SEMAKIN gencar pemerintahan kaum mullahdi Teheran melaksanakan
hukuman mati. Sejak 20 Juni sekitar 600 orang yang dituduh
antirezim Khomeini menghadapi regu tembak. Dan, menurut kantor
berita Pars, Sabtu lalu 27 orang lagi dieksekusi karena
menentang pemerintah.
Juga aksi penangkapan terus berlangsung. Di Teheran Sabtu lalu,
Pengawal Revolusi menahan sekitar 100 orang yang dituduh sebagai
anggota kelompok teroris. Pars melaporkan bahwa 50 orang
keluarga kerajaan juga ditahan. Aksi penahanan ini hampir
menjadi pekerjaan rutin sejak terjadi ledakan bom di kantor
Partai Republik Islam, yang sempat menewaskan Ayatullah Behesti.
Apalagi rezim Khomeini sungguh tidak mengampuni lawan
politiknya.
Mohammad Ali Rajai yang baru awal Agustus ini dilantik sebagai
presiden menggantikan Abolhassan Bani Sadr secara tegas menuduh
kelompok Mojaheddin-e-Khalq menjadi biang perusuh. Ia menghimbau
rakyat Iran agar bertekad menghancurkan aksi kampanye kaum
Mojaheddin.
Kejengkelan kaum mullah terhadap Mojaheddin ini semakin
menjadi-jadi. Kelompok inilah yang melindungi Bani Sadr semasa
persembunyiannya di Teheran, sebelum ia melarikan diri ke
Prancis. Bahkan ia melarikan diri bersamasama pemimpin
Mojaheddin, Massoud Rajavi. Dari Paris, Bani Sadr dan Rajavi
terus memimpin perlawanan terhadap rezim Khomeini.
Tapi kedatangan Bani Sadr di Paris (29 Juli) sempat mengganggu
hubungan Prancis-lran. Ayatullah Meshkini dalam khotbah Jumat di
Qom menyerukan agar Prancis memulangkan Bani Sadr. "Jika anda
tidak mengembalikan teroris itu (Bani Sadr, rakyat Iran akan
bertindak sebagaimana yang dilakukannya terhadap Amerika
Serikat." Ucapan Meshkini ini suatu pertanda bahwa mereka
mungkin akan menyandera warganegara Prancis yang berada di Iran.
Dan ini disusul dengan agitasi dan demonstrasi di depan Kedutaan
Besar Prancis di Teheran. Pemerintah Prancis kemudian menyerukan
kepada warganya di Iran agar segera berangkat. Sampai pekan lalu
sekitar 120 orang Prancis meninggalkan Iran. Sedang staf kedubes
Prancis sudah banyak berkurang, hanya tinggal empat orang.
Ayatullah Khomeini sudah menawarkan pengampunan kepada Bani Sadr
bila ia mau kembali ke Teheran. Ternyata Bani Sadr cukup serius
menanggapi tawaran itu . Dalam wawancara AFP d i kediamannya di
luar Kota Paris, Bani Sadr menyatakan ia bersedia pulang ke
Teheran asal Ayatullah Khomeini setuju memulihkan kembali
kemerdekaan di Iran sesuai dengan komitmen yang mereka buat
ketika di Paris. Khomeini bersama Bani Sadr berada di Prancis
1978, sebelum Revolusi Iran.
Bani Sadr mendapat suaka politik dari Pemerintah Prancis. Ia
bersama Rajavi mendirikan 'Dewan Perlawanan Nasional'. Ada
perjanjiannya dengan Pemerintah Prancis bahwa ia tidak boleh
mengeluarkan pernyataan politik, tapi hal itu ternyata
diabaikannya. Setelah berdiam diri selama dua minggu, ia kembali
bersuara. "Saya kira, rakyat yang cinta damai tidak akan
membiarkan seseorang berdiam diri terhadap meluasnya tindak
kekerasan," kata Bani Sadr.
Ia bersama Rajavi mendirikan 'Dewan Perlawanan Nasional' dan
menanti waktu yang tepat untuk kembali ke Iran. Sementara itu ia
juga mempersiapkan sebuah buku tentang Revolusi Iran.
Beredar desas-desus bahwa ia akan bersekutu dengan sisa
pendukung almarhum Syah Iran. Bani Sadr membantahnya dan
mengatakan: "Lebih baik saya bersekutu dengan Khomeini daripada
dengan Presiden AS, Ronald Reagan . . . Tapi Khomeini harus
menyadari bahwa sistem pemerintahannya yang lalim dan otoriter
akan menimbulkan ledakan."
Mencari Kebenaran
Aksi perlawanan terhadap Khorneini memang semakin mengeras.
Sebuah kapal patroli buatan Prancis yang dipesan Iran bahkan
telah dibajak di lepas pantai Cadiz, Spanyol. Tabarzin, demikian
namanya, bersama dua kapal patroli lainnya -- Khanjar dan Neyzer
-- sedang menuju Iran. Menurut cerita Antonio Zajara, kapten
kapal tunda yang digunakan para pembajak itu, ada sekitar 15
anggota Komando yang ikut membajak kapal patroli itu. Mereka
menyewa kapal tunda itu untuk pesiar di sekitar Teluk Cadiz. Dan
ketika berlangsung pembajakan itu tak seorang pun awak kapal
patroli itu yang mengadakan perlawanan. "Bahkan sewaktu kapal
tunda itu mulai mendekat, lima awak kapal Tabarzin ikut membantu
para pembajak untuk naik ke dek, sedang yang lainnya duduk
memperhatikan tamu yang tak diundang itu.
Laporan melalui telepon yang disampaikan kepada media massa di
Paris mengatakan bahwa pembajakan itu dilancarkan oleh
organisasi Azadegan (Pencari Kebebasan) yang dipimpin bekas
Jenderal Bahram Aryana. Ia adalah bekas Panglima Angkatan
Bersenjata di masa Syah Iran masih berkuasa. Sedang pasukan
komando yang membajak itu dipimpin langsung oleh bekas Admiral
Kamal Habibollahi. Ketiga kapal patroli itu yang bersenjatakan
peluru kendali adalah sisa terakhir dari 12 kapal yang dipesan
Syah Iran sejak tahun 1974. Pengiriman ketiganya tertunda selama
dua tahun karena meletusnya Revolusi Iran.
Nasib kapal yang dibajak itu masih belum jelas. Ada yang
mengatakan ia singgah di Tangier, Maroko. Tapi pemerintah Maroko
membantah berita itu. Sedang yang dua lagi kabarnya sudah tiba
di Oran, Aljazair. Dengan adanya aksi pembajakan kapal patroli
ini, Khomeini mungkin tertegun dan menyadari: Perlawanan
ternyata memang ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini