Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM tiga bulan belakangan, Resti Fauziah rajin mengecek saldo rekening hingga tujuh kali dalam sehari. Bekerja sebagai customer service produk vitamin anak-anak yang dijual online, perempuan 22 tahun itu melirik saldo rekening perusahaannya melalui Internet. Tujuannya mengecek apakah pelanggannya sudah mentransfer pembayaran atau belum.
Ia tak segan-segan mengirim pesan elektronik kepada pelanggan yang sudah memesan tapi tak kunjung melakukan transfer. Dalam satu bulan, sekitar 50 pemesanan—dari rata-rata 500 order—menguap gara-gara calon pembeli tak mentransfer pembayaran. "Alasan pelanggan karena tidak sempat pergi ke ATM untuk mentransfer," katanya Kamis pekan lalu.
Kepada pelanggannya, Resti hanya menyodorkan cara pembayaran via transfer rekening—baik secara manual melalui anjungan tunai mandiri (ATM), mobile banking, atau Internet banking. Walhasil, pelanggan harus menuju ATM atau bank terdekat untuk melakukan pembayaran. Tidak sedikit pelanggan di daerah yang harus menempuh belasan kilometer menuju ATM terdekat.
Menurut Resti, banyak pelanggan memilih rekening yang sama dengan rekening miliknya agar bisa mentransfer ke bank yang sama (interbank). Transfer interbank menjadi favorit karena tidak dikenai biaya. Ini yang menjadi salah satu kunci pelanggan melakukan transfer dana. "Bila banknya beda, pelanggan jadi malas," ujarnya.
Kerumitan yang menimpa Resti dalam sistem pembayaran merupakan salah satu kendala seretnya transaksi belanja online (e-commerce). Menurut perhitungan Bank Indonesia, transaksi e-commerce Indonesia baru mencapai US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 34,9 triliun pada 2014. Bandingkan dengan negara lain seperti Cina (US$ 562 miliar), Amerika Serikat (US$ 349 miliar), Inggris (US$ 93 miliar), Jepang (US$ 79 miliar), Jerman (US$ 74 miliar), dan Korea Selatan (US$ 36 miliar).
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, yang ditugasi Presiden Joko Widodo untuk menggenjot transaksi e-commerce, tahu betul sistem pembayaran menjadi salah satu sektor yang perlu diperbaiki. Metode pembayaran paling favorit dalam transaksi e-commerce adalah transfer melalui ATM. "Transfer melalui ATM, struk difoto, lalu dikirim ke penjual adalah proses yang tidak efisien," katanya.
Rudiantara mengatakan, agar sistem pembayaran mudah, diperlukan national payment gateway (NPG), yakni sistem pembayaran yang menghubungkan lembaga keuangan tempat pembeli dan penjual menyimpan dana. Besarnya transaksi e-commerce di negara maju ditopang penerapan NPG. Di Indonesia, penerapan NPG menjadi kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas mengatakan NPG bukan sekadar transaksi e-commerce, tapi melingkupi semua sistem pembayaran elektronik. Melalui NPG, masyarakat bisa membayar tagihan listrik atau tagihan telepon melalui satu alat pembayaran dengan lokasi pembayaran yang fleksibel. "Konsep NPG menjadi infrastruktur untuk transaksi retail. Prinsipnya adalah aman, efisien, lancar, dan ada perlindungan konsumen," katanya.
Saat ini ada tiga alat pembayaran non-tunai yang menjamur di masyarakat, yakni kartu kredit, kartu debit, dan uang elektronik. Dari semuanya, kartu debit paling favorit. Sebab, kartu jenis ini melekat dengan fungsi kartu ATM, sehingga bisa digunakan untuk tarik tunai, transfer, dan alat pembayaran belanja.
Kemudahan menggunakan kartu debit juga didukung keberadaan perusahaan switching atau dikenal dengan jaringan ATM. Pemain besar jaringan ATM antara lain ATM Bersama, Alto, Prima, dan Link. Sebelumnya, kemudahan transaksi antarbank hanya bisa dirasakan jika masih dalam satu jaringan.
Saat Link dan Prima belum terkoneksi, nasabah sulit mentransfer dana dari Mandiri (anggota Link) ke BCA (anggota Prima). Transfer hanya bisa dilakukan bila menggunakan ATM jaringan bank tujuan transfer. Belakangan, jaringan di antara perusahaan switching ini terkoneksi, sejak Juli 2013. Terhubungnya perusahaan switching ini menggairahkan penerapan national payment gateway, yang sudah lebih dari satu windu menjadi wacana di bank sentral.
Ronald mengatakan penerapan NPG nantinya wajib memenuhi tiga aspek, yaitu switching (penggunaan kartu ATM di ATM bank berbeda), otorisasi (persetujuan bank atas suatu transaksi), dan kliring (perpindahan dana dari satu akun ke akun lain). Ketiga aspek ini sudah terpenuhi dari kerja sama antarperusahaan switching tadi. "Bisnis ini sudah berjalan sebelum NPG diterapkan," katanya.
Menurut Ronald, ada beberapa model yang menjadi rujukan Bank Indonesia untuk menerapkan NPG. Di antaranya konsep super-switching, yaitu suatu perusahaan yang terkoneksi dengan semua pemain switching yang sudah berjalan saat ini. Pengaturan ini bertujuan menyamakan tarif transaksi. Ronald berjanji regulasi baru akan mematok tarif yang lebih menguntungkan bagi masyarakat. "Sebab, tarif transaksi kita paling tinggi di Asia Tenggara," katanya.
Namun seorang pelaku industri sistem pembayaran mengatakan penerapan NPG tak kunjung terbentuk karena ada tarik-ulur antara perusahaan switching dan jaringan kartu kredit. Persaingan ini muncul karena kue bisnis industri ini mencapai triliunan rupiah, yang bersumber dari tarif yang dibebankan kepada nasabah. Pada 2015, misalnya, total transaksi kartu kredit mencapai Rp 280 triliun, kartu debit Rp 4.896 triliun, dan uang elektronik Rp 5,2 triliun.
Ronald mengakui otoritas moneter membutuhkan waktu untuk memutuskan sistem NPG karena harus mengambil sikap hati-hati. Bank sentral tidak mau jika NPG diterapkan, pemain yang sudah ada bangkrut. "Toh, meski NPG belum ada, semua transaksi masih bisa jalan," ujarnya.
Seorang tenaga ahli teknik informatika yang pernah mengerjakan proyek jaringan pembayaran di Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan salah satu yang khawatir dengan penerapan NPG adalah jaringan kartu kredit. Mereka khawatir penerapan NPG akan menghambat bisnis yang selama ini mereka nikmati.
Saat ini kartu kredit yang beredar berjumlah 16,8 juta lembar. Dari angka itu, sekitar 90 persen merupakan sindikasi dua perusahaan jaringan kartu kredit raksasa, yakni MasterCard dan Visa, yang bermarkas di Amerika Serikat. Sisanya jaringan Japan Credit Bureau (JCB), Union Pay (Cina), dan American Express.
Data Bank Indonesia menunjukkan jumlah transaksi belanja dengan menggesek kartu kredit mencapai Rp 273 triliun pada 2015. Sebagian besar dana ini mampir dulu ke markas jaringan kartu kredit tadi di luar negeri. Padahal 90-95 persen transaksi kartu kredit adalah transaksi domestik antar-warga Indonesia dan berada di Indonesia.
Menurut seorang ahli teknik informatika yang pernah meriset sistem pembayaran kartu kredit, dana sebesar itu dipotong tarif rata-rata 0,7 persen. Pada 2015, keuntungan yang didapatkan MasterCard dan Visa dari Indonesia mencapai Rp 1-2 triliun. Inilah sumber pendapatan perusahaan jaringan kartu kredit.
Ronald Waas mengatakan model bisnis inilah yang hendak ditekan bila NPG diterapkan. Dia menyebutkan sudah saatnya dana transaksi domestik tidak terbang ke luar negeri. Menurut Ronald, bukan berarti konsep NPG ke depan harus anti-kartu kredit, karena Indonesia tidak mungkin menutup diri.
Seorang praktisi keuangan mengatakan, dalam merumuskan konsep NPG, Bank Indonesia pernah merekrut profesional yang dulu bekerja di MasterCard. Keberadaan tenaga ahli yang setara dengan jabatan direktur eksekutif ini membuat pemain bisnis sistem pembayaran curiga. Keberadaan tenaga ahli ini dianggap kepanjangan tangan perusahaan asing.
Ronald tak menampik pernah merekrut tenaga profesional dari MasterCard. Ia juga tak memungkiri perusahaan jaringan kartu kredit pasti berusaha melobi agar kepentingan bisnisnya tidak terganggu. Namun Ronald memastikan Bank Indonesia tidak bisa disetir perusahaan kartu kredit. "Kalau saya merekrut orang UI, nanti dituding melakukan UI-nisasi, kan tidak bisa begitu?" ujarnya.
Vice President Head of Business Development PT MasterCard Indonesia Tommy Singgih mengatakan pihaknya mendukung apa pun konsep NPG yang dipilih Bank Indonesia. "Sebaiknya sistem yang digunakan mampu mengakomodasi transaksi kartu kredit agar mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia," katanya. Ia menampik adanya persaingan bisnis antarpemain sistem pembayaran nontunai. "NPG ini untuk meningkatkan transaksi elektronik," ujarnya.
Adapun Arya Damar, Presiden Direktur PT Aplikanusa Lintasarta, induk usaha PT Artajasa Pembayaran Elektronis, yang memiliki jaringan ATM Bersama, mengatakan penerapan NPG menunggu Bank Indonesia menunjuk operator. Ia berharap muncul kartu kredit lokal agar uang dari 90 persen transaksi kartu kredit di dalam negeri tidak lari ke luar negeri. "Sekarang kita berkompetisi dengan bank asing. Di luar negeri kita dipersulit, seharusnya di sini juga dikasih pembeda," katanya.
Ronald mengatakan konsep NPG akan diatur dalam peraturan Bank Indonesia. Beberapa konsep yang sudah mengerucut, antara lain, menunjuk satu operator untuk meleburkan perusahaan switching, membuat super-switch, menerapkan model hub and spoke dengan satu pemain sebagai penghubung, atau mendirikan sebuah lembaga yang mengatur koneksi di antara pelaku bisnis sistem pembayaran. "Hasil finalnya akan diputuskan melalui rapat dewan gubernur," ujarnya.
Akbar Tri Kurniawan, Agus Supriyanto, Andi Ibnu Rusdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo