Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ada demokrasi, ada benazir ?

Kematian presiden pakistan mohammad zia ul-haq ikut mengubur ketakutan orang-orang partai. mereka tak lagi dihantui oleh pemilu nonpartai melainkan atas dasar partai. benazir calon kuat setelah zia.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMATIAN Presiden Zia Ul-Haq ikut mengubur ketakutan orang-orang partai. Mereka tak lagi dihantui oleh pemilihan umum nonpartai seperti dikehendaki Almarhum. Apalagi, Penjabat Presiden Muhamad Ishal Khan sudah menyatakan "Konstitusi akan dipatuhi." Ini berarti pemilu untuk anggota parlemen pusat dan daerah, November depan, akan berlangsung atas dasar partai. Kendati konstitusi Pakistan hanya merestui pemerintahan yang dibentuk lewat pemilihan umum, tak berarti orang-orang partai akan berkuasa setelah November. Ada kemungkinan militer akan mengambil alih kekuasaan dari tangan Penjabat Presiden Ishaq Khan sebelum orang-orang partai berebut kursi di pemerintahan. Pertimbangannya: untuk menjaga stabilitas yang telah dicapai pemerintahan Zia. Tapi, seandainya konstitusi benar-benar dipatuhi, hampir bisa dipastikan Partai Rakyat Pakistan (PPP), yang dipimpin Benazir Bhutto, akan keluar sebagai pemenang. Bagaimana tidak. PPP, yang beranggotakan sekitar lima juta pengikut, adalah satu-satunya partai yang mempunyai jaringan ke seantero negeri. Maka, setelah memecat Perdana Menteri Muhammad Khan Junejo, Juni lalu, Zia memerintahkan Mahkamah Agung meninjau kembali semua ketentuan hukum yang berlaku di Pakistan, termasuk yang menyangkut pemilu dan konstitusi, untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Sasaran Zia, dengan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum tertinggi, kabarnya, untuk membendung peluang wanita menjadi kepala pemerintahan -- kesempatan yang cukup terbuka bagi Benazir. Perintah peninjauan itu belum dituntaskan dilakukan Mahkamah Agung ketika Zia tewas. Ada kemungkinan usaha itu dibekukan. Apalagi, kalau dalam pemilu nanti PPP berhasil meraih mayoritas kursi di parlemen. Menurut ketentuan, perubahan konstitusi hanya bisa dilakukan berdasarkan persetujuan dari sepertiga anggota parlemen. Langkah peninjauan itu dilakukan Zia untuk mengimbangi kekalahannya di pengadilan. Semula Zia mewajibkan semua partai politik mendaftarkan diri sebelum ikut pemilu. Usaha Zia itu gagal total, karena tuntutan Benazir yang menganggap kewajiban tersebut melanggar hukum dimenangkan Mahkamah Agung. Pukulan bagi Zia juga datang dari sekutu utamanya, Partai Jamaat-i-Islami (JI). JI menuding program Islamisasi Zia sebagai isu untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari pemilu, dan memecah-belah kekuatan oposisi dengan memberi hati kepada partai-partai keagamaan. Setelah meninggalkan Zia, JI lalu melirik PPP. Lewat beberapa kali pertemuan puncak, kedua partai itu mencapai kata sepakat untuk menggulingkan kekuasaan Zia. Persahabatan JI-PPP di luar dugaan pengamat di Islamabad karena kedua partai itu sudah lama jadi musuh bebuyutan. Tetap berseteru dengan PPP memang tak menguntungkan JI. Soalnya, meski JI termasuk partai Islam papan atas, anggotanya cuma ribuan orang. Maka, JI tak punya pilihan lain, kalau ingin ikut memerintah, kecuali berdamai dengan PPP. Kekuatan PPP memang tak bisa dipungkiri. Bayangkan, dalam Gerakan untuk Pemulihan Demokrasi (MRD), yang beranggotakan sembilan partai politik, hanya PPP yang punya hak veto. Maka, tak akan ada keputusan tanpa persetujuan PPP. Koalisi MRD adalah kekuatan politik paling menentukan di Pakistan -- diperkirakan menguasai lebih dari 70% suara pemilih. Belakangan ini, pamor PPP lebih melesat, dengan bergabungnya politikus kondang, Yusuf Raza Gilani, tokoh Liga Muslim Pakistan (PML) dan bekas menteri Kabinet Junejo. Keberhasilan PPP paling mencengangkan adalah dalam merekrut kaum feodal di Punjab. Mereka itu umumnya tuan tanah kaya yang punya pengaruh besar di kalangan rakyat yang masih menghormati feodalisme. Tak kalah penting, kocek mereka bisa diandalkan untuk membiayai kegiatan partai. Daya tarik PPP bagi kaum jutawan itu tampaknya lebih banyak berhubungan dengan soal pajak. Benazir berjanji mendukung tuntutan mereka agar pemerintah mengendurkan kebijaksanaan perpajakan. Ancaman hukuman penjara bagi mereka yang tak mampu melunasi pajak, kata Benazir tidak adil. Ia menambahkan, para pengusaha sudah banyak menyumbang bagi kesejahteraan rakyat Pakistan, melalui sumbangan amal dan proyek-proyek yang menyerap banyak tenaga kerja. Tapi, di balik sukses Benazir merangkul kekuatan luar, kader-kader PPP yang sudah lama berjuang bersama putri Mendiang Bhutto itu mulai dihinggapi perasaan waswas. Jangan-jangan kehadiran tokoh-tokoh baru itu bakal merebut jatah kursi mereka. "Saya tetap mengutamakan orang lama," janji Benazir kepada mereka. Yang masih belum jelas sejauh mana Benazir mampu membendung ambisi para pendukung baru PPP itu. Harus diakui, di antara pendatang-pendatang baru itu ada yang sekadar mencari aman, terutama kaum feodal. Buktinya, sebagian besar dari mereka sebenarnya orang lama. Bahkan ada yang tampil sebagai calon PPP dalam Pemilu 1977, ketika Bhutto masih berkuasa. Begitu Bhutto terguling, mereka murtad dari PPP. Menjulangnya nama Benazir ternyata juga membuat sekutu-sekutunya di MRD cemas. Beberapa bulan lalu, mereka membentuk sebuah persekutuan tandingan yang disponsori oleh Ghulam Mustafa Jatoi, ketua Partai Rakyat Nasional (NPP). Nama persekutuan baru itu: Konperensi Seluruh Partai (APC). Pertemuan pertama APC yang diselenggarakan di Lahore, Juni lalu, kalau dilihat dari pesertanya boleh dibilang sukses. Hampir semua tokoh MRD hadir dalam persekongkolan 15 partai itu. Hanya saja, sebagian tokoh-tokoh MRD yang ikut pertemuan di Lahore itu kemudian menyatakan penyesalannya. Termasuk Ghulam Ahmad Bilur, penjabat ketua Partai Nasional Awami (ANP), yang sudah lama tak akur denan Benazir: Ia menyebut ANP sudah melangkah terlalu jauh dengan menghadiri konperensi itu. "Bagaimanapun ANP masih anggota MRD," katanya. Tapi perutusan non-MRD umumnya merasa puas dengan pertemuan itu. Salah seorang di antaranya Abid Hasan Manto, ketua Partai Sosialis Pakistan (PSP), yang hampir tak punya pengaruh politik di tingkat daerah sekalipun. Dia puas karena PSP, yang tak diterima MRD, diakui resmi oleh APC. Paling mengesankan adalah tanggapan partai-partai kecil itu terhadap program Islamisasi Zia. Empat pemimpin partai keagamaan -- Jamaat-i-Ulama-i-Islam, Tehriki-Nifaz-i-Jafferia, Jamaat-i-Ahl-i-Hadis, dan Jamaat Ahl-i-Sunnat -- menolak keras rencana Zia itu. Mereka berpendapat, hukum Islam akan berjalan sendiri kalau masyarakat dan para pimpinannya sudah benar-benar memahami Islam. Apa sebenarnya yang membuat banyak partai politik hadir dalam pertemuan di Lahore? Sebagian besar, terutama yang anggota MRD, mengaku kecewa pada kepemimpinan Benazir. Mereka menganggap Benazir memanfaatkan kekuatan PPP untuk mengangkangi partai-partai politik lainnya lewat MRD. Misalnya dengan memveto semua usul yang dianggap tak sesuai dengan garis PPP. Yang paling menjengkelkan mereka, Benazir selalu memveto usul mobilisasi massa untuk memojokkan Zia. Menggerakkan seluruh massa MRD risikonya cukup besar. Bentrokan-bentrokan dengan petugas keamanan sulit dihindarkan. Ini bisa memancing amarah penguasa. Kalau itu sampai terjadi, tak mustahil bisa berakibat penundaan pemilu atau pemberlakuan undang-undang keadaan darurat. Persoalan lain, di luar veto, yang menjengkelkan anggota MRD adalah masalah jatah kursi. Benazir selalu menolak permintaan partai-partai sekutunya untuk mendapatkan jatah 40% kursi yang dimenangkan MRD dalam pemilu depan. Penolakan itu, kata pejabat PPP, bisa membuat mereka kehilangan suara mayoritas di parlemen. Di samping itu, dari segi pendukung, diperkirakan sekitar 70% suara untuk MRD berasal dari pendukung PPP. Maka, menurut sejumlah pengamat politik, APC akan konyol bila masih nekat bersaing dengan MRD. Terakhir terdengar kabar bahwa sebagian tokoh APC sudah mulai berembuk untuk bergabung kembali dengan MRD. Mereka berharap, dengan hengkangnya sebagian bekas anggota MRD PPP akan memberi jatah kursi lebih banyak. Harapan itu kemungkinan tak bakal dipenuhi Benazir. Apalagi PPP sudah memutuskan untuk mengajukan 5.000 calon dalam pemilu mendatang. Kekhawatiran Benazir untuk memenangkan pemilu bukan lagi pada perpecahan MRD. Tapi pada orang-orang dekat Zia. Tak mustahil mereka akan nekat memanipulasi hasil pemilu agar tak tergilas oleh pergantian penguasa. Itu sudah dibuktikan oleh Jenderal (Purnawirawan) Fazel Haq, yang dalam dua hari sanggup menggulingkan ketua PML cabang Punjab, dan sekaligus menduduki jabatan menteri besar di sana. Tanpa menggebrak memang kecil kemungkinan bagi pendukung Zia mempertahankan kekuasaan. Mencalonkan diri mewakili PML terlalu berat karena PML tak punya akar di hati rakyat. Selain itu, partai yang disponsori Zia tersebut terpecah-belah pula dalam berbagai faksi. Mereka diperhitungkan belum siap betul untuk ikut pemilu. Bukan hal aneh kalau PML jauh dari rakyat. Kelahirannya saja sudah tak wajar. Partai itu didirikan mendadak beberapa hari setelah Zia mencabut keadaan darurat pada 1985. Tujuannya: agar anggota parlemen yang terpilih dalam pemilu nonpartai punya payung kekuatan sendiri, sehingga bisa diandalkan untuk mengimbangi partai-partai oposisi. Jangan pula kalau PML punya potensi perpecahan yang tinggi. Soalnya, tokoh-tokoh partai datang dari latar belakang politik beraneka ragam. Ganjalan lain dalam PML adalah Junejo. Bekas perdana menteri itu menolak melepaskan jabatan ketua PML. Ia bahkan sudah gembar-gembor akan ambil bagian dalam pemilu mendatang sebagai wakil PML. Saingan berat Junejo adalah Pier Pagaro, tokoh spiritual PML, yang pernah mengimbau Zia agar mau jadi ketua PML. Satu-satunya kekuatan yang bisa diandalkan PML adalah militer. Sejak pemecatan Junejo, Zia diam-diam memanfaatkan PML sebagai tempat penampungan pensiunanpensiunan jenderal. Atas dasar itu diduga militer akan melindungi PML -- sebuah tantangan yang tak ringan bagi PPP. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus