BANGKAI kapal Gili Wangi Jaya akhirnya ditemukan terapung 15
Agustus lalu. Kapal layar yang dilengkapi mesin 45 PK itu
tenggelam 5 Agustus dalam pelayaran dari Wanci (kota kecamatan
di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara) menuju
Ambon.
Baru 16 orang, tiga di antaranya awak kapal, yang diketahui
selamat. Berapa jumlah seluruh penumpang sulit diketahui. Berita
pertama menyebutkan sekitar 200 orang, tapi menurut Supangkat
SH, sekretaris Kanwil Perhubungan VI di Ujungpandang, jumlah
penumpang sekitar 100 orang dengan sembilan awak kapal. Ini
hasil dari pemeriksaan yang dilakukan terhadap awak kapal yang
selamat.
Berita tenggelamnya kapal yang sarat penumpang itu baru diterima
SAR Koordinator III Ujungpandang tanggal 11 Agustus, bersumber
dari awak kapal yang selamat tadi. Gili Wangi Jaya (artinya:
Pulau Wangi Jaya) sebagaimana umumnya kapal layar tidak punya
alat navigasi kecuali kompas. "Paling-paling hanya ada dua rakit
dan lampu teplok," ujar Muh. Nur, juragan kapal sejenis dari
Pulau Kapotta di seberang Wanci. "Kalau ada badai cukup dihadapi
dengan jalan menurunkan layar," tambahnya.
Kepulauan Tukang Besi di ujung tenggara Sulawesi Tenggara ini
memang banyak memiliki kapal layar. Penduduknya tergolong padat
dan suka merantau. "Banyak yang bertani cengkih di Maluku," ujar
Muh. Nur. Para penumpang Gili Wangi tersebut diperkirakan juga
para pekerja kebun cengkih yang hendak kembali ke Ambon setelah
lebaran di kampung halaman.
Pelayaran itu biasanya memerlukan waktu tiga hari. Tapi baru
dua hari meninggalkan Wanci, badai besar menyerang dan menurut
awak kapal, Gili Wangi langsung miring lalu tenggelam.
Laut antara Sulawesi dan Maluku memang dikenal ganas pada
bulan-bulan Juli-Agustus-September. "Apalagi dekat Pulau Buru,"
ujar M. Nur yang sudah berkali-kali berlayar ke Ambon.
Jumlah angkutan laut di kawasan itu memang dikenal sangat minim.
Ada kapal perintis di Sulawesi Tenggara tapi tidak mencukupi dan
hanya menghubungkan antara kota-kota tertentu. Memang tidak ada
komoditi yang bisa diangkut dari Kepulauan Tukang Besi.
"Penumpang selalu luber. Tidak tertampung semua," ujar salah
seorang pejabat Pelni di Ujungpandang. "Jumlah muatan barang
sangat sedikit sehingga kapal-kapal perintis itu selalu rugi,"
tambahnya.
Tak Terkontrol
Kekurangan kapal itu menyebabkan kapal layar seperti Gili Wangi
Jaya - panjang 14 meter dan lebar hanya 4,5 meter -- dijejali
sampai 100 orang lebih. "Padahal mestinya hanya cukup untuh 50
orang," ujar Nur.
Pengisian penumpang ini tidak terkontrol lagi lantaran hanya di
Bau-bau (ibukota Kabupaten Buton) ada kantor Syahbandar. Di
beberapa pulau, seperti dikatakan Supangkat, ada seorang
Pengawas Bandar. Pengawas inilah yang seharusnya memberi izin
berlayar dan dispensasi jumlah penumpang.
Tapi seperti dikatakan M. Nur, berapa banyak penumpang yang akan
dibawa terserah pada nakoda. "Sebelum berlayar biasanya minta
pas jalan dulu pada lurah. Tidak ada surat-surat lainnya lagi.
Dan penumpang juga tidak dibuatkan daftar," ujar Nur.
Agak disayangkan memang berita kecelakaan itu terlambat sekali
sehingga operasi pertolongan tidak menemukan apa-apa lagi
kecuali bangkai kapal kayu milik La Marasela dengan nakoda La
Masale tadi yang tak diketahui nasibnya. Padahal, berbeda dengan
peristiwa KM Tampomas II tempo hari, tiga kapal perang ikut
dikerahkan dari pangkalannya di Surabaya, sekalipun hasilnya
nihil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini