Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOSEPH Beuys (1921-1986) membawa seekor kelinci dalam pertunjukannya di sebuah galeri di Düsseldorf, Jerman, 26 November 1965. Judul pertunjukan itu How to Explain Pictures to a Dead Hare. Beuys duduk di kursi dekat pintu masuk galeri. Tangannya menimang seekor kelinci mati. Ia membawa binatang itu mendekat ke tembok, lalu berbicara seperti menjelaskan karya seni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beuys juga kerap menggunakan papan tulis saat berceramah atau berdiskusi dengan penggemar fanatiknya. Seniman Jerman itu menjelaskan ide-idenya dengan diagram, teks, dan gambar di atas papan tulis hitam yang menjadi wahana khasnya. Papan tulis Beuys dianggap sebagai karya seni dan kini menjadi koleksi permanen museum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangan Action dan papan tulis Beuys sejak 1960-an mustahil kita singkirkan saat melihat lukisan-lukisan Jumaldi Alfi di D Gallerie, Jakarta. Dalam pameran tunggal bertajuk "Never Ending Stories" itu, Alfi menampilkan 16 lukisan yang semua ia kerjakan pada 2024. Judul-judul lukisan Alfi memang mengacu pada pertunjukan Beuys, diawali dengan kalimat seperti “How to explain a painting/a picture”.
Beberapa tahun lalu, Alfi sudah meminjam pepatah-petitih Beuys untuk seri lukisan papan tulisnya. Salah satu judul lukisannya saat itu Homage to Beuys (2007). Pada 2010, kalimat Beuys “Everyone is an artist” diulang-ulang Alfi pada lukisannya, Blackboard Series ‘Fake’.
Papan tulis Beuys adalah wahana untuk pertunjukannya, sementara Alfi mengubahnya menjadi citra lukisan. Beuys menggunakan obyek seperti kelinci mati dan papan tulis untuk menghadirkan sesuatu yang material, bukan citra atau simbol. Alfi mengutip manifesto Beuys dan mengubahnya menjadi ilusi dalam bidang dwimatra.
Lukisan-lukisan di pameran yang digelar pada 21 September-21 Oktober 2024 itu adalah perkembangan seri papan tulis yang ia kerjakan sejak 2009. Setelah sekian lama hanya melukis papan tulis dan teks-teks, Alfi kini mendorong bidang hitam itu ke pinggir dan memasukkan citra lukisan pelukis lain ke dalam lukisannya.
Papan tulis Alfi adalah lukisan tentang papan tulis. Ilusi tentang papan tulis sebagai lukisan ia berhasil kerjakan sejak mulai menggarap seri ini. Tentu saja tidak menjadi soal jika Alfi mengerjakan lukisan-lukisan realisnya dengan menggunakan artisan.
Pada beberapa lukisan terdahulu kita melihat ilusi citra-citra yang menggugah pada jejak-jejak penghapus, baris-baris tulisan tangan yang samar, dan bahkan debu kapur yang seakan-akan menempel pada papan tulis. Melihat foto-foto lukisan Alfi dalam seri papan tulis lamanya, seakan-akan kita melihat obyek nyata papan tulis. Kepiawaian penggarapan ilusi semacam itu masih ia tunjukkan dalam pameran ini.
How to Explain a Painting – (Pollock Number One). Tempo/Jati Mahatmaji
Namun ilusi pasti bukan segala-galanya ketika kita melihat seri lukisan Alfi ini. Pemanfaatan papan tulis sebagai wahana Action pada Beuys menjadi sekadar ilusi papan tulis pada Alfi perlu diberi beberapa catatan. Papan tulis Alfi memang berbeda dengan papan tulis Beuys. Pada lukisan-lukisan lamanya, Alfi telah menyiapkan dan menyelesaikan teks-teks yang akan dituliskan di atas papan tulis. Teks-teks itu, sejauh yang dapat kita baca, adalah berbagai pernyataan perihal “lukisan” dan “seni rupa”.
Entah mengapa teks-teks itu selalu ditulis dalam bahasa Inggris. Maka kita membaca di atas papan tulis itu macam-macam batasan tentang “painting” dan “art”. Apakah ini manifesto Alfi tentang seni lukis yang ia praktikkan? Atau kutipan pernyataan seniman lain, seperti ia mengalihwahanakan papan tulis Beuys ke genre lukisan? Apakah teks-teks itu dibuat untuk menunjukkan perbedaan cara Alfi memanfaatkan wahana papan tulis ke dalam lukisannya sehingga tak sama dengan praktik papan tulis Beuys?
Karena lukisan papan tulis dan teks pada papan tulis adalah ilusi pada lukisan Alfi, kita bisa mengatakan kesatuan papan tulis dan teks-teksnya itulah manifesto Alfi tentang praktik seni lukisnya. Dalam pameran ini, teks-teks yang biasanya tampil pada papan tulis digantikan oleh apropriasi dari bermacam-macam kecenderungan dalam seni lukis abstrak.
Melalui rekaman video di ruang pameran, Alfi mempertanyakan ulang anggapan umum tentang lukisan-lukisan abstrak. Bagi Alfi, lukisan abstrak adalah capaian tertinggi dalam perkembangan seni lukis. Lukisan abstrak adalah ekspresi yang memerlukan aturan main atau disiplin tertentu dalam menerapkan bentuk, warna, komposisi, dan lain-lain. Lukisan abstrak bukan hanya tumpahan cat atau corat-coret iseng. Alfi menyebutkan lukisan abstrak bahkan melampaui disiplin “syariah” dan memiliki kecenderungan ke arah hal-hal spiritual.
“Spiritualitas” dalam pengertian Alfi yang melampaui disiplin teknis melukis tentu tidak bisa dikenali begitu saja oleh pengunjung awam. Kesan mengenai tumpahan cat atau sembarang coretan kuas di atas kanvas adalah sebuah praktik dalam proses. Itulah yang kita lihat pada beberapa lukisan Alfi yang mengapropriasi atau meminjam berbagai genre lukisan abstrak. Misalnya lukisan How to Explain a Painting – (Mondrian #2), How to explain a Painting (Yves Blue), How to Explain a Painting – (Pollock Number One), dan How to Explain a Picture – Abstract Painting is (not) easy #01.
Nama-nama tenar yang disebut dalam judul lukisan Alfi menandai perkembangan dalam seni lukis abstrak di lingkungan internasional. Jika Alfi kembali menyadari muasal ide papan tulisnya, agaknya inilah cara dia mengambil jarak pada wahana papan tulis Beuys yang justru menciptakan citra tandingan atau “counterimage” bagi lukisan-lukisan modern. Beuys, misalnya, menggunakan medium felt (kain wol) sebagai materi konkret yang menyimpan energi panas, bukan simbol.
Pada karya-karya Alfi, citra lukisan para tokoh pelukis modern itu dibingkai oleh papan tulis hitam, yang notabene ilusi, menjadi sepotong citra. Kita masih melihat pada bidang papan itu semacam oret-oretan layaknya Beuys sedang berceramah. Semua ditulis dalam bahasa Inggris. Apakah ini artinya Beuys, dalam lukisan Alfi, seolah-olah sedang menerangkan sepotong citra itu kepada kita yang menyaksikan lukisannya? Atau Alfi sedang menjelaskan hubungan antara papan tulis Beuys dan lukisan-lukisan itu?
Teks-teks pada papan tulis itu memang tidak ditampilkan utuh. Hanya potongan-potongannya yang bisa kita baca. Seperti lukisan-lukisan terdahulu, tampaknya sebagian besar adalah komentar tentang lukisan yang lebih samar.
How to Explain a Painting – (Mondrian #2). Tempo/Jati Mahatmaji
Sesungguhnya, di luar hubungan yang samar antara ilusi papan tulis dan citra-citra karya pelukis lain, ada yang patut diperhatikan pada lukisan-lukisan ini. Perhatikan cara Alfi membikin papan tulisnya yang berbingkai-bingkai. Papan tulis itu memang menjadi semacam bingkai, tapi bingkai dalam bingkai. Maka kita melihat Alfi tidak cukup membuat bingkai papan tulis yang dipinjam dari seniman lain. Tapi juga ada bingkai “sebenarnya”, yaitu bingkai kayu, lalu ada celah atau bingkai tipis di antara bingkai lukisan dan bingkai di dalamnya.
Setelah itu ada bingkai kayu yang dilukis seolah-olah bingkai papan tulis. Ada enam-tujuh bingkai pada seri lukisan Alfi ini. Tentu saja Alfi membutuhkan bingkai supaya papan tulisnya tidak sekadar menjadi bingkai pinjaman. Dia membikin, melukis, dan menampilkan bingkai ilusi sebagai bingkai nyata dan menjadikan bingkai nyata seakan-akan bingkai papan tulis yang adalah ilusi.
Dalam buku tentang Alfi yang terbit pada 2008, setahun sebelum mengawali seri lukisan papan tulis ini, ia menyinggung sampiran dan pantun. Alfi pernah ingin menjadi ahli pantun, tapi ia lebih merasa cocok melukis karena lebih spontan.
Seri lukisan papan tulis sesungguhnya menunjukkan Alfi bukan pelukis spontan yang selama ini hendak dikesankannya. Ia pintar membuat sampiran, yakni sebelum menuju makna pantun. Bingkai berlapis pada lukisan-lukisan ini adalah semacam sampiran pada “manifesto” lukisan Alfi. Sementara Beuys mau menjelaskan makna seni kepada kelinci mati, Alfi membingkai lukisan-lukisan abstrak milik pelukis lain karena baginya lukisan dapat menjelaskan dirinya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pada Sebuah Papan Tulis"