Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

David Taw: "Kami Ingin Pengusaha (Indonesia) Mencabut Investasinya"

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kaum "pemberontak" Burma tersebar di mana-mana. Merekalah kaum yang "ditakuti" pemerintah Burma (yang menamai negaranya Myanmar) masa kini. Merekalah yang disebut oposisi Myanmar, yang terkumpul dalam wadah yang mereka namai Dewan Nasional Persatuan Myanmar (National Council of the Union of Burma, atau NCUB). Forum demokrasi bagi berbagai suku di negara bekas koloni Inggris ini dibentuk pada Agustus 1992, dan terdiri atas empat kelompok oposisi terbesar, yaitu National Democratic Front (NDF), Democratic Alliance of Burma (DAB), National League for Democrated-Liberated Area (NLD-LA), dan Members of Parliament Union (MPU).

Gerak-geriknya serba sulit. Di dalam negeri, anggota NCUB mesti bergerilya untuk berbicara dengan rakyat dan mendorong mereka agar berani menghadapi junta militer. Di luar negeri, kebebasannya melobi dunia internasional pun tak terjamin. David Taw, Wakil Ketua Komite Hubungan Luar Negeri NCUB, yang pekan lalu berada di Jakarta untuk menghadiri sebuah konferensi mengenai demokrasi, berkisah bagaimana kantornya di Bangkok sering digerebek polisi dan orang-orang di dalamnya dideportasi. Berikut petikan wawancara Purwani Dyah Prabandari dari TEMPO dengan Taw:


Apa alasan pembentukan NCUB?

Ada banyak kelompok di Myanmar yang menginginkan perdamaian di dalam negeri, tapi dengan cara sendiri-sendiri. Karena itu, kami bangun NCUB sebagai koalisi. Kebanyakan dari kami kini tinggal di pengasingan. Tapi, meski sering diteror dan diancam pemerintah, beberapa kelompok etnis masih punya wilayah sendiri di daerah terpencil di Myanmar.

Tawaran NUCB untuk berdialog diabaikan militer. Lalu, apa lagi yang Anda lakukan?

Terus melobi sembari mencoba menginformasikan kepada masyarakat internasional apa yang terjadi di Myanmar. Ini agar mereka, termasuk negara-negara ASEAN yang menjadi tetangga kami, memberikan tekanan kepada rezim militer.

Anda punya harapan besar terhadap ASEAN?

Hanya Filipina yang tidak melakukan kerja sama ekonomi dengan Myanmar. Indonesia dan Thailand malah mendukung masuknya Myanmar ke ASEAN. Saya harap kebijakan itu dikaji ulang. Tapi, keadaan telah berubah. Thailand, yang berbatasan langsung dengan Myanmar, sedang direpotkan masalah pengungsi dan lalu lintas obat terlarang. Masalah politik internal Indonesia juga lebih sulit dari masalah luar negerinya. Karena itu, kami tidak mengharapkan apa pun dari pemerintah Indonesia.

Bagaimana dengan dukungan dalam negeri?

Rakyat masih sangat ketakutan karena pengalaman masa lalu. Meski cuma demonstrasi kecil, militer menghajar mereka dengan buruk. Sementara itu, cuma ada Union Solidarity Development Association, satu-satunya organisasi dalam negeri yang didukung militer dan diizinkan. Di luar itu, orang-orang tidak boleh berkumpul. Selama 12 tahun terakhir, universitas lebih sering ditutup. Orang yang ketahuan memegang surat kabar terbitan kami bisa dipenjara 10 tahun.

Lalu, bagaimana NCUB membangun semangat perlawanan rakyat?

Melalui kegiatan politik. NLD, misalnya, menyelenggarakan kuliah politik di markasnya. Itu pun harus seizin rezim. Dan karena takut, sedikit yang datang. Begitu kuliah selesai, mereka ditanyai aparat.

Apa, sih, cara yang tepat untuk menjatuhkan rezim militer ini?

Kami ingin melihat perubahan lewat tekanan ekonomi dan politik. Meski sudah ada sanksi internasional, masih ada jalan terbuka dari Cina dan ASEAN. Cina menyediakan amunisi bagi persenjataan rezim. Negara-negara ASEAN masih ada yang melakukan investasi, termasuk anak-anak dan kroni Soeharto. Persisnya di bidang apa, saya kurang tahu. Tapi, kami ingin mereka (para pengusaha Indonesia—Red) mencabut investasi di Myanmar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus