LIK Cokro sangat gemar memelihara ayam jago. Setiap pagi di depan pendopo rumahnya berjajar kurungan. Setiap kurungan berisi seekor ayam jantan pilihan. Tinggal dekat rumah Lik Cokro ada enaknya. Sebelum subuh, para tetangga sudah dibangunkan oleh kokok ayam bersahut-sahutan. Mereka yang kurang suka cuma bisa mengeluh. Siapa berani menegur Lik Cokro perkara ayam jago kegemarannya, lama-lama yang kurang suka pun menyesuaikan diri. Turut bangun pagi, karena berisik kokok ayam jago itu. Atau menjadi bebal, karena mendengar suara yang itu-itu juga. Saya sendiri tidak suka ayam aduan. Sekadar basa-basi saya sering memuji ayam-ayam Lik Cokro, yang semuanya punya nama itu. Ada si Jampang, yang hitam kelam dengan taji pendek tetapi kukuh. Ada si Jagur, yang kakinya besar dan panjang. Ada juga si Jangger, yang semula bermahkota lebar dan tinggi hingga tampak memceratkan kepalanya. Demi kepantasan jago aduan, mahkota si Jangger disuruh pangkas oleh Lik Cokro yang peduli pada jago-jagonya itu. Seraya mengelus-elus jagonya, Lik Cokro sering bercerita tentang ciri-ciri jago aduan yang baik. Paruh jago aduan, kata Lik Cokro, harus besar, simetris, dan tidak boleh melengkung. Bila paruhnya melengkung, patukannya bisa tidak mengena. Besar kepala harus seimbang dengan badannya. Terlalu kecil akan mudah rontok bila dipatuk musuh. Terlalu besar memberatkan tatkala bertarung. Dada harus bidang dan tegak. Bila berjalan, membentuk sudut di atas empat puluh lima derajat. Kakinya harus besar dan panjang. Tajinya kuat dan lancip, tetapi tidak boleh terlalu panjang. Tentang warna, tidak disebut Lik C-kro. Tetapi kebanyakan jago aduan yang ada di kurungan miliknya berwarna hitam kelam atau cokelat dan kuning giring, kembang asem. Jago aduan, kata Lik Cokro, tidak boleh diberi makan sembarangan. Catunya harus dipatuhi dengan cermat: beras ketan, jagung pecahan, cabe, daun-daunan yang menyehatkan, dan secara berkala selalu disuap daging cacah. Selain sehat dan kuat, seekor jago aduan harus berani dan bisa galak. Maka, ayam-ayam aduan Lik Cokro tidak boleh kawin. Padahal, ayam jantan nalurinya memburu betina tatkala tiba birahinya. Lik Cokro sangat tidak suka itu. Karena itu, semua ayamnya selalu dikurung. Ayam aduan hanya boleh memamerkan bentuk tubuh dan nyaringnya kokoknya, sebelum matahari terbit. Tetapi, anehnya, jago-jago Lik Cokro belum pernah saya lihat benar-benar berlaga. Bukan tidak ada musuhnya. Tetapi selain beliau, Kang Katek juga memelihara ayam aduan. Bahkan tetangga yang lain, Mat Hasan, jual beli jago sebagai sumber penghidupan tambahannya. Ia juga rajin menernakkan ayam-ayam keturunan juara pilihan. Ayam Bangkok disilang dengan ayam kampung. Atau ayam Persia disilang dengan bekisar. Hasilnya, menurut saya, ada beberapa yang bagus. Buktinya, jago itu laku dijual ke mana-mana. Cuma Lik Cokro yang tidak pernah mau beli ayam jago silangan hasil karya Mat Hasan atau Kang Katek -- warga desa yang kurang berkenan di hatinya. Ayam Kang Katek maupun Mat Hasan, kata Lik Cokro, tidak murni. Penampilannya tidak seperti ayam yang berkepribadian. Karena ayam-ayam itu hasil silangan dari berbagai bibit. Bila ayam-ayam itu menang, keunggulannya tidak murni. Lik Cokro juga tidak pernah tertarik untuk milang-miling meneliti ayam hasil silang, karena telanjur punya kriteria tentang ayam aduan yang bisa diterima. Ia harus murni keturunan ayam buras. Bulunya mulus tanpa cacat di sayap, di leher, atau di dada. Padahal, ayam aduan yang sering berlaga beneran biasanya punya bekas luka. Kepala dan matanya harus penuh wibawa, tidak boleh jelalatan, sebutan untuk mata yang liar suka memandang ke mana-mana. Dan Lik Cokro hanya mau memelihara jago yang juara tunggal terus-menerus selama hidupnya. Saya tertegun. Mana ada ayam jago bisa juara terus tanpa saingan selama hidupnya? Mana ada ayam aduan yang tidak punya cacat di bagian tubuh yang menjadi ajang pertarungan nyata? Mana ada ayam aduan yang tidak liar pandangan matanya? Karena pandangan itulah yang mencerminkan motivasi laganya? Tetapi mana saya berani bertanya kepada paman saya yang penuh wibawa itu? Mana mungkin Pak Lik Cokrowongso dibantah? Apalagi untuk urusan yang menjadi kegemarannya. Maka, paling banter saya cuma berani senyum-senyum. Mengiyakan kalau didesak untuk bersetuju, yang saya kenali dari nada suaranya atau pandangan matanya. Anda tidak perlu heran bila ayam-ayam piaraan Lik Cokro begitu banyak jumlahnya. Semuanya berpengalaman menjadi juara selama kariernya sebagai ayam aduan. Karena sesungguhnya Lik Cokro adalah orang yang sangat lembut perangainya. Ayam-ayam yang banyak itu cuma disanjung-sanjung di depan tetangga atau tamunya. Ayam-ayam itu cuma dimandikan setiap pagi, dan dikerik paruh dan tajinya secara berkala. Jago aduan Lik Cokro sangat disayang, karena itu selalu dipenuhi segala kebutuhannya. Cuma setahu saya, tidak satu pun di antara jago-jago itu pernah diadu beneran sejak berada di tangan Lik Cokro. Ia cuma menjadi kampiun pajangan. Lik Cokro tidak sampai hati jagonya jatuh terkalahkan. Maka, sesungguhnya hanya ada satu juara: hati kecil Lik Cokro sendiri. Beliau berlaga, karena terus menjadi juara. Lik Cokro selalu kampiun memelihara jago-jago juara tak terkalahkan, yang tidak pernah kunjung diadunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini