Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU tiga hari belakangan Romi Siska Putra bisa bernapas lega. Setelah dia mengajukan permohonan banding dan protes ke Facebook, iklan produk nutrisi herbalnya bisa kembali tayang dan disebarkan kepada para pengguna media sosial. "Akhirnya bisa dagang lagi setelah Facebook sempat menonaktifkan akun iklan saya," ujar Romi, Rabu pekan lalu.
Pengusaha muda yang tinggal di Yogyakarta ini pusing saat akun iklannya ditutup. Tak sedikit uang dikucurkannya untuk beriklan. Setiap bulan, ia merogoh Rp 20 juta untuk mempromosikan dagangannya di Facebook. Hal ini sudah ia lakukan selama setahun.
Romi adalah satu dari tujuh distributor utama produk nutrisi herbal. Menurut dia, total biaya beriklan produk mereka bisa mencapai Rp 200 juta. "Itu baru dari satu jenis produk dan kami bertujuh. Perusahaan besar pasti iklannya lebih 'gila'," kata Romi.
Pengguna jasa iklan di perusahaan Internet raksasa seperti Facebook dan Google bukan hanya pelaku usaha kecil-menengah seperti Romi. Situs toko online banyak mengandalkan media sosial untuk mempromosikan bisnisnya. Salah satunya Sale Stock Indonesia. Outreach Manager Sale Stock Afdita Sari mengatakan media sosial dan digital adalah wahana strategi menjaring konsumen.
Begitu pula toko-toko online yang skalanya lebih besar, di antaranya Bukalapak. Chief Executive Office Bukalapak Achmad Zaky mengatakan Facebook dan Goole mendulang profit besar dari perusahaan-perusahaan digital. Berapa yang dikeluarkan Bukalapak untuk beriklan di Facebook, Zaky menolak menyebutkan angka pastinya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara membenarkan potensi e-commerce di Indonesia sangat besar. Berdasarkan data yang ia miliki, jumlah transaksi perdagangan di dunia maya di Indonesia sepanjang 2014 mencapai US$ 12 miliar. Angka ini meroket ke US$ 18 miliar pada 2015 dan diperkirakan tembus ke angka US$ 30 miliar pada pengujung tahun ini. "Dengan tingkat pertumbuhan seperti ini, hitungannya pada 2020 bisa sampai US$ 120 miliar," ucapnya.
Dari jumlah tersebut, tercatat pada 2015 saja sekitar US$ 800 juta disetorkan sebagai biaya iklan digital. Ke mana biaya iklan tersebut? Menurut Rudi, sebesar 70 persen lari ke perusahaan layanan Internet internasional, yang didominasi oleh dua pemain besar.
Sayangnya, tak ada kontribusi riil perusahaan layanan over the top (OTT) seperti Facebook, Google, YouTube, dan Twitter di Indonesia. Tak ada pajak masuk ke kas negara. Melihat potensi ini, apalagi dengan tingginya pertumbuhan pengguna Internet di Indonesia, pemerintah mendesak OTT berinvestasi di Tanah Air. OTT adalah perusahaan yang menyediakan layanan konten berupa data, informasi, ataupun multimedia melalui jaringan Internet.
Selama ini, kata Rudi, OTT bisa dibilang menumpang jaringan operator telekomunikasi lokal. Dari konten yang dimanfaatkan konsumen, beban pajak dan lainnya hanya dibebankan kepada pihak operator lokal.
Menurut Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Badan Koordinasi Penanaman Modal Azhar Lubis, sampai saat ini baru Google yang sudah berinvestasi ke Indonesia, yakni melalui PT Google Indonesia dengan bidang usaha portal web. "Tapi investasinya kecil, tidak sampai jutaan dolar," ujar Azhar.
Pemerintah menginginkan perusahaan-perusahaan tersebut membuka kantornya di Indonesia dan menjadi badan usaha tetap. Sebab, portal web tidak mengurus iklan yang pendapatannya luar biasa. "Uang untuk iklan tetap lari ke luar negeri," kata Rudi.
Dengan menjadi badan usaha, mereka nanti bisa berkontribusi dalam pajak dan lainnya. "Sedang kami godok aturannya dan sudah coba mulai dekati perusahaan OTT soal konsep ini sewaktu kunjungan ke Silicon Valley."
Sayang, belum ada tanggapan dari raksasa bisnis Internet tersebut. Baik Google maupun Facebook belum bersedia memberi jawaban saat dihubungi Tempo.
Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo