Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pesta Kemenangan <font color=#996666>yang Tertunda</font>

Semua kegiatan rakyat Iran nyaris tersedot ke tempat pemungutan suara, Jumat pekan lalu. Semangat memilih pada pemilu presiden kali ini meningkat tajam. Komisi pemilihan pada Jumat malam memperkirakan partisipasi pemilih mencapai 45 juta atau mendekati angka 80 persen, sebagaimana yang terjadi 12 tahun lalu ketika seorang imam reformis, Mohammad Khatami, menang dalam pemilihan presiden. Ikuti wawancara Tempo dengan kandidat reformis Mir Hossein Mousavi.

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kali ini magnet pemilu menarik lebih banyak pemilih, lebih ingarbingar, dan lebih menjanjikan perubahan. Di sejumlah tempat pemungutan suara di Teheran, antrean mengular sejak pagi. Dengan sabar warga menunggu namanya dipanggil ke bilik suara. Sejumlah ibu rumah tangga bahkan memboyong bayi mereka. ”Saya harap bisa mendepak Ahmadinejad hari ini,” ujar Mahnaz Mottaghi, 23 tahun, setelah mencoblos di masjid di kawasan Teheran tengah.

Semangat yang sama muncul di wilayah selatan Iran, Shiraz. Sekitar 500 penduduk rela antre berjamjam di bawah sengatan 37 derajat Celsius panas matahari. ”Sejauh yang saya lihat dan dengar, gairah dan motivasi sangat tinggi di kalangan rakyat,” ujar pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei.

Ya, ia berbicara tentang lawan kuat Mahmud Ahmadinejad yang disebutsebut sebagai Barack Obamanya Iran, Mir Hossein Mousavi, 67 tahun, yang berambut dan berjanggut putih. Berangkat dari kubu kaum reformis, ia berjanji akan menyingkirkan kandidat presiden dari kelompok konservatif, Ahmadinejad, 52 tahun. Drama persaingan yang sangat hirukpikuk di antara dua kandidat itu mengantar sebuah pemilihan presiden yang terus terang saja sukar diprediksi.

Dalam debat yang disiarkan televisi Iran, keduanya dengan agresif saling mengecam. Mousavi menuduh Ahmadinejad telah membuat Iran tersingkir dari pergaulan internasional. ”Anda membawa Iran ke sistem diktator,” kata Mousavi.

Sebaliknya, Ahmadinejad menyerang istri Mousavi, Zahra Rahnavard. Ahmadinejad menuduh Rahnavard akademisi yang curang karena memperoleh gelar doktor tanpa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. ”Dia tak pantas menyandang gelar profesor,” ujar Ahmadinejad. Rahnavard memang sangat berperan menggerakkan dukungan terhadap Mousavi dalam setiap kampanye.

Selain Ahmadinejad dan Mousavi, ada dua lagi kandidat presiden yang ikut bertanding, yakni bekas Komandan Pengawal Revolusi Mohsen Rezaei dan bekas ketua parlemen Mahdi Karroubi. Tapi semua seperti sudah tahu bahwa keduanya tak lebih dari sosok penggembira.

Mousavi menjadi andalan kelompok reformis setelah bekas presiden Mohammad Khatami mengundurkan diri dari pencalonan dan mendukung bekas perdana menteri itu. Dengan pandangannya yang cenderung liberal dan menjanjikan keterbukaan politik, Mousavi segera membuat kalangan menengahatas jatuh hati. Kehadiran istrinya, Zahra Rahnavard, sebagai juru kampanye membuat setiap kampanye Mousavi menjadi pesta politik terbesar sejak revolusi Iran 30 tahun lalu.

Kampanye pendukung Mousavi di Jalan Vali Asr, jalan utama di Ibu Kota Teheran sepanjang 17 kilometer, Senin pekan lalu, penuh sesak oleh puluhan ribu anak muda yang membentuk rantai manusia dengan atribut serba hijau. Hijau adalah warna politik kaum reformis. Mereka mengacungkan poster hijau, mengenakan pita hijau melingkar di tangan dan antena mobil, menenggak minuman buah hijau, bahkan mengecat wajah dengan warna hijau.

”Selamat tinggal, Ahmadi,” teriak anakanak muda itu. Kebanyakan me­ngendarai mobil dan sepeda motor, menyembulkan separuh badan di jendela mobil, sembari berteriak kepada penonton di pinggir jalan agar memilih Mousavi untuk menyingkirkan Ahmadinejad.

Tapi tak semuanya terkesan dengan keriuhan massa pendukung Mousavi. Ahmad Abbasi, 43 tahun, misalnya, yang diamdiam mengamati kampanye Mousavi dari tepi jalan. Ia mengenakan kemeja lengan pendek, celana denim, dan sandal.

Abbasi melukiskan sosok Ahmadinejad cukup dengan dua kata: jujur dan sederhana. ”Ia tak menunjukkan dirinya sebagai presiden, dan dengan rendah hati menempatkan diri pada le­vel saya,” katanya. ”Itulah kenapa saya menghormatinya.”

Ahmadinejad memang menikmati­ dukungan kelompok konservatif dan warga menengahbawah semacam Abbasi. Sekitar 10 ribu orang berkumpul di kawasan tengah Teheran untuk mendengarkan pidato sang Presiden, Senin pekan lalu. Dan pandangan yang memukul rata bahwa Ahmadinejad hanya didukung kalangan konservatif nyaris buyar begitu Raheleh Rahim, 27 tahun, seorang perempuan muda yang berpakaian modern, ikut berteriak di dalam kerumunan itu.

Arsitek muda yang mengenakan pakaian putih dengan wajah dipoles kosmetik itu kontras dengan cadar hitam yang menutup wajah kebanyakan pe­rempuan konservatif mendukung Ahmadinejad. Alasannya ekonomi semata. Menurut Raheleh, Ahmadinejad menaikkan pensiun neneknya, seorang guru, juga menaikkan gaji ibunya sebagai perawat. ”Ini hal yang benarbenar nyata,” ujar Raheleh. Menurut dia, pendukung Mousavi hanya berbicara soal kebebasan. ”Saya sudah punya seluruh kebebasan yang saya butuhkan di negeri ini,” katanya.

Ahmadinejad tetap merupakan kandidat paling populer di kalangan penduduk pedesaan, daerah yang merupakan populasi terbesar Iran. Seorang perempuan bercadar hitam dalam kampanye Ahmadinejad mengatakan dia adalah presiden terbaik yang pernah mereka miliki dalam 30 tahun terakhir. ”Ia pasti menang, kami percaya kepadanya,” ujar perempuan lain.

Sejumlah analis di Washington me­ramalkan Ahmadinejad akan meme­nangi pemilihan ini karena para pe­nguasa konservatif Iran tak akan membiarkan Ahmadinejad kalah. ”Pemilu Iran adalah kombinasi ketidakbebasan, ketidakjujuran, dan tak bisa diprediksi,” ujar Karim Sadjadpour, analis dari Carnegie Endowment for International Peace di Washington.

Ahmadinejad berjanji akan membuat kekayaan minyak Iran terasa dan terlihat di meja makan 70 juta penduduk Iran. Ia membagikan pinjaman, uang, dan bantuan lain untuk kebutuhan ­penduduk dalam perjalanannya ke wilayah provinsi. Tapi kemurahan hati­nya itu menggenjot inflasi tanpa mengurangi angka pengangguran, terlebih setelah harga minyak terjun bebas.

Akibatnya, sebagian kaum papa tak percaya kepada janjinya. Azam, seorang pembantu rumah tangga yang bekerja 16 jam sehari, mengeluhkan keadaannya. Dia mengaku penghasilannya tak cukup untuk membeli daging dan sa­yuran. ”Sebagian besar upah saya habis untuk membayar sewa rumah,” katanya. Harga makanan, minyak, dan kebutuhan dasar lain menggila, yang menyusahkan sekitar 15 juta keluarga Iran yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 600 per bulan.

Keluhan Azam dibenarkan analis politik dan ekonomi Iran, Saeed Leylaz. Pada masa pemerintahan Presiden Mohammad Khatami lima tahun lalu, Iran memperoleh pemasukan US$ 100 miliar dari minyak dengan pertumbuhan ekonomi 5,6 persen. Ketika Ahmadinejad berkuasa, keuntungan dari minyak naik tiga kali lipat, tapi pertumbuhan ekonomi tak berubah. ”Artinya, mesin ekonomi tak berjalan lagi, dan Anda harus menggantinya,” ujar Saeed.

Tapi, seburuk apa pun catatan ekonomi Mahmud Ahmadinejad, bekas anggota Pengawal Revolusi ini tak mudah dikalahkan dalam pemilihan presiden kali ini. Begitu pula lawannya, Mousavi. ”Sulit bagi kedua kandidat memperoleh lebih dari 50 persen suara,” ujar seorang analis yang tak mau disebut namanya. Jika tak ada kandidat yang berhasil mengantongi 50 persen suara, akan digelar pemilihan putaran kedua pada 19 Juni.

Satu jajak pendapat oleh peneliti universitas yang dikutip majalah Time memprediksi Mousavi bakal menang dalam putaran pertama dengan meraup 54 persen suara. Adapun Ahmadinejad akan meraih 24 persen.

Tapi, masalahnya, banyak jajak pendapat di Iran yang sulit dipercaya. Satusatunya fakta yang bisa dijadikan rujukan adalah pemilu 2005. Ahmadinejad mengalahkan Mohammad Khatami, seorang imam dari kubu reformis, dengan meraih 62 persen suara. Ahmadinejad melenggang ke kursi presiden didukung kaum miskin Iran, khususnya penduduk di kawasan pedesaan yang merasa dilupakan pemerintah reformis Khatami.

Jumat malam, pemenang pertarung­an ini belum bisa diketahui. Amerika Serikat, Irak, Arab Saudi, dan negaranegara Teluk memantau dengan saksama. Inilah pemilu paling demokratis di kawasan Teluk. Sejauh ini, rakyat Iranlah yang menjadi pemenang dari sebuah pemilihan yang seru tapi tidak bersimbah darah itu.

Raihul Fadjri (AP, AFP, Reuters, Time)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus