Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERLIN - Terasing di Eropa, Angela Merkel menghadapi ujian besar di dalam negeri dengan gelaran pemilu di tiga negara bagian pada Ahad lalu waktu setempat. Pemilu ini penting bagi Merkel yang tengah memimpin untuk periode ketiga, setelah mengambil keputusan besar pada musim panas lalu dengan membuka pintu bagi pengungsi yang melarikan diri dari konflik Suriah. Langkah ini menuai pujian sekaligus kritik keras.
Perempuan pertama yang menjabat Kanselir Jerman ini dinobatkan sebagai Person of the Year oleh majalah Time pada 2015 karena keputusan itu membuat Jerman menerima lebih dari satu juta pengungsi hanya dalam setahun terakhir. Namun keputusan ini juga membuat marah banyak warga Jerman, terutama kelompok sayap kanan dan ultranasionalis, yang keberatan terhadap banjir imigran tersebut.
Pemilik suara di Negara Bagian Baden-Wuerttemberg, Rhineland-Palatinate, dan bekas wilayah komunis Saxony-Anhalt akan menentukan apakah mereka tetap mempercayai perempuan berusia 61 tahun itu untuk memegang kekuasaan penuh di Jerman. "Merkel akan tetap menjadi Kanselir, tapi kemungkinan besar dengan wajah babak-belur," kata Matthias Kortmann, peneliti politik dari University of Munich, pada akhir pekan lalu.
Baden-Wuerttemberg dan Rhineland-Palatinate di sebelah barat dan Saxony-Anhalt di timur memiliki jumlah populasi sebesar 17 juta jiwa. Ini mencapai seperlima dari total penduduk Jerman yang berjumlah 81 juta orang.
Jika para pemilik suara dalam pemilu penting ini memutuskan untuk menggerus kekuasaan Merkel, kebijakan pro-imigrasinya pun di ujung tanduk. Kekalahan partai konservatif Merkel, Kristen Demokrat (CDU), dalam pemilu dapat memperlemah posisinya. Pertanyaan soal kemungkinan pergantian kepemimpinan pun dapat mencuat, meski hingga kini popularitas Merkel di internal partai tak terkalahkan.
Tantangan terbesar bagi partai Merkel, Kristen Demokrat (CDU), adalah partai Alternatif untuk Jerman (AfD). Sikap anti-pengungsi yang disuarakan partai ini diprediksi dapat mencuri suara di tiga negara bagian tersebut. AfD terutama sangat kuat di Saxony-Anhalt, yang tingkat penganggurannya mencapai 10 persen. Sementara itu, di Baden-Wuerttemberg yang kaya, posisi CDU terancam oleh Partai Hijau.
Beberapa hari menjelang gelaran pemilu, Merkel berupaya memperbaiki situasi krisis pengungsi dengan menggelar konferensi tingkat tinggi (KTT) Uni Eropa dan Turki. Upaya ini, meski tak diakui Merkel, sangat berpengaruh pada politik dalam negeri. Jerman menjadi pemain kunci bersama Turki dalam KTT yang berlangsung sepekan lalu.
Bahkan Presiden Dewan Eropa Donald Tusk dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker tidak diundang sehari sebelum KTT dimulai pada Senin lalu. Reuters melaporkan bahwa sejumlah diplomat Uni Eropa dan pejabat di Brussel kesal karena mereka tidak diajak berunding dalam persiapan menjelang konferensi. "Tanya Nyonya Merkel" adalah jawaban mereka saat ditanyai mengenai kemungkinan mengembalikan seluruh pengungsi, termasuk dari Suriah, ke Turki.
Sayangnya hasil akhir kesepakatan dengan Turki, yang bersedia menahan banjir pengungsi dengan syarat yang sangat berat, baru dapat diputuskan dalam pertemuan pada Kamis-Jumat mendatang. "Bila ia tidak dapat menekan pemimpin negara-negara anggota Uni Eropa lainnya, Merkel terpaksa mengubah kebijakan pro-pengungsinya," ujar Oskar Niedermayer, profesor politik dari Free University di Berlin.
Perubahan drastis yang mungkin harus diambil Merkel termasuk memperketat perbatasan Jerman. Langkah ini akan merugikan bagi Merkel, yang ingin kembali berkuasa untuk keempat kalinya dalam pemilu federal 2017. REUTERS | BUSINESS INSIDER
Upaya Membendung Tsunami Pengungsi
Brussel berencana membuat perubahan radikal soal pengungsi dengan mengambil kendali aplikasi pemberian suaka dari masing-masing negara anggota dan dialihkan ke Kantor Pendukung Suaka Eropa (EASO).
Regulasi Dublin III: Pengungsi hanya dapat meminta suaka di negara anggota Uni Eropa pertama yang mereka masuki dan akan dideportasi jika meminta suaka ke negara lain.
Jean-Claude Juncker: Menjadi Presiden Komisi Eropa.
Rencana kuota: Juncker mengusulkan proposal kontroversial untuk membagi 40 ribu pengungsi di antara negara UE. Sekitar 240 juta euro akan diberikan kepada negara penampung. Rencana ini ditolak Prancis, Spanyol, Hungaria, Slovakia, dan Estonia. Inggris, Irlandia, dan Denmark abstain.
Kuota wajib: Pemimpin Uni Eropa menolak rencana Komisi untuk menerapkan kewajiban kuota distribusi 60 ribu pengungsi di antara negara anggota. Rencana ini ditentang keras oleh Inggris, Polandia, Hungaria, Lituania, dan Bulgaria. Masalah imigrasi ditentukan oleh voting mayoritas berdasarkan perjanjian EU.
Regulasi Dublin diabaikan : Kanselir Jerman Angela Merkel mengabaikan aturan Dublin untuk pengungsi Suriah, memicu tsunami pencari suaka.
Skema relokasi: Juncker menawarkan rencana mendistribusikan 160 ribu pengungsi dari Yunani dan Italia ke seluruh Uni Eropa. Berdasarkan proposal ini, Jerman akan menerima 35 ribu pengungsi, Prancis 26 ribu, dan Spanyol 16 ribu orang
Kesepakatan dengan Turki: Uni Eropa menawarkan 3 miliar euro kepada Turki sebagai bantuan untuk menghadang arus pengungsi ke Eropa.
Kegagalan relokasi: Hanya 4.237 tempat yang tersedia, dan hanya 272 pengungsi yang direlokasi berdasar skema Uni Eropa.
KTT UE-Turki: Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu menuntut kenaikan uang bantuan, keistimewaan visa bagi warga Turki, dan mempercepat proses bergabungnya Ankara dengan Uni Eropa
Juli 2013 Nov 2014 Mei 2015 Jun Agustus Sept Nov Jan 2015 Mar 7
Pemerintah Jerman kembali mematuhi aturan DublinSumber: Dewan Eropa, euobserver | Associated Press
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo