Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAWA optimisme sedang membuai pasar keuangan Jakarta, baik saham maupun valuta. Indeks harga saham gabungan naik 4,8 persen sejak awal tahun. Jika dihitung dalam dolar, kenaikan itu bahkan sudah 9,7 persen. Rupiah juga menguat. Hingga pekan lalu, harga dolar di Bank Indonesia terpangkas 5,9 persen selama 2016.
Investor global memang sedang tak punya banyak pilihan untuk pasar negara berkembang. Cina masih lemas. Nilai ekspor Tiongkok selama Februari 2016 turun 25,4 persen dibanding Februari 2015. Sedangkan India, yang tumbuh 7,5 persen pada 2015, sepertinya sudah sampai pada titik optimal. Investor perlu alternatif dan Indonesia tampaknya kembali masuk radar.
Faktanya, walaupun harga komoditas—mesin utama pertumbuhan negeri ini—masih belum banyak bergerak, ekonomi Indonesia tidak seburuk Brasil, yang kini sudah terpuruk. Inflasi di sana terbang dua digit ketika ekonomi justru tengah mengerut 3,8 persen, kuartal lalu. Politik Indonesia juga jauh lebih stabil ketimbang Turki, yang kini penuh gejolak. Rusia pun masih terpukul berbagai sanksi ekonomi dari Eropa karena konflik di Ukraina. Maka, ketika bintang-bintang negara berkembang sedang buram, Indonesia tampak lebih terang.
Kendati demikian, buaian ini jangan sampai melenakan. Investor sebaiknya mencermati plus-minus kinerja pemerintah yang sangat menentukan apakah momentum baik ini akan berumur panjang. Plusnya, pemerintah sudah mengeluarkan serangkaian paket kebijakan ekonomi hingga 10 paket. Pengerjaan berbagai proyek infrastruktur, dalam berbagai tingkat kecepatan, sepertinya mulai lancar.
Investor global menilai paket-paket ini adalah pertanda pemerintah tetap berniat mengurangi hambatan regulasi. Namun di sini pula ada satu catatan serius sebagai faktor minus. Ada perbedaan arah kebijakan, bahkan perbedaan ideologi, yang sangat tajam di antara sesama anggota kabinet. Tak hanya berdebat di rapat, pertentangan terbuka juga menyebar ke khalayak luas dan memicu kegaduhan.
Selain menjadi drama menarik dan santapan lezat media massa, dampak buruk pertikaian di dalam pemerintahan adalah kebijakan yang tidak sinkron dan tidak efektif. Celakanya, tarik-ulur ini bukan hanya menyangkut isu-isu kelas atas, seperti pengembangan lapangan gas Masela yang tak langsung menyentuh rakyat. Adu argumentasi tak berujung itu juga menyangkut nasib perut orang banyak.
Misalnya, di tengah inflasi rendah, harga bahan makanan pokok justru melambung. Harga beras kualitas rendah, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, konstanmelayang di atas Rp 10 ribu per kilogram hampir di semua provinsi sejak awal 2016 dan tak mau turun lagi. Para menteri berkutat pada perdebatan soal statistik produksi dan konsumsi, yang berbeda satu sama lain. Sedangkan harga berasnya sendiri terus melambung, seolah-olah tak ada yang ambil peduli.
Di tengah pertikaian berlarut itu, pemerintah juga harus memangkas anggaran 2016 karena hampir pasti target penerimaan tak akan tercapai. Revisi anggaran dapat menjadi sumber konflik baru di antara sesama menteri. Tak ada yang rela bujetnya kena gunting. Belum lagi benturan kepentingan dengan partai politik lewat para anggotanya yang mengendalikan parlemen.
Sebaliknya, tanpa revisi yang realistis, kredibilitas anggaran pemerintah bakal luruh menyeret optimisme investor yang sedang tumbuh. Tak ada jalan lain, Presiden Joko Widodo harus mulai memakai tangan besi mendisiplinkan para pembantunya seraya menegaskan arah kebijakannya. l
Yopie Hidayat (Kontributor Tempo)
KURS
Rp per US$ Pekan sebelumnya 13.260
13.149 Penutupan 10 Maret 2016
IHSG
Pekan sebelumnya 4.844
4.793 Penutupan 10 Maret 2016
INFLASI
Bulan sebelumnya 4,14%
4,42% Februari 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,25%
7,00%
CADANGAN DEVISA
29 Januari 2016 US$ 102,134 miliar
US$ miliar 104,544 29 Februari 2016
Pertumbuhan PDB
2015 4,73%
5,3% Target 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo