Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Sri Lanka pada Selasa, 25 Juni 2019, menyidangkan delapan terduga yang menangkap dan menjual puluhan bayi gajah sebagai simbol status. Satu dari delapan terduga itu adalah pejabat di lembaga konservasi Sri Lanka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para ahli satwa liar mengatakan sekitar 40 anak gajah jantan telah dicuri dari induk-induk mereka dalam 10 tahun terakhir. Mereka dijual dengan harga US$ 125 ribu per ekor atau sekitar Rp 1,7 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pawang gajah atau mahout memandikan gajah di sungai di Tangkahan, Labuhan, Sumatera Utara. TEMPO | Mardiyah Chamim
Menurut Jaksa Penuntut Nishara Jayaratne, Wakil Direktur Konservasi Satwa Liar Sri Lanka, Upali Pathmasiri bersama tujuh terduga pencurian bayi gajah telah didakwa dengan 33 tuntutan, yang diantaranya menangkap dan memiliki bayi-bayi gajah pada 2014 – 2015.
“Ini untuk pertama kalinya dalam sejarah hukum Sri Lanka, kami menyidangkan kasus penjualan gajah,” kata Jayaratne.
Jika tuduhan itu terbukti, maka para terduga terancam hukuman hingga 20 tahun penjara.
Kasus pencurian bayi-bayi gajah ini terungkap ketika pemerintah Sri Lanka berkuasa sekarang meluncurkan program pemulangan hewan-hewan yang dipindahkan ke suatu negara. Orang-orang kaya menilai memiliki bayi gajah di rumah adalah perlambang status kekayaan. Hal ini juga tradisi yang dulu dilakukan para bangsawan yang memelihara gajah dan biasanya diarak pada sejumlah acara festival di kuil Buddha.
Perdagangan ilegal bayi-bayi gajah telah berdampak pada menurunnya populasi gajah. Para ahli konservasi mengatakan induk-induk gajah betina sering dibunuh supaya bayi mereka bisa diambil.