SETELAH Zia tiada, banyak pihak menoleh ke Benazir Bhutto, 35 tahun, ketua Partai Rakyat Pakistan (PPP, sebagai kandidat utama pengganti orang kuat Pakistan yang tewas di Bahawalpur itu. Putri mendiang Presiden Zulfikar Ali Bhutto ini memang orang yang dikhawatirkan Zia akan menggulingkan pemerintahannya. Karena itu, Zia memilih saat pelaksanaan pemilu pada waktu lawan politiknya hamil tua, sehingga pengumpul pemilih bagi PPP ini tak bisa aktif berkampanye. Tanpa Benazir turun berkampanye, hampir dapat dipastikan kursi mayoritas yang diincar PPP dalam parlemen tak bakal kesampaian, sekalipun calon yang ditampilkan 5.000 nama. Setelah Zia terbunuh minggu lalu, dan Penjabat Presiden Ghulam Ishaq Khan berjanji akan melaksanakan pemilu tepat waktu, tak berarti jalan bagi Benazir menuju tampuk kekuasaan sudah licin. Kelompok oposisi sudah terpecah-pecah sebelum turun ke gelanggang. Selain itu, tidak mustahil pula militer memperpanjang masa keadaan darurat yang diundangkan tak lama sepeninggal Zia untuk mengatur strategi baru. Soalnya, sekalipun banyak orang menaruh harapan pada Benazir, toh tak sedikit pula yang cemas mempercayakan masa depan Pakistan kepadanya. Bahkan ada yang menyebut Benazir matang dikarbit. Ia terkatrol ke pucuk pimpinan PPP semata oleh peristiwa penggantungan ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto, 9 tahun lampau. Di pentas politik, pengalaman Benazir memang belum seberapa. Ia masih di bangku sekolah ketika ayahnya digulingkan Zia pada 1977. Tak heran kalau Bhutto tak sempat mempersiapkan putrinya dengan baik. Kendati demikian, Benazir menimba banyak pengalaman dari penjara. Bila ditotal, waktu yang dilewatkan Benazir di balik terali tak kurang dari sekitar enam tahun. Di sinilah ia tertempa jadi "singa betina" dari Larkana -- nama distrik asal nenek moyangnya di Pakistan Selatan. Selama di penjara, kabarnya, tak jarang Benazir dikurung di sel yang panasnya mencapai 49 C. Toh ia tak menyerah. Awal 1981, Benazir, yang baru saja dilepaskan penguasa, terpaksa berurusan lagi dengan penjara tak lama setelah kelompok Al-Zulikar -- kekuatan antipemerintah yang dibentuk kedua anak laki-laki Bhutto dalam pengasingan di Afghanistan -- membajak pesawat milik Pakistan. Pembajakan itu berakibat Zia terpaksa melepaskan sejumlah tahanan politik untuk menyelamatkan sandera. Selama di penjara, Benazir berulang kali jatuh sakit, dan baru tiga tahun kemudian, Januari 1984, ia diizinkan berobat ke luar negeri. Ia berangkat ke London untuk mengobati infeksi telinganya yang makin parah. Tahun 1985, derita Benazir ditambah oleh kematian adik bungsunya, Shanawaz, di Riviera, Prancis. Benazir menduga, Shanawaz dibunuh musuh-musuh politiknya, karena khawatir adiknya menggalang kekuatan untuk menggulingkan Zia. Adalah selepas pemakaman adiknya itu Benazir, yang disambut puluhan ribu pendukung ayahnya di Larkana, menyadari bahwa dirinya punya kekuatan untuk mendongkel kekuasaan Zia. "Untuk para pendukung itulah aku berjuang," katanya ketika itu. Tak lama setelah penguburan Shanawaz, Benazir dikenai tahanan rumah. Ia baru dibebaskan November 1985, sebulan menjelang pencabutan undang-undang keadaan darurat yang telah diberlakukan selama delapan tahun. Pemerintahan sipil dibentuk dengan Khan Junejo sebagai perdana menteri. Tapi kekuasaan tetap dikendalikan Zia. Ketika Pakistan memasuki era baru itulah Benazir kembali ke Pakistan. Kedatangannya di Lahore, April 1986, disambut ratusan ribu pendukung PPP. Penyambutan ini segera menjadi aksi unjuk rasa antipemerintah kaum oposisi. Inilah aksi protes terbesar sejak 1977. Kesempatan emas itu tak dilewatkan beitu saia oleh Benazir. Apalagi ketika itu dunia masih terpesona oleh revolusi yang digerakkan Cory Aquino mendongkel kediktatoran Presiden Marcos di Filipina. "Tahun 1986 merupakan tahun buruk untuk para diktator. Di sini, kita harus mengenyahkan Zia,' kata Benazir bersemangat. Merasa popularitasnya sedang mencapai puncak, segera Benazir berkeliling ke 15 kota, menggalang kekuatan. Sambutan atas Benazir di tiap tempat yang disinggahi memang luar biasa. Sebulan kemudian Benazir dan ibunya, Begum Nusrat Bhutto, resmi diangkat sebagai wakil ketua PPP. Benazir pun menjadi tokoh paling mencuat dari kalangan oposisi. Aksi protes pun makin berani, dengan tuntutan utama pelaksanaan pemilu sesegera mungkin. Pemerintahan Zia tentu saja menolak mentah-mentah keinginan itu. Korban jiwa berjatuhan. Benazir ditangkap saat mempersiapkan diri untuk unjuk rasa besar-besaran pada hari kemerdekaan Pakistan, 14 Agustus 1986. Benazir mengharapkan penahanan dirinya ini bakal membangkitkan semangat para pendukungnya dan meneruskan aksi protes besar-besaran itu. Impian itu tak pernah terwujud. Kader-kader PPP -- disebut Benazir "merpati-merpati demokrasi" -- gagal menggalang massa. Tangan Zia masih kuat mencengkeram. Dengan ditangkapnya tokoh-tokoh mereka, pihak oposisi terancam pecah. Mereka banyak menyalahkan Benazir yang mereka anggap terlalu buru-buru bertindak. Selang sebulan, Benazir dibebaskan kembali. Januari 1988, Benazir dipersunting Azif Zardari, anak tuan tanah kaya dari Provinsi Sind. Benazir, yang sehari-hari dipanggil Pinky, anak sulung dari empat bersaudara. Ia lahir 21 Juni 1953. Ibunya adalah istri kedua Bhutto, tokoh politik yang memimpin Pakistan dari 1971 sampai 1977. Sejak kecil Pinky, anak keluarga tuan tanah kaya raya dari Larkana, Sind, telah mengenai kehidupan politik. Ketika ia masih kanak-kanak, ayahnya sudah menjabat pos-pos penting di Pakistan -- mulai dari menteri luar negeri, ketua delegasi Pakistan di PBB, lalu sebagai presiden, dan menjadi perdana menteri. Tak heran, dengan hidup berkecukupan itu pakaian mewah dari toko-toko mahal di Amerika bukan hal asing bagi Benazir. Umur 16 tahun, Benazir dikirim orangtuanya sekolah ke AS. Mula-mula ia masuk sekolah khusus wanita di Radcliffe College. Lulus dari sana ia pindah ke Inggris untuk belajar politik, filsafat, dan ekonomi di Oxford University. Lulus 1976, ia tetap tinggal di London, melanjutkan studi hubungan luar negeri. Setahun kemudian ia terpilih memimpin Oxford Union, grup diskusi kampus yang prestisius karena alumninya banyak yang menjadi politikus dan negarawan -- antara lain Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Di sinilah bakat Benazir berpidato muncul. Tapi ketika itu, ia belum berniat terjun ke dalam kehidupan politik. Baru sewaktu terjadi pergolakan di Pakistan, akibat tak dipercayainya hasil pemilu 1977 yang dimenangkan Bhutto, saat itulah Benazir berdiri di ambang dunia politik. Setelah Zia membubarkan parlemen, Mei silam, dan menjanjikan penyelenggaraan pemilu, kelompok oposisi seakan berdenyut lagi. Benazir, yang saat ini sedang hamil enam bulan, bersama PPP kembali aktif menggalang persatuan dan dukungan di kalangan oposisi. Pada 12 Juli silam untuk pertama kalinya dalam dua tahun, Benazir tampil lagi dalam aksi unjuk rasa di Lahore. Dengan meninggalnya Zia, kesempatan bagi Benazir melangkah ke kursi yang pernah diduduki mendiang ayahnya terbuka lebar. "Permusuhan saya dengan Zia bukan bersifat pribadi. Permusuhan itu merupakan jalan untuk mencapai demokrasi untuk Pakistan," kata Benazir, Kamis pekan lalu. Tapi ia tetap, "tak menyesali kematian Zia". Kendati permusuhan antara Benazir dan Zia telah berakhir, toh jalan menuju puncak masih panjang bagi putri Bhutto itu. Masih ada Junejo dari Partai Liga Muslim (PML) yang menjadi saingannya dalam pemilu depan. Selain itu, belum tentu pula para pemimpin agama bakal mendukung Benazir, yang mereka nilai agak sekuler. Konon, dalam upaya menghadapi Benazir dalam pemilu mendatang itulah maka Zia memberlakukan syariat, Islam sebagai hukum negara Juni lalu. Zia berharap dapat menarik simpati masyarakat muslim konservatif Pakistan, yang dinilai Benazir menyebalkan. Kesebalannya kepada para mullah itu digambarkan Benazir dua tahun lalu sebagai, "yang mendikte lubang hidung sebelah mana yang harus lebih dulu dibersihkan. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini