Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAFSAR Tameesuddin menceritakan kembali pengalamannya sebagai pengungsi Rohingya di sejumlah negara. Sebelum kini menetap di Auckland, Selandia Baru, Hafsar pernah tinggal di Thailand dan Malaysia sebagai pelarian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa bekal paspor atau tanda pengenal lain, ia melarikan diri dari Myanmar melalui jalur darat. Hafsar sekejap menetap di Mae Sai, area perbatasan Thailand, saat kabur dari Myanmar. “Saya bepergian melalui darat, melintasi Thailand lewat perbatasan,” ujarnya pada Senin, 7 Oktober 2024, dalam wawancara virtual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti orang Rohingya lain, Hafsar lahir tanpa kewarganegaraan. Myanmar mengecualikan Rohingya dan kelompok etnis minoritas lain dalam undang-undang kewarganegaraannya. Hafsar hidup dan besar di Rakhine hingga berusia 20-an tahun. Ia kemudian pergi ke Yangon yang saat itu menjadi ibu kota Myanmar dan bersembunyi di sana beberapa bulan sambil menemukan cara hengkang dari negara tersebut.
Hafsar sulit bepergian karena tak punya dokumen identitas resmi. Satu-satunya cara yang bisa ia tempuh ketika melarikan diri dari Myanmar pada akhir 2009 adalah menyewa jasa penyelundup. Saat berada di Thailand, ia tak banyak berkomunikasi dengan warga setempat karena takut ketahuan oleh otoritas negeri itu. Selama ia di sana, Hafsar mengungkapkan, warga wilayah perbatasan menerimanya dengan ramah. "Mereka tidak membenci kami, para pengungsi," kata Hafsar.
Ia juga tak bisa mengajukan permohonan status pengungsi karena keterbatasan akses untuk menghubungi UNHCR, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus pengungsi. Setelah satu setengah tahun menetap di Mae Sai, Hafsar mencoba pergi ke Malaysia. Dia pun melakukan riset sederhana dan menemukan cara mendapatkan status pengungsi di sana. “Dan saya mungkin dapat menemukan semacam pekerjaan dan solusi jangka panjang. Itulah harapan saya selama melakukan perjalanan tanpa dokumen legal," tuturnya.
Untuk memenuhi kebutuhannya, Hafsar lebih banyak meminjam uang dari anggota keluarganya yang tinggal di luar negeri. Sebagian besar uang itu dihabiskan untuk membayar jasa penyelundup.
Selama di Malaysia, Hafsar tidak mendapat akses ke pendidikan. Ada beberapa perbedaan perlakuan yang signifikan terhadap para pengungsi Rohingya di Malaysia. Malaysia tidak mengizinkan warga yang tidak memiliki paspor beroleh pendidikan.
Hafsar tidak bisa membandingkan Thailand dan Malaysia dalam soal penanganan pengungsi. Ketika dia berada di Malaysia, ada lebih banyak pengungsi yang memiliki kartu UNHCR. Tapi, ketika tim Imigrasi Malaysia mengecek kawasan pengungsi, ada saja yang terkena hukuman dan dipenjara.
Ada kesulitan dalam berkomunikasi dengan pengungsi yang sedang menjalani hukuman. Bahkan UNHCR pun tidak memiliki akses untuk membantu orang-orang tersebut. "Jadi kamu tidak tahu bagaimana para pengungsi diperlakukan saat menjalani hukuman. Menurut cerita orang-orang yang berhasil lolos dari hukuman, suasananya sangat mengerikan. Hukuman yang diberikan sangat tidak manusiawi," kata Hafsar.
Penjaga menjaga pintu masuk pusat penahanan imigrasi pengungsi Rohingya, di Bidor, Malaysia, 2 Februari 2024. Reuters/Hasnoor Hussain
Pendiri Jaringan Alternatif ASEAN untuk Burma (ALTSEAN-Burma), Debbie Stothard, membenarkan kabar bahwa para pengungsi Rohingya di Malaysia tidak mendapat pendidikan. Contohnya, Stothard menjelaskan, adalah Noor Azizah, pengungsi Rohingya yang pernah tinggal di Malaysia selama enam tahun.
Noor menetap di Malaysia sejak berusia 2 tahun hingga 8 tahun. Selama itu pula ia tidak memperoleh akses ke pendidikan. "Padahal akses pendidikan itu kebutuhan pokok setiap orang," ucap Stothard dalam wawancara virtual pada Sabtu, 12 Oktober 2024.
Saat ini Noor Azizah menetap di Amerika Serikat dan menjadi ahli perangkat lunak. Stothard menyayangkan keadaan pengungsi seperti Noor Azizah yang tidak beroleh akses pendidikan selama di Malaysia. Ia bisa saja menjadi kebanggaan Malaysia bila dididik di negara tersebut.
"Sebagai orang Malaysia, saya bangga Noor Azizah bisa berhasil di negeri orang, tapi saya juga malu sama pemerintah Malaysia. Padahal Noor Azizah bisa berkontribusi banyak di Malaysia, Asia, bahkan dunia bila saja diberi akses pendidikan baik di Malaysia," ujar Stothard.
Pengungsi tak memiliki akses di bidang pendidikan dan kesehatan di Thailand maupun di Malaysia. Walau secara formal tidak ada bantuan pendidikan bagi anak pengungsi, menurut Stothard, ada organisasi di Thailand yang mendorong mereka bisa mendapatkan akses pendidikan.
Salah satu anak pengungsi Rohingya yang beroleh pendidikan secara informal adalah Yasmin Ullah. Usianya kala itu 3-19 tahun. Yasmin, menurut Stothard, belajar berbahasa Thai dengan baik. Ia pun menjadi bagian dari komunitas sosial di Thailand. Rasa cintanya terhadap Thailand terus berkembang, hingga sering sekali datang berlibur ke negeri itu.
Stothard melanjutkan, pendidikan adalah bekal pengungsi agar bisa berkembang di masyarakat. Tanpa pendidikan, lama-lama mereka bisa melakukan tindakan kriminal. "Selama ini para pengungsi hanya dijadikan mesin uang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka dibiarkan ketakutan dan tertekan. Tanpa pendidikan, para pengungsi ini pun tidak paham akan hak legalnya," kata Stothard.
Selain menghadapi sulitnya akses terhadap pendidikan, pengungsi dilarang bekerja. Di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, mereka tidak diperkenankan bekerja di sektor formal.
Namun di Malaysia ada beberapa pengungsi yang bisa memperoleh akses pekerjaan. "Mereka sebenarnya tidak ada hak formal untuk bekerja, tapi banyak pengungsi dapat mengakses pekerjaan informal di Malaysia," ucap Petugas Perlindungan Senior UNHCR Indonesia Emily Bojovic saat ditemui di Jakarta pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Menurut Bojovic, meski bekerja di sektor informal, pengungsi bisa mandiri. "Akses itu amat berharga bagi mereka yang bertahan di Malaysia. Bahkan mayoritas pengungsi Rohingya di Indonesia rela ke Malaysia karena berasumsi bisa bekerja di sana," tuturnya.
Bila melihat penanganan pengungsi di sejumlah negara di Asia Tenggara, Bojovic mengatakan, Filipina adalah yang cukup baik. Salah satu tawaran Filipina adalah sistem perawatan yang tepat untuk pengungsi. "Para pengungsi pun memiliki akses hak-hak dasar di Filipina," ucapnya.
Meski para pengungsi ditangani dengan baik, jumlahnya di Filipina hanya sedikit. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Kristen, menurut Debbie Stothard, Filipina tak menjadi negara tujuan utama para pengungsi Rohingya. "Biasanya pengungsi Rohingya akan mencari negara dengan mayoritas muslim, antara Indonesia dan Malaysia," ujarnya.
Friski Riana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perlakuan Berbeda Pengungsi Rohingya". Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support