Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perjalanan Panjang Pakistan

Sejarah terbentuknya Republik Islam Pakistan. Perjuangannya dimulai Muhammad Ali Jinnah, Iskandar Mirza, Ali Bhutto hingga Zia Ul-haq. Perjalanan Pakistan menjadi negara islam modern masih panjang.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REPUBLIK Islam Pakistan dibentuk pada 1947. Negara itu pecahan Kekaisaran India yang membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Pakistan awalnya terbagi dua: Pakistan Barat yang dipisahkan oleh 1.600 km persegi wilayah India dari Pakistan Timur. Negara dan bangsa baru itu muncul berkat perjuangan Liga Muslimin yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah. Mereka menuntut terciptanya sebuah negara untuk umat Islam. Inilah kehendak utama kaum Muslimin untuk membebaskan mereka dari dominasi mayoritas orang-orang Hindu di Asia Kecil. Pemisahan Pakistan itu diikuti pertentangan agama dan konflik perbatasan hingga menelan ribuan korban dari kedua pihak. Ali Jinnah yang dijuluki Quaid-i-Azam (Pemimpin Besar) menjadi gubernur jenderal pertama pada 1947. Ia meninggal setahun kemudian. Pada 1949 suatu garis gencatan senjata telah memisahkan angkatan bersenjata kedua negara di wilayah sengketa Jammu dan Kashmir. Sejak berdirinya Pakistan hingga berpisah dengan India, Pakistan Barat dan Pakistan Timur hanya dipersatukan oleh faktor agama. Sedangkan secara geografis, ekonomis, dan rasial kedua bagian itu bagaikan tak memiliki kesatuan. Sebagian besar penduduk negeri itu berdiam di Pakistan Timur yang sebenarnya merupakan wilayah lebih kecil ketimbang Pakistan Barat. Tapi kekuatan politik dan militer justru terkonsentrasi di Barat. Negeri itu tadinya merupakan sebuah dominion bernaung bawah lindungan Kerajaan Inggris -- dan memperoleh kemerdekaannya pada 23 Maret 1956. Pakistan berada di bawah pemerintahan militer mulai Oktober 1958 ketika Presiden Iskandar Mirza membatalkan konstitusi. Lalu ia mengumumkan keadaan bahaya, membubarkan DPR dan DPRD, dan menguburkan semua partai politik. Sebagai penguasa tertinggi negara dalam bahaya ditunjuk Jenderal Muhammad Ayub Khan. Pemerintahan militer makin kuat setelah Ayub Khan diangkat sebagai presiden melalui sistem dasar demokrasi" yang diciptakannya sendiri pada 1960. Pada Maret 1969 terjadi kerusuhan besar-besaran dan diktator militer baru, Jenderal Yahya Khan, merebut kekuasaan dan lebih memaksakan keadaan darurat. Pada Desember 1970 suatu pemilihan umum dilangsungkan untuk membentuk sebuah dewan yang akan menyusun konstitusi baru. Untuk pertama kalinya rakyat Pakistan Timur diberi hak menguasai mayoritas dalam dewan konstituante. Liga Awami, di bawah pimpinan Sheik Mujibur Rahman yang menuntut otonomi untuk Pakistan Timur, pertama kali merebut suara dengan mayoritas besar. Sedangkan di Barat, Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin Ali Bhutto berhasil pula merebut sebagian besar kursi di dewan konstitusi. Yahya Khan berusaha membujuk Mujibur Rahman agar membentuk pemerintah koalisi bersama PPP. Tapi perundingan-perundingan ke arah itu gagal. Pada Maret 1971 Yahya Khan mengirim pasukan ke Pakistan Timur, menyelesaikan konflik politik itu secara militer. Pakistan Timur menyatakan dirinya merdeka dan menamakan diri sebagai Republik Rakyat Bangladesh. Suatu perang saudara tidak terhindarkan lagi. Dan itu baru berakhir Desember 1971 ketika India mengintervensi secara militer. Tentara Pakistan kalah. Dan kemerdekaan Bangladesh merupakan suatu kenyataan. Sebagai akibat pemisahan diri Bangladesh, Ayub Khan mengundurkan diri karena terjadi krisis politik. Pemerintahan militer berakhir, tetapi Zulfikar Ali Bhutto, pemimpin PPP, menjadi presiden yang kini wilayahnya telah ciut. Pakistan baru mengakui Bangladesh pada 1974, ketika banyak negara lain melakukannya. Pada 1972 Presiden Ali Bhutto mengusulkan dianutnya konstitusi baru. Tahun berikutnya partai-partai oposisi baik yang di kiri maupun kanan membentuk Front Persatuan Demokrasi dan menuntut perubahan UU. Sebagai hasilnya, sebuah UU yang telah diubah mulai berlaku pada 1973. Ali Bhutto menjadi perdana menteri dan sebagai presiden diangkat Ketua Dewan Nasional, Fazal Elahi Chaudry. Pada bulan Maret 1977 Pakistan sekali lagi menghadapi kekacauan setelah sebuah pemilu dilangsungkan. Partai oposisi Aliansi Nasional Pakistan (PNA) menuduh: dalam pemilu memilih Dewan Nasional dan Dewan Provinsi itu telah terjadi kecurangan yang dilakukan PPP. Sekali lagi UU keadaan darurat perang diberlakukan di tiga kota utama Lahore, Karachi, dan Hyderabad. Keadaan ini justru memberi kesempatan kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Zia ul-Haq melakukan kudeta. Ia berhasil menjatuhkan Ali Bhutto. Zia membiarkan Presiden Chaudry menduduki kursi kepresidenan. Tapi ia mesti didampingi sebuah Dewan Militer, beranggotakan empat jenderal. Pada September 1977 UU keadaan daruratperang dibatalkan tapi setelah itu berlaku selama tujuh tahun, dan sebagai persiapan untuk melaksanakan pemilu. Pada saat itulah Ali Bhutto ditangkap dan dipenjarakan. Ia dituduh terlibat dalam usaha pembunuhan atas seorang lawan politiknya. Itu ditambah lagi dengan serentetan tuduhan lain. Pada Maret 1978 Pengadilan Tinggi Lahore menjatuhkan hukuman gantung atas diri Ali Bhutto. Januari 1978 Zia membentuk Dewan Penasihat yang beranggota 16 orang. Mereka di bawah Dewan Militer. Badan itu dibubarkan pada bulan Juli. Sebuah kabinet dibentuk, yang terdiri atas 22 orang, dari militer dan sipil. Pada tahun itu juga Chaudry diganti oleh Zia. Sementara itu, PPP berusaha membebaskan Bhutto dengan cara menuntut dilaksanakannya pemilu baru. Namun, tuduhan terhadap Bhutto diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Pakistan. April 1979 ia menjalani hukuman gantung. Pada 1980 ketakpuasan umum sekali lagi melanda Pakistan. Itu sebagai akibat langkah otoriter Zia yang memberangus kegiatan politik. Tapi kegiatan politik -- yang dilarang sejak Oktober 1979 -- berjalan terus. Pada Maret 1981 sembilan partai oposisi, termasuk PPP, beraliansi dan membentuk Gerakan untuk Memulihkan Demokrasi (MRD). Mereka menyerukan pemerintahan parlementer dan hak-hak demokrasi dipulihkan. Tapi suatu insiden pembajakan sebuah pesawat penerbangan sipil -- yang ternyata didalangi dan dilakukan aktivis PPP menyebabkan MRD kehilangan popularitas. Walaupun oposisi mengatakan itu dilakukan oleh para agen pemerintah untuk mencemarkan oposisi, mereka tak bisa bangkit. Ratusan politisi sipil ditangkap dan dipenjarakan. Pada Agustus 1983 Presiden Zia mengumumkan suatu pemilu bakal diadakan sebelum Maret 1985. Katanya itu sebagai upaya dari dia untuk memulihkan demokrasi dan membatalkan UU darurat. Sebegitu jauh Zia sudah enam kali mengumumkan: Pakistan akan kembali ke demokrasi konstitusional. Tapi setiap kali Zia menunda rencana besar itu. Dalihnya, "keamanan nasional sedang terancam". Dan sekali lagi golongan oposisi melakukan aksi protes. Pemogokan berlangsung, menuntut hak-hak demokrasi dipulihkan. Mulai Juni 1984 pemerintah membentuk dewan ulama di setiap desa untuk pelaksanaan program yang disebutnya "demokrasi Islam". Usaha itu dilanjutkan dengan memberlakukan "sistem perbankan Islam" yang memungut bunga sangat rendah. Namun pada Desember 1984, tiba-tiba Zia mengadakan referendum, menanyakan pada rakya tentang proses Islamisasi politik di Pakistan Dan ini juga sebagai usaha Zia untuk memperoleh kepercayaan rakyat. Referendum itu diboikot MRD, walau hasil penghitungan resmi menunjukkan 62% dari pemilih memang datang ke kotak suara Dan sekali lagi, berdasarkan penghitungan pemerintah, 98% dari suara yang masuk itu menyetujui program Islamisasi. Padahal banyak tuduhan mengatakan: penghitungan suara curang. Pada 25 Februari 1985 diselenggarakan lagi suatu pemilu, dan merupakan ketiga dalam sejarah Pakistan. Dalam pemilu tersebut dipilih anggota anggota Dewan Nasional. Itu lalu diikuti dengan pemilihan Dewal Provinsi, 28 Februari Hanya, sebelum pemilihan diselenggarakan, Zi merancang serangkaian syarat. Prakteknya, ia malah tak memberi kesempatan pada oposis untuk turut serta. Oposisi menekannya sehingga Zia terpaksa mengizinkan MRD turut -- walau kemudian aliansi oposisi itu memboikotnya. Di samping itu, ratusan politisi lawan-lawan Zia dijebloskan ke tahanan atau paling tidak dikenai tahanan rumah. Biar ada pemboikotan 53% pemilih muncul untuk pemilu tingkat nasional. Untuk tingkat provinsi jumlah mereka sekitar 59%. Sebagai hasil pemilu itu adalah sebuah kabinet yang seluruhnya orang sipil dipimpin Muhammad Khan Junejo. Maret 1985 Zia mengumumkan beberapa perubahan konstitusi -- kendati prakteknya memperkuat kedudukannya sebagai presiden. Langkah-langkah itu antara lain pem bentukan Dewan Keamanan Nasional yang anggotanya 11 orang dan dipimpinnya sen diri. Ia juga memegang hak penuh untuk menunjuk dan memecat perdana menteri para menteri, dan gubernur. Bahkan ia berkuasa membubarkan Dewan Nasional dan Dewan Provinsi. Akhirnya, Desember 1985, setelah hampir segala kekuasan politik ada di dalam genggamannya, Zia mengumumkan pembatalan UU darurat dan memberlakukan kembali konstitusi yang diubah pada Oktober sebelumnya. Pengadilan-pengadilan militer bahkan dibubarkan, sedangkan personel militer dalam jabatan-jabatan sipil digantinya dengan orang sipil. Zia tetap presiden dan pemimpin angkatan bersenjata. Suatu kabinet baru dibentuk, dan masih tetap dipimpin Junejo -- yang juga telah terpilih sebagai Ketua Liga Muslimin Pakistan yang sudah diubah menurut kehendak dan selera Zia. "Bulan madu" Zia-Junejo tak berlangsung lama. Dalam bulan Mei tahun ini perdana menteri itu dipecat oleh Zia. Alasannya: tak becus Sementara itu, menurut para pengamat, Junejo didepak lebih banyak karena sikapnya yang sok sebagai kepala eksekutif. Sikap demikian tentu saja, menyebalkan Zia. Orang kuat itu kini telah tiada. Sebenarnya, kepergiannya berlangsung ketika banyak perbaikan sedang berlangsung di sana. Penjara-penjara bahkan mulai lengang dari tahanan pohtik. Zia sebenarnya sedang berusaha menyesuaikan syarat bagi berdirinya sebuah negara Islam yang tak menampik pada tuntutan modern. Banyak yang menuduh Zia seorang diktator. Tapi ada juga yang mengatakan ia memerintah Pakistan bagaikan sikap seorang ayah terhadap rakyatnya. Dan Ali Jinnah mungkin tak membayangkan apa yang dialami negara yang didirikannya itu sekarang. Walau ada perasaan bahwa kinilah saatnya Pakistan tumbuh sebagai negara dan bangsa dewasa -- tanpa diurus oleh gaya keras seorang "ayah" seperti Zia --perjalanan Pakistan menjadi negara Islam modern masih panjang. Bahkan akan jauh? A. Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus