DUNIA melek bagi Umi Dunia adaah tidak tidur 37 tahun. Janda berusia 58 tahun ini mengakui tak pernah mengantuk. Dan dengan sendirinya mata Umi lazim terbelalak saja sepanjang malam. "Di malam hari saya selalu berusaha menyibukkan diri," katanya. Kesibukan Umi, misalnya, menonton televisi, mengikuti pengajian, atau melakukan kerja-kerja ringan. Kalau semua sudah tidur, dan pekerjaan tak ada lagi, lalu ia duduk saja, atau bergolek, tapi tetap terbangun. Bagaimana mungkin fisiknya bertahan? Jawabnya, "Saya memang sering merasa capek, tapi tidak pernah sakit." Tentu saja dr. Yaunin yang memeriksa Umi terheran-heran. "Ia memang aneh," katanya. Teoretis, menurut Yaunin, Umi menderita insomnia, penyakit tidak bisa tidur. Tapi melihat yang dialami Umi, psikiater ini tak berani membuat diagnosa. Ia belum pernah menghadapi kasus sejenis itu. Apalagi pada Umi tak ditemukan kegelisahan dan keluhan. Keadaan Umi yang demikian mendorong pemimpin RS Jiwa Puti Bungsu, Padang, itu berniat menelitinya. Kemudian ia menawarkan perawatan gratis. Belum jelas apa Umi mau. "Sebetulnya saya tak merasa sakit," kata warga Desa Lima Sumaniak di Kabupaten Tanah Datar Barat itu. Penyebab dirinya tak bisa tidur, menurut Umi, merupakan sebuah pengalaman pahit sejak muda. Di masa remaja Umi terbilang gadis tercantik yang menjadi rebutan pemuda di desanya. Pada usia 20 tahun ia memutuskan menikah dengan Muchtar, pemuda sedesanya. Rumah tangga mereka selama dua tahun terasa bahagia. Sesudah itu datang badai yang membuat mata Umi melotot terus. Apalagi setelah Muchtar berpaling ke Rahimah, wanita dari desa lain. Walau tak secantik Umi, Rahimah lebih montok. Umi tetap berusaha menahan hati, tapi ia naik pitam ketika suaminya menggandeng Rahimah ke rumahnya. Bahkan Umi menerjang suaminya hingga terjungkal dari rumah yang tingginya 2,5 meter -- sampai Muchtar muntah darah. Umi tentu saja kaget. Hatinya lebih hancur lagi karena perceraian tidak bisa dielakkan. "Hati saya remuk sekali karena ketika itu Rahimah merampok suami saya," katanya. Wajah suami dan pacarnya itu terbayang di pelupuk mata Umi. Peristiwa yang dialaminya itu agaknya seperti sebuah film. Yang terekam dalam otaknya akan terus berputar, dan terbayang. Itulah awalnya yang membuat Umi tidak bisa tidur. Dan lama-lama Umi sadar: ternyata ia tak bisa tidur. Bahkan setelah bayangan buruk itu hilang, matanya payah dipejamkan. Walau masa pahit sudah berlalu, Umi masih merana. Ia, yang sebenarnya masih cantik sewaktu bercerai, memutuskan tidak menikah lagi. Menurut keluarganya, sejak itu Umi menjadi pemurung serta mudah tersinggung. Hatinya pantang disakiti dan ia sering sedih berkepanjangan. Malah ia sulit mempercayai orang lain, selain sangat hati-hati mengutarakan perasaannya. Hanya pada keluarga terdekat saja ia bisa membuka diri. Sekilas ada gejala depresi pada Umi Dunia, yang seperti hidup dalam dunianya sendiri. Ia sebagai perempuan kesepian dalam sunyi. Ia juga tidak punya anak. "Saya ini miskin, tanpa punya siapa-siapa, dan tidak dipandang orang," ujarnya selalu. Tetapi apa benar seseorang bisa bertahan tak tidur 37 tahun? Ini sukar dijawab. Apalagi keadaan itu masih dijadikan bahan penelitian di lingkungan psikoneurologi hingga kini. Sementara itu, seluk-beluknya pun baru-baru ini saja terungkap. "Tidak ada makhluk yang bisa tahan tanpa tidur. Manusia sangat membutuhkan tidur," kata dr. Yul Iskandar. Sudah selayaknya ia ditanyai kendati tidak langsung memeriksa kasus Umi. Bulan depan ia mempertahankan disertasinya tentang hubungan tidur dengan gangguan kejiwaan. Menurut ahli psikoneurologi ini, pada interval tertentu Umi mengalami keadaan tidur. Ada dua jenis tidur. Yaitu tidur obyektif dan tidur subyektif. Tidur subyektif adalah keadaan ketika seseorang memang merasa ia tidur. Sedangkan keadaan tidur obyektif ditentukan hasil tes berbentuk poligrafik. Gangguan yang diderita Umi terletak pada tidur subyektif. Ia tak pernah mengalami tidur subyektif. Bila Umi dites dengan alat untuk mengukur keadaan tidur, baru ini bisa dilihat bahwa dia mengalami tidur obyektif. Menurut Yul, poligrafik yang menggambarkan gelombang otaknya akan menunjukkan pada waktu-waktu tertentu Umi itu tidur -- meskipun secara otomatis aktivitas rutinnya bisa berlangsung. Manusia bisa bertahan tak tidur paling lama 72 jam. Percobaan dengan binatang menunjukkan tidak tidur selama 72 jam membuat hewan itu mati. Percobaan pada manusia menunjukkan, setelah 36 jam melek terus, seseorang jatuh tertidur secara otomatis. Yul berpendapat, Umi menderita insomnia dari jenis yang berat. Yaitu insomnia akibat gangguan patologis psik-iatris. Melihat traumanya yang sudah lama -- sementara gangguan tidurnya masih berlangsung -- besar kemungkinan ia depresi. Penderita depresi, skizofrenia, dan kecemasan biasanya memang mengalami gangguan tidur subyektif. Pangkalnya adalah terganggunya keseimbangan senyawa otak serotonin. Senyawa ini, yang juga mengatur fungsi tidur, sangat dipengaruhi kondisi-kondisi kejiwaan. Namun, Yul mengakui tidak mudah menemukan kondisi neurologis keadaan tidur subyektif. Keadaan tidur, secara neurologis, adalah integrasi 10 milyar sel neuron. Karena itu, sulit menjabarkan keadaan tidur secara tepat. Apalagi pusat tidur itu sampai sekarang belum diketahui. Jadi, keadaan dan seluk-beluk yang dialami Umi Dunia itu masih sulit diuraikan secara pasti. Ada sisi tidak biasa yang mungkin menarik untuk diteliti. Misalnya, pusat tidur yang terganggu fungsinya, sehingga menyebabkan seseorang tidak bisa tidur. Jim Supangkat, Fachrul Rasyid, Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini