"BANYAK keturunan Indonesia yang kini ikut berjuang melawan apartheid di Afrika Selatan," kata Nelson Mandela, 72 tahun, tamu negara pemerintah Indonesia, tiga hari pekan lalu. Itu bukan propaganda dari Wakil Ketua Kongres Nasional Afrika (KNA), partai yang memperjuangkan hapusnya undang-undang apartheid di Afrika Selatan. Di hadapan 400 hadirin di Hotel Borobudur, Jakarta, Sabtu siang pekan lalu, dalam acara Forum Internasional, bapak tiga anak ini bercerita bagaimana dulu seorang Belanda mendarat di Tanjung Harapan, membawa ratusan budak, di antaranya orang Indonesia. Pada malam sebelumnya, tokoh yang mendekam 27 tahun di penjara Afrika Selatan itu mendapatkan Bintang Republik Indonesia dari Presiden Soeharto. Dari pemerintah RI pula Mandela, yang disebut oleh Presiden Soeharto sebagai "Pendekar keadilan dan pembela kebenaran", menerima bantuan US$ 10 juta. Itulah bantuan dana perjuangan buat KNA. Mungkin begitu pentingnya dana itu, hingga Mandela berharap sudah bisa membawanya dalam perjalanannya ke Australia, Senin pekan ini. Harapan itu memang dipenuhi oleh pemerintah RI, meski harus mengadakan uang kontan sebanyak itu di Minggu malam kemarin, ketika Bank Indonesia tutup. "Mereka memang perlu dana. Selain untuk berjuang, juga persiapan ke arah pendidikan dan sebagainya," kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada Linda Djalil dari TEMPO. Berikut wawancara khusus Leila S. Chudori dari TEMPO dengan Nelson Mandela, di ruang VIP Wisma Negara, didampingi pengacaranya, Barbara Masekela ("Pengacara ulung saya yang mengurus pembebasan kami keluar penjara," tutur Mandela). Minggu malam itu Mandela mengenakan setelan jas abu-abu dan kemeja garis-garis, tampak capek, karena padatnya acara di Indonesia, antara lain kunjungan ke Museum Asia-Afrika di Bandung, yang begitu mengesan padanya. Anda pendiri sayap militer dari KNA. Apakah kini Anda masih mengharapkan perjuangan bersenj-ata atau tidak? Keputusan mendirikan sayap militer itu dilakukan dengan keengganan, karena Kongres berprinsip perjuangan tanpa kekerasan. Ketika rezim Afrika Selatan semakin brutal menekan orang hitam, apalagi ketika polisi mendatangi rumah demi rumah dan memaksa penduduk keluar dari rumahnya, kami merasa harus menahan serangan brutal itu. Kami dihadapkan pada situasi yang tidak bisa ditoleransi lagi. Baru sekarang, pemerintah Afrika Selatan mau menerima tawaran negosiasi kami, dan selama ini kami sudah melakukan dua pertemuan. Nah, ketika kami melihat adanya suasana dari pemerintah yang bersedia bernegosiasi itulah, kami memutuskan untuk menangguhkan aksi militer untuk sementara. Ada perbedaan yang jelas antara "menunda" dan "menghentikan". Sementara itu, tentu saja kami perlu menatar militer kami. Selama ini mereka beroperasi secara gerilya. Sekarang mereka ditransformasikan ke bentuk militer yang konvensional, caranya dengan mengirim mereka untuk latihan di beberapa negara. Apakah pendekatan damai Anda disebabkan setelah begitu lama Anda dalam penjara? Bukan. KNA sendiri kan memang ingin penyelesaian yang damai. Baru sekarang pemerintah Afrika Selatan mendengarkan dan menyetujui permintaan kami. Bagaimana evaluasi Anda pada sikap Presiden De Clerk sekarang itu? Sangat sulit menganalisa kejujuran dan ketulusan seorang politikus. Saya kira perubahan sikap pemerintah Afrika Selatan disebabkan faktor yang sifatnya akumulatif. Pertama, gerakan massa Afrika Selatan yang terus-menerus dan tak pernah mati. Aksi massa Afrika Selatan maupun negara Afrika lainnya sudah mencapai titik panas, dan sudah waktunya pemerintah Afrika Selatan menyadari bahwa satu saat rakyatlah yang akan menang. Lalu adanya dukungan internasional yang mengecam rezim apartheid dengan sanksi internasional hingga Afrika Selatan terisolasi. Faktor lain lagi, yang tak terlalu diketahui masyarakat internasional, tentangan terhadap apartheid sebenarnya terjadi di kalangan pemerintah sendiri. Ada sebagian aparat yang lebih progresif, yang mengakui bahwa mereka tak bisa menggantungkan diri pada penyelesaian apartheid secara militer. Bahkan Menteri Pertahanan Jenderal Magnus Malan, yang biasa dikenal sebagai orang yang sangat konservatif, saya kategorikan sebagai yang liberal. Bayangkan, dulu dia menjabat sebagai Pangab Afrika Selatan, dan kini mengatakan, "Kita tidak boleh menghapuskan apartheid dengan cara militer. Kita harus menyelesaikannya lewat jalur politik." Kabarnya, pada 1985, Anda ditawari pembebasan, asal menghentikan perjuangan bersenjata. Tahanan politik itu bukan saya sendiri. Banyak. Dan kawan-kawan saya itu juga adalah pemimpin kulit hitam berpendidikan tinggi yang dihormati. Saya tidak mau dibebaskan sendirian. Saya mendiskusikannya dengan para kamerad saya, dan kami memutuskan untuk menolak tawaran itu. Bagaimana kondisi Anda dan kawan-kawan Anda dalam penjara? Sangat banyak orang Afrika Selatan hitam yang mati dibunuh ketika mereka dalam status tahanan, terutama yang tuduhannya belum terbukti. Biko (pejuang Afrika Selatan yang lebih menekankan pada munculnya "kesadaran orang hitam", yang difilmkan dengan judul Cry Freedom -- Red) disiksa dan dibunuh ketika masih dalam status tahanan. Ada lagi mereka yang ditahan atas dasar yang mereka sebut Security Laws, yang betul-betul tidak boleh berkomunikasi dengan siapa pun. Sekali mereka ditahan, tak boleh berhubungan dengan pendeta, keluarganya, kawannya, pengacaranya, dokter -- siapa pun. Tak terhitung lagi tahanan di bawah Security Laws yang mati. Nah, pemerintah sedikit lebih hati-hati kepada narapidana yang sudah divonis seperti saya. Tentu saja kebrutalan dan penyiksaan tetap berlangsung. Tentu saja kami menentang kondisi ini. Selama 27 tahun dalam penjara, pernahkah Anda dikejar ketakutan Anda akan dibunuh? Kamerad saya dan saya sendiri sangat yakin, mereka tak akan pernah berani membunuh kami. Karena kami tahu akibatnya bagi pemerintah Afrika Selatan. Ada perkecualian, misalnya Neville Alexander, doktor yang dihormati di Afrika Selatan, kawan saya yang baik, disiksa habis-habisan sampai pendengarannya hilang. Terus terang, saya tak pernah memikirkan kemungkinan itu. Apakah sanksi internasional itu memang efektif? Tidak diragukan lagi. Ketika kami mengadakan pertemuan dengan pemerintah Afrika Selatan, mereka menunjukkan fakta dan angka-angka bagaimana sanksi internasional sudah merusak ekonomi Afrika Selatan. Dua hari sebelum saya berangkat untuk keliling AS dan Eropa, saya bertemu dengan De Clerk. Ia juga menunjukkan angka-angka lebih detail bagaimana sanksi internasional sudah menghancurkan ekonomi Afrika Selatan. Apakah langkah pemerintah Afrika Selatan kini cukup penting dan drastis? Saya tak meragukan keseriusan De Clerk dalam menghapuskan apartheid. Kami juga sudah mengambil langkah-langkah yang serius untuk tercapainya cita-cita ini. Tapi, terus terang, melihat yang masih berlangsung di antara rakyat hitam Afrika Selatan, maka langkah-langkah De Clerk dengan membebaskan tapol dan mengizinkan KNA beroperasi masih kurang berarti. Langkah yang penting, yang sejak dulu kami inginkan, "satu kepala, satu suara". Jadi, keinginan untuk menentukan nasib sendiri masih belum terealisasi, dan nampaknya masih jauh dari jangkauan. Anda memimpikan suatu pemerintahan nonrasialistis. Tapi tampaknya kalangan putih Afrika Selatan khawatir orang hitam akan mengambil alih seluruh kekuasaan. Kebijaksanaan kami sudah kami dengungkan sejak dulu, bahwa negara Afrika Selatan yang baru dan yang kami inginkan adalah negara yang nonrasialistis. Artinya seluruh rakyat -- tanpa peduli warna kulit -- boleh- berpartisipasi dalam pemilu dan dalam pemerintahan. Di dalam KNA juga ada orang putih, juga ada keturunan India. Ini sudah menunjukkan bahwa yang kami inginkan dalam pemerintah dan masyarakat Afrika Selatan adalah sikap nonrasialistis. Kami akui, jika pemilu pertama dijalankan nanti, kita harus hati-hati dalam menyeleksi kandidat wakil rakyat. Sebab konsep kami adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan bobot dan kemampuannya. Saya akan terus memperjuangkan konsep ini. Bukan hanya pemerintah yang nonrasialis, tapi juga sekolah, universitas yang nonrasialis. Tapi bagaimana Anda bisa mendeteksi bahwa masyarakat tidak akan bersikap rasialistis? Kami sudah mengalami jahatnya rasialisme. Dan jika kami menang pemilu, itu hanya bisa terjadi jika kami memang percaya sikap nonrasialisme. Dan ini harus dicantumkan dalam konstitusi. Sepanjang perjuangan KNA yang anggotanya terdiri dari berbagai warna, kami sudah biasa dengan perjuangan melawan rasialisme. Lihatlah, Zambia dan Mozambique bisa mengatasi persoalan rasialisme. Anda juga menghadapi tantangan dari kalangan kelompok hitam sendiri, yang mencoba menyinggung-nyinggung perbedaan suku. Lantas ada lagi kelompok Pan Africa, yang cenderung melanjutkan perjuangan senjata. Kami berusaha mendekati semua kelompok politik orang hitam agar bisa bersatu. Memang, ada satu dua organisasi yang kecil, yang belum lagi sempat bertemu. Sudah saya katakan, kami ingin demokrasi, jadi pemilihan itu berdasarkan keinginan rakyat. Kalau memang pemimpin mereka yang dipilih, silakan. Yang jelas, yang berkuasa di pemerintah adalah suara mayoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini