yang membedakan Sander dengan fotografer yang mendokumentasikan orang-orang terkenal.
Hasilnya, foto-foto Sander terlihat begitu hidup. Karyanya menyuguhkan sebuah wajah yang khas dari sebuah penggalan perjalanan manusia, wajah yang bercerita apa adanya tapi tetap berisi. Ia mampu menangkap lecutan emosi yang tersembul dari obyeknya. Hal itu bisa tercipta karena dimungkinkan oleh penguasaan teknik fotografi yang sempurna, seperti yang dikatakan Yudhi, kurator pameran ini, ”Sander memanfaatkan kekuatan fotografi yang ada pada detail karya-karyanya.”
Misalnya, menurut Yudhi, saat Sander memotret seorang bangsawan, Sander memaksimalkan detail pakaian yang dikenakan, janggut yang terjuntai, dan mendeskripsikan alat-alat lain yang dikenakan si subyek. Hal yang sama pun terjadi saat ia merekam gambar tukang masak. Alat-alat masak diangkat menjadi detail yang memperkuat fotonya.
Di saat fotografer lainnya meluncur dalam gaya baru yang memasukkan unsur modernitas, sosialisme, dan menemukan bentuk seni rupa baru yang ditujukan untuk publik, Sander tidak beranjak dari jalur klasik. Tak ada teknik montage, manipulasi, ataupun cropping. Sander masih menggunakan pola lama dengan menempatkan komposisi yang seimbang. ”Dibandingkan dengan sesama juru foto pada masa konstruktivisme ketika itu, Sander sangat konservatif,” kata Firman.
***
Siapakah August Sander? Pria kelahiran Herdorf, 17 November 1876, ini dibesarkan di kawasan pertanian, pertambangan, dan pertukangan di dekat Koln, Jerman. Ayahnya seorang tukang kayu pembuat kerangka penyangga penambangan. Masa kecilnya yang keras membuatnya harus ikut bertahan untuk hidup. Namun, ia tak kehilangan manisnya masa kanak-kanak. Sander kecil tetap bisa bermain di lahan pertanian milik keluarganya. Sesekali, tangannya lincah menggambar.
Hobinya itu kemudian menjadi cikal bakal pergumulannya dengan fotografi, yang belakangan menjadi jalan hidupnya. Pada usia 16 tahun, sang paman menghadiahinya sebuah kamera berukuran 13 x 18 sentimeter. Remaja itu disergap kegairahan. Dibantu sang paman, Sander menekuni hobi yang menurut masyarakat di sana cuma buang-buang duit. Sander membangun kamar gelap dan menekuni fotografi di kala senggangnya sebagai pekerja di perusahaan tambang. Saat itu, Sander telah menjadi seorang fotografer amatir yang lumayan produktif.
Menginjak usia 20 tahun, Sander terpaksa meninggalkan desa kelahiran untuk menjalani dinas kemiliteran di Trier. Meskipun berada dalam ”karantina”, itu tak membuatnya berhenti menikmati hobinya. Kehidupan tangsi militer Trier jauh lebih longgar ketimbang tangsi militer Prusia. Malah, pada saat itu ia masih sempat magang di sebuah atelier (sanggar) foto.
Tiga tahun berikutnya, selepas dari dinas ketentaraan, Sander melakukan perjalanan keliling selama dua tahun ke Magdeburg, Halle, Leipzig, dan Berlin. Ia bertualang di berbagai perusahaan fotografi di kota-kota itu untuk memperdalam pengalamannya. Saat gaya lukisan marak mempengaruhi fotografi di Jerman, Sander masuk Akademi Seni Lukis di Dresden. Masa-masa penggojlokan diri itu diakhirinya sendiri tepat saat pergantian tahun 1901 tiba. Sejak itu, ia bekerja sebagai operator di Atelier Grief, Linz.
Bintang terang menyinari langkahnya. Tak lama kemudian, dengan bantuan seorang pialang yang memberinya uang sebesar 20 ribu kron, Sander membeli atelier itu. Perkawinannya dengan seorang putri sekretaris pengadilan kota itu membuatnya masuk ke lingkungan terhormat. Anna, sang istri, ikut menjalankan usaha fotografi. Order pemotretan dari kalangan borjuis terus mengalir. Hidup Sander pun berubah. Ia tak lagi menjadi pemuda dusun. Pergaulannya itu di kemudian hari mempengaruhi gaya fotografinya saat itu. Sander hanyut dalam gaya fotografi borjuis terpelajar yang membedakannya dengan fotografi massal pada awal perkembangan, yang cenderung bercorak stereotip.
Saat itu pula karier Sander mulai cemerlang. Beberapa fotonya berhasil memenangi tanda penghargaan dalam berbagai pameran internasional. Pada 1904, misalnya, ia meraih dua medali emas di Austria dan Paris. Sedangkan di Leipzig, ia mengantongi hadiah Stifterpreis unter dem hochten Protektorate Sr Majestat des Konigs von Sachsen, atau hadiah sponsor di bawah perlindungan tertinggi yang Mulia Raja Sachsen. Sukses besar itu turut mengubah gaya hidup dan kebiasaannya. Ia mendirikan galeri dan mulai mengenakan kostum dari tekstil mahal. Lukisan Rembrandt terpajang di rumahnya. Itulah simbol status sosialnya yang baru.
Namun, tiba-tiba, pada 1909 ia menghentikan semua usahanya itu karena sebab yang tak jelas. Ia pergi merantau ke Koln-Lindenthal.
Di sana, ia membuka atelier dan menjalankannya seperti yang pernah dipraktekkan di Linz. Ia menyebarkan selebaran promosi kepada orang-orang calon pelanggannya. Namun, ternyata di tempat yang baru itu foto-foto bersahaja dan wajar seperti yang terpancar pada gayanya malah kekurangan peminat. Alhasil, ia harus keluar-masuk kampung mencari order.
Usahanya tak sia-sia. Di wilayah Westerwald, foto-foto hasil rekamannya mendapat respons. Tapi, pelanggannya malah datang dari kalangan bawah, sehingga ia harus memulai dari awal lagi. Kenyataan ini memunculkan kesadarannya akan bakat yang tersembunyi. Selanjutnya, Sander terpacu untuk memperoleh perspektif yang baru tentang hal-hal yang belum pernah diketahuinya.
Sander menjadi lebih mengenali struktur sosiokultural kaum petani wilayah Westerwald. Ia menganggapnya sebagai sesuatu yang unik sehingga layak direkam. Idiom fotografi seni tidak lagi relevan untuk itu. Dia menampilkan orang-orang secara langsung dan dengan gaya sesederhana mungkin.
Dengan cermat, Sander memvisualisasikan sikap tertutup, kekakuan formal, dan teguhnya tradisi yang digenggam petani di daerah Rhein menjelang masuknya industrialisasi. Sander menjelma menjadi seorang manusia di abad mendatang yang meraba obyek-obyeknya dengan pandangan aneh.
Memotret para petani itu bukan lagi menjadi tugas seni, melainkan sosiologis. Ia mencatat aspek kultural historis perbedaan antargenerasi dalam masyarakat petani itu. Ia membuang jauh komersialisme. Pergumulannya dengan para petani ini menjadi titik awal langkah berikutnya. Sejak itu, Sander mulai melakukan pendokumentasian melalui obyek-obyek fotonya. Berbagai aspek lingkungan hidup petani mulai disusunnya dalam sebuah seri dokumentasi.
Namun, pada tahun 1914, ia kembali bergelayut pada art photography. Ia sibuk melayani permintaan kalangan terpandang di Lindenthal. Sementara itu, foto-foto dokumentasinya beralih menjadi kegiatan sampingan. Ia kembali bergelimang dengan kesenangan. Pada suatu hari yang nahas, Perang Dunia I meletus dan merampas kegiatan fotografinya. Aktivitas memotret terhenti seketika, walau sesekali ia sempat memotret di lingkungan kehidupan militer.
PERANG berakhir. Jerman menjadi tumpukan reruntuhan puing. Semua luluh lantak dan kehidupan tak bisa segera bergerak. Semua pupus. Kehancuran ini mengubah dan memperbaharui pemikiran seniman dan intelektual. Kala itu, Sander menggabungkan diri dengan kelompok ”Seniman Progresif Rhein”. Perdebatan dengan Seiwert dan Hoerde, figur sentral kelompok ini, kemudian menumbuhkan keyakinannya bahwa seni lukis dan fotografi merupakan dua hal yang berbeda dan kedua cabang kesenian itu harus menempuh jalannya sendiri.
Pada 1922, Sander membuang segala ambisi dalam dunia art photography. Ia menyelam pada aktivitas fotografi eksak—fotografi yang jelas, tajam, tegas, yang dapat dikenali sebagai produk teknik yang ideal bagi Sanders. Saat perekonomian beranjak bangkit, godaan datang. Pesanan dari dunia industri berdatangan padanya. Namun, ia menampiknya. Selanjutnya, tugas itu diberikan kepada para asistennya. Dia sendiri memfokuskan diri untuk melakukan inventarisasi masyarakat. Sebuah pekerjaan yang nihil keuntungan.
Dua tahun kemudian, Sander memulai proyek Manusia-Manusia Abad Ke-20. Ia tengah merancang sebuah gambaran obyektif tentang struktur masyarakat. Tak terhitung biaya yang dikeluarkannya untuk proyek itu. Ia menggelandang ke berbagai tempat untuk menemukan sosok-sosok tipikal dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat.
Melalui Erich, anaknya, yang menjadi anggota Partai Komunis Jerman, ia bersentuhan dengan kelompok kiri. Hasil perjalanan itu dikumpulkan dan dipamerkannya pada 1927 di Koln. Pameran ini mendapatkan tanggapan positif. Dua tahun kemudian, sebanyak 60 foto yang dipamerkannya itu dibukukan dengan tajuk Antlitz der Zeit atau ’Wajah Masa’.
Tapi, saat itu kaum Nazi merebut kekuasaan di Jerman. Hidup Sander pun bergulir ke lembah derita. Ia dikucilkan dari pergaulan seni. Namanya tidak masuk dalam daftar undangan saat pameran Die Kamera diselenggarakan pada 1933. Yang menyedihkan, printing block bukunya yang berjudul Wajah Masa disita atas perintah Pengadilan Kota Reich untuk Bidang Seni Rupa. Penyitaan itu karena buku Sanders dianggap kurang menunjukkan kehomogenan masyarakat Jerman. Nazi menganggap hal itu tidak mendukung propaganda mereka.
Pemberangusan kehidupan dan karirnya ini tentu saja karena ulahnya yang ikut membantu membuat fotografi propaganda kaum komunis. Padahal, keterlibatannya dalam kegiatan itu hanya untuk membantu anaknya, Erich Sander—yang kemudian ditangkap dan meninggal di penjara pada 1943 akibat menderita sakit. Sander tak pernah tertarik pada kegiatan politik.
Dalam keadaan semacam itu, lonceng kematian kreativitasnya telah tiba. Meski demikian, ia masih bisa mengumpulkan arsip yang dilakukan secara gerilya. Dengan cara inilah—yang disebut Firman Ichsan sebagai gaya memandang dari balik tirai—Sander melakukan perlawanan terhadap situasi yang terjadi di Jerman, terlebih saat Nazi berkuasa di sana.
Hasilnya, sebuah rentetan karya yang lebih bersifat oposisi terhadap pemerintahan Nazi. Karya-karya yang dibuat dalam kurun waktu 1934 hingga 1945 itu antara lain Politisi Tawanan Nasional Sosialisme. Dalam karya itu, ia juga memasukkan foto-foto sang Anak dan kaum Yahudi yang dikejar-kejar Nazi untuk dibunuh. Dua portfolio lainnya yang berhubungan dengan sejarah gelap bangsanya adalah Pulang ke Reich dan Perempuan Sebagai Nazi. Sedangkan Lelaki Sebagai Nazi dimasukkan dalam kumpulan Serdadu
Walau berseberangan paham dengan Nazi, August tetap menjaga kesadarannya. Kameranya tak selalu terkokang menentang rezim. Ia juga mencari tema-tema yang tidak berbahaya secara politis. Ia banting setir dengan mengabadikan Kota Koln. Sialnya, pemerintah Nazi tetap saja melarang foto-foto itu. Mereka berdalih, karya Sander itu dapat membocorkan rahasia tentang Kota Koln kepada musuh. Alhasil, rumah Sander digeledah. Polisi menyita foto-fotonya.
Setelah itu, dalam keadaan yang tertekan, August lebih memfokuskan diri untuk memotret obyek-obyek lanskap. Sebuah buku yang bertajuk August Sander Rheinlandschaften atau ”Lanskap-Lanskap Daerah Rhein August Sander” adalah buah kerjanya di puncak tekanan Nazi dalam hidup Sander.
PENDERITAAN kemudian menjadi udara yang harus dihirup Sander. Saat Perang Dunia II pecah, galerinya di Koln-Lindenthal kena sambar bom sekutu. Arsipnya berupa foto-foto, termasuk yang disimpan di ruang bawah tanahnya, seluruhnya hancur. Hidupnya seperti sudah berakhir. Hartanya yang tersisa cuma setumpuk inventaris foto-foto artistiknya. ”Kini keprihatinan saya yang terbesar adalah menyelamatkan hasil karya saya selama waktu-waktu mendatang,” kata Sander.
Saat kekuasaan Nazi redup, sturuktur sosial negara yang berlapis-lapis juga musnah. Tak ada lagi keanekaragaman. Ketiadaan yang sempurna. Setelah PD II berakhir, untuk proyeknya ”Manusia-Manusia Abad Ke-20,” Sander hanya bisa menambahinya dengan potret-potret petani.
Dalam kepedihan, Sander mengangkut arsip-arsipnya itu ke Kuchhausen, sebuah dusun kecil beberapa kilometer ke arah selatan Koln. Di dusun itu, Sander meneruskan ambisinya melengkapi dokumentasi masyarakat di sana. Tapi, Kuchhausen bukanlah tempat yang cocok. Ia terisolasi dari hubungannya dengan koleganya. Matanya yang tua dan lelah tak bisa lagi menghasilkan karya yang brilian seperti beberapa tahun sebelumnya.
Beberapa karyanya yang semula akan dipublikasikan urung terlaksana. Untungnya, masih ada hiburan baginya. Ternyata ia tidak dilupakan. Pada 1955, Edward Steichen menyertakan beberapa karya Sander dalam pameran ”The Family of Man”. Sander dinyatakan sebagai warga kehormatan Herdorf. Namun, semuanya itu tak menyeretnya keluar dari jalan sunyi yang ditempuhnya. August Sander tersambar stroke. Pada 20 April 1964, ia menutup mata. Kematian yang menggenapkan perjuangannya memberikan jejak bagi peradaban manusia.
Irfan Budiman dan Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo