Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TATAPAN Dandeni Herdiana tak terlepas dari selembar kertas berisi bagan kronologi penanganan kasus Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mattalitti. Dandeni masih tak percaya hakim tunggal Pengadilan Negeri Surabaya, Mangapul Girsang, kembali membatalkan penetapan La Nyalla sebagai tersangka. "Penjelasan kejaksaan tak diperhatikan dengan baik oleh hakim," ujar Dandeni, Kepala Seksi Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Rabu pekan lalu.
Didampingi penyidik Chairul Wijaya, Dandeni mengungkapkan kekecewaannya atas putusan hakim Mangapul yang mengabulkan gugatan praperadilan La Nyalla, Senin pekan lalu. Sudah tiga kali kejaksaan menerbitkan surat perintah penyidikan atas kasus korupsi dana hibah Kadin itu. Tiga kali pula Korps Adhyaksa dikalahkan di tingkat praperadilan. "Seluruh putusan praperadilan janggal," kata Dandeni.
Dalam putusan praperadilan yang ketiga, menurut Dandeni, Mangapul sama sekali tak mempertimbangkan keterangan jaksa yang menjelaskan prosedur penetapan tersangka La Nyalla. Dia juga geram karena Mangapul menerima gugatan, padahal yang mengajukan bukan La Nyalla, melainkan anaknya, Muhammad Andi Mattalitti. La Nyalla kabur ke Malaysia, kemudian ke Singapura, sehari setelah jaksa menerbitkan surat perintah penyidikan baru pada 12 April lalu.
Dandeni merujuk pada Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyebutkan bahwa penyidik, penuntut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan praperadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi menafsirkan yang termasuk frasa "pihak ketiga" itu adalah lembaga swadaya masyarakat. "Keluarga tidak termasuk," ujar Dandeni.
Kegeraman Dandeni bertambah ketika hakim menyebutkan penyidik kejaksaan serampangan dalam menetapkan La Nyalla sebagai tersangka. Jaksa menuduh La Nyalla terlibat korupsi dana hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada 2012. Dana sebesar Rp 5,3 miliar itu ia pakai untuk membeli saham perdana Bank Jatim. Dari pembelian itu, menurut jaksa, La Nyalla meraup keuntungan Rp 1,3 miliar. Sebelum kabur, La Nyalla membantah tuduhan jaksa.
Pada 22 April 2016, kejaksaan menetapkan La Nyalla sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang. Penetapan La Nyalla sebagai tersangka kali ini keluar beberapa jam setelah hakim tunggal Ferdinandus mengabulkan gugatan praperadilan yang kedua. Menurut Dandeni, kejaksaan kesal lantaran dalam sidang praperadilan itu Ferdinandus membatalkan penetapan La Nyalla sebagai tersangka sekaligus surat perintah penyidikan tanggal 16 Maret 2016. Dalam pertimbangannya, Ferdinandus menyebutkan tindakan kejaksaan tak sesuai dengan prosedur. Menurut hakim, jaksa seharusnya menerbitkan dulu surat perintah penyidikan, baru penetapan tersangka. "Kami sudah sesuai dengan prosedur, tapi disalahkan melulu," ucap Dandeni.
Hakim Ferdinandus juga menyatakan tak ada kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindakan Ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Jawa Timur itu. Menurut Dandeni, pada titik ini, hakim praperadilan melebihi kewenangannya. Praperadilan seharusnya tidak mempersoalkan dugaan kerugian negara yang termasuk pokok perkara.
Demi mengantisipasi sikap hakim yang mempersoalkan pokok perkara, penyidik kejaksaan sudah menjabarkan bukti baru. Jaksa menyebutkan La Nyalla merekayasa surat pernyataan pengakuan utang pada 10 Juli 2012. Untuk menguatkan status hukum surat utang itu, La Nyalla menempelkan meterai. Namun, berdasarkan surat dari Direktur Teknik dan Produksi Perum Peruri, meterai yang ditempelkan La Nyalla dalam surat pernyataan utang itu baru diproduksi pada 11 Juni 2014.
Dandeni dan kawan-kawan sudah membaca keganjilan sejak putusan praperadilan yang pertama. Gugatan atas surat perintah penyidikan umum yang belum mencantumkan nama tersangka itu diajukan Wakil Ketua Kadin Jawa Timur Diar Kusuma Putra. Dandeni tak habis pikir mengapa Pengadilan Negeri Surabaya memenangkan gugatan Diar dengan alasan nebis in idem. Hakim menyatakan penyelewengan dana hibah itu tak dapat dituntut lagi lantaran pelakunya telah diputus bersalah. "Nebis in idem ini tidak masuk akal," kata Dandeni.
Diar memang sudah dihukum satu tahun dua bulan penjara karena terbukti menyelewengkan dana hibah Kadin Jawa Timur pada 2011-2014. Namun bentuk penyelewengannya berbeda. Dalam perkara terdahulu, yang merugikan negara Rp 26 miliar, Diar dan Wakil Ketua Umum Kadin Jawa Timur lainnya, Nelson Sembiring, terbukti menyelewengkan dana hibah melalui kegiatan akselerasi antarpulau dan usaha mikro kecil-menengah. Sedangkan dalam perkara La Nyalla, kejaksaan mengusut dugaan penyalahgunaan dana hibah untuk pembelian saham Bank Jatim dalam penjualan perdana pada 2012.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Maruli Hutagalung mengatakan akan terus menerbitkan surat perintah penyidikan untuk La Nyalla meski jaksa selalu dikalahkan di praperadilan. Kejaksaan, menurut Dandeni, juga sedang mempertimbangkan alternatif menyidangkan perkara ini secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa.
Sikap Kejaksaan Tinggi Jawa Timur mendapat dukungan penuh dari Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah. Bahkan Arminsyah mendukung Kejaksaan Tinggi mengusut dugaan adanya bantuan untuk La Nyalla selama menjadi buron di luar negeri.
Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, kejaksaan dan La Nyalla tak bisa terus-menerus menerbitkan surat perintah penyidikan lalu menggugatnya di praperadilan. "Itu bisa menjadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia," ucap Agus. Dia meminta Mahkamah Agung segera turun tangan. Caranya antara lain dengan membuat kebijakan bahwa orang yang melarikan diri dari proses hukum tidak boleh mendapat pelayanan. "La Nyalla harus pulang dulu ke Indonesia meski dengan risiko ditangkap," ujar Agustinus.
Mantan hakim konstitusi Mohammad Laica Marzuki sependapat dengan Agustinus. Berlarut-larutnya kasus ini, menurut dia, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, dibutuhkan ketegasan Mahkamah Agung untuk menerima kasasi dari kejaksaan tinggi atas putusan praperadilan itu. "Ini menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung selaku kuasa tertinggi di wilayah kehakiman."
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan Mahkamah tidak bisa mengintervensi pertimbangan dan putusan hakim pengadilan di bawahnya. "Setiap hakim punya independensi," kata Suhadi.
Adapun pengacara La Nyalla, Sumarso, mengatakan kliennya tak akan kembali ke Tanah Air sampai kasusnya benar-benar ditutup. "Bagaimana mau pulang, paspornya diblokir," ujar Sumarso. Kalaupun surat izin tinggal La Nyalla habis, kata dia, "Singapura juga tidak mengusir."
Linda Trianita, Siti Jihan Syahfauziah (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo