Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neoliberalisme tiba-tiba seolah menjadi kata buruk dalam perpolitikan Indonesia. Padahal, jika ditinjau dari perspektif hukum Indonesia, neoliberalisme justru telah menjadi salah satu pengaruh positif dalam perkembangan hukum dan iklim usaha dalam beberapa tahun terakhir.
Neoliberalisme identik dengan kesepakatan internasional yang lahir di era Reagan dan Thatcher, dan umum disebut The Washington Consensus. Beberapa pilar utama konsensus tersebut adalah ekonomi pasar, deregulasi ekonomi, peran minimal pemerintah, dan perdagangan bebas internasional.
David Trubek, et.al dalam Globalization and the Law, mencatat bahwa konsensus ini berhasil menyebar dari Amerika Serikat ke Eropa Kontinental, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia melalui Bank Dunia, IMF, bank regional, dan GATT. Penyebarannya yang cepat itu merupakan bagian dari gejala globalisasi.
Duncan Kennedy, profesor yurisprudensi dari Harvard Law School, dalam tulisannya The Three Globalization of Law and Legal Thought: 18502000, mengkonsepsikan tiga tahap globalisasi hukum dan pemikiran hukum. Dan globalisasi ini muncul sebagai fenomena terbentuknya orde dunia (world system) yang ditandai oleh adanya institusi internasional. Dalam perjalanannya, globalisasi mencoba mengakomodasi berbagai ragam ideologi politik dan pemikiran tentang sosial ekonomi. Globalisasi yang terjadi melalui hukum dan pemikiran hukum itu sekaligus juga menimbulkan globalisasi nilai di bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Globalisasi Pertama menurut Kennedy terjadi pada 18501914, dimulai dari penyebaran nilai liberal dalam perekonomian sebagaimana tecermin dalam Napoleonic Code, yang merupakan sumber Kitab Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) kita. Penekanan dalam periode ini meliputi soal kebebasan dan kebendaan individu. Dari sudut hukum ekonomi internasional, periode ini menyaksikan munculnya konsep tentang perdagangan bebas dan gold standard. Pemikiran hukumnya banyak bersumber dari FK von Savigny dan berhasil masuk ke Inggris serta Amerika dalam bentuk positivisme hukum (legal positivism).
Indonesia sendiri mengalami Globalisasi Pertama dalam statusnya sebagai koloni Hindia Belanda. Sebagai koloni, pluralisme hukum terbentuk antara hukum Barat yang hidup berdampingan dan sistem hukum adat/lokal yang ada di Indonesia saat itu.
Tahun 1900 adalah awal Globalisasi Kedua, yang juga dinamakan ”The Social”. Periode ini bertahan 68 tahun. Penekanannya pada perombakan struktur/kelas sosial, keadilan sosial, nasionalisme, lokalisme, sosialisme/komunisme, dan jaringan sosial. Nilai individualisme diganti dengan nilai kepentingan bersama. Hukum ditegakkan guna mencapai tujuan sosial tertentu. IMF, Bank Dunia muncul sebagai akibat Bretton Woods, lalu GATT menyusul, dan ekonomi pasar mulai ditinjau kembali. Periode ini ditandai dengan adanya semacam kebutuhan akan suatu tatanan internasional yang lebih berperan dalam perekonomian. Friksi antara kapitalisme dan komunisme juga terjadi dalam masa ini.
Dalam sejarah republik kita, Globalisasi Kedua berlangsung paling lama: sejak kemerdekaan sampai akhir Orde Baru. Ada nilainilai nasionalisme dan pluralisme hukum yang masuk sebelum kemerdekaan. Sedangkan masa setelah Orde Baru ditandai dengan masuknya aliran hukum ”Law and Development” sesuai dengan anutan elite hukum di Indonesia. Pemerintah saat itu pun melihat manfaat untuk mengkonsepsikan hukum dan pranata hukum, termasuk cabang yudikatif, sebagai alat dan sarana tujuan tertentu, yaitu ”pembangunan”.
Namun, pada saat yang sama sebenarnya sudah terjadi sejak 1945 mulai berkembang nilainilai lain yang menjadi dasar dari pemikiran hukum kontemporer (Globalisasi Ketiga) sebagai hasil sintesis Classical Legal Thought dengan The Social. Dalam periode ini, kebijakan dan neoformalisme menjadi lebih penting. Nilai yang mengalami globalisasi adalah hak asasi manusia, nondiskriminasi, rule of law, federalisme, otonomi daerah, konstitusionalisme, termasuk peraturan prudensial, Basel II, good corporate governance, serta konsep baru tentang regulasi pasar (the pragmatically regulated market). Globalisasi ini juga menghasilkan the European Commission, NAFTA, dan WTO.
Di Indonesia, nilainilai sosiopolitik dari Globalisasi Ketiga sempat menimbulkan friksi dengan institusi hasil Globalisasi Kedua, khususnya pada tahun 1980an, dengan semakin berkembangnya kesadaran tentang hak asasi manusia. Penekanan pada peraturan prudensial, good corporate governance dan compliance mulai berkembang pesat pada 2000 ke atas, menyusul krisis Asia dan skandal Enron.
Nilai neoliberalisme bisa jadi menyebar melalui antara lain IMF dan Bank Dunia di Indonesia. Namun, dari sudut teori Kennedy, peran institusi tersebut hanya merupakan bagian kecil dari proses globalisasi yang kompleks, dengan banyak nilai yang tumpang tindih pada saat bersamaan. Kritik muncul lebih karena kekhawatiran adanya dominasi berlebihan dari Amerika Serikat terhadap Indonesia.
Proyek Rule of Law
Alvaro Santos mencatat bahwa sampai 2006, Bank Dunia telah melaksanakan 330 proyek rule of law. Proyek rule of law dilaksanakan atas keyakinan Bank Dunia bahwa ekonomi pasar tidak mungkin terbentuk tanpa suatu pranata hukum yang pasti, efisien, dan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya (a predictable, efficient, and enforceable legal order). Alasan lainnya, proyek rule of law memungkinkan Bank Dunia/IMF masuk ke proses reformasi sistem hukum negara penerima bantuan, secara ”apolitis” sesuai dengan mandat pendirian lembaganya. Padahal bisa jadi ada motivasi tertentu yang tersirat dari partisipasi pihakpihak tersebut.
Bagaimanapun, yang jelas, proyek rule of law dan penyebaran The Washington Consensus berakibat pada nilai ”neoliberal” menjadi bagian dari alam sadar hukum Indonesia kontemporer. Antara lain, norma hukum Common Law mulai masuk dan berinteraksi dengan nilai keperdataan yang berakar pada tradisi hukum Eropa Kontinental klasik abad ke19.
Dua produk pertama yang paling jelas mencerminkan proses sintesis tersebut adalah produk tahun 1995, yaitu UndangUndang tentang Perseroan Terbatas dan UndangUndang tentang Pasar Modal. Ciri penting dari kedua undangundang tersebut adalah masuknya beberapa doktrin dan prinsip hukum yang selama itu dianggap berasal dari tradisi Common Law. Doktrin yang selama ini hanya ditemukan Common Law seperti manipulasi pasar, pemisahan kepemilikan efek, kewajiban fidusia bagi direksi dan komisaris, dan piercing the corporate veil berhasil menjadi bagian integral dari hukum kita.
Setelah krisis pada 1998, reformasi hukum ekonomi kembali menjadi prioritas pertama akibat, antara lain, peran IMF dan Bank Dunia saat itu. Dalam proses itu, Indonesia harus setuju untuk melakukan tidak saja perubahan beberapa kebijakan pokok tetapi juga reformasi beberapa pranata penting perekonomian. Beberapa produk dari periode itu adalah di bidang kepailitan, perbankan, jaminan fidusia, antimonopoli, selain perombakan sektor dan pengaturan perbankan. Segenap produk hukum ini telah menjadi komponen dan fondasi penting dari pranata hukum ekonomi yang ada kini.
Sintesis dan Proses
Teori globalisasi hukum membuktikan bahwa dalam perspektif hukum, nilai neoliberal tidak pernah masuk sendirian. Khususnya nilai neoliberal dari The Washington Consensus masuk di Indonesia sebagai bagian dari Globalisasi Ketiga, bersamaan dengan peraturan prudensial, good corporate governance, demokratisasi, dan reformasi di bidang keuangan negara.
Selain itu, dalam pluralisme hukum yang ada, neoliberalisme hanya bisa menyusup melalui suatu sintesis. Ini terjadi antara lain lantaran konsep kunci perekonomian dan hukum kita khususnya pada masalah kebendaan (property rights)—baik secara konstitusional maupun konteks perundangan—masih menganut nilai kepemilikan bersama atau oleh negara. Prinsip umum yang berlaku adalah beberapa benda dan hak khususnya yang bersifat strategis bagi perekonomian negara harus sebanyakbanyaknya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Dan khususnya sejak amendemen UUD 1945 dan reformasi hukum di bidang perbendaharaan dan keuangan negara beberapa tahun ini, sektor publik (public finance) dan peran pemerintahan dan bahkan DPR dalam perekonomian menjadi lebih besar daripada sebelumnya. Ini dapat dilihat dari konsep keuangan negara dalam arti luas dalam beberapa peraturan seperti Undang-Undang tentang Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan BUMN.
Ini tidak berarti bahwa proses penyebaran The Washington Consensus ke dalam hukum Indonesia selama ini sempurna. Perdagangan bebas tidak selalu harus dibarengi dengan pemilikan asing sebesarbesarnya, apalagi dalam sektor penting seperti perbankan. Produk zaman Hindia Belanda seperti Kitab Hukum Perdata dan Kitab Hukum Pidana, produk hasil globalisasi tahap pertama abad ke19, harusnya diupayakan untuk segera diubah karena sudah ketinggalan zaman. Harus ada keberanian untuk mengadopsi konsep penting seperti ”Trust” dalam undangundang yang di negara Civil Law lain saja sudah dianut. Tidak kalah penting, proses reformasi hukum yang tidak dapat terus didominasi dan dikendalikan oleh kalangan teknokrat ekonom dan nonahli hukumnya karena mengakibatkan marginalisasi kaum profesional dan akademisi hukum dalam hukum itu sendiri. Sudah saatnya untuk lebih merangkul kalangan profesional, akademisi, dan praktisi hukum Indonesian sendiri, yang pembentukannya banyak telah dipengaruhi oleh proses Globalisasi Ketiga.
Namun kesimpulannya tetap sama sebagaimana diungkapkan di awal. Dari perspektif hukum, sulit dikatakan bahwa ”neoliberalisme” (The Washington Consensus) telah berdampak negatif pada perkembangan Indonesia. Justru sebaliknya, penyebaran nilai tersebut telah membuat iklim berusaha dan investasi di Indonesia kini lebih baik, transparan, dan fair daripada masamasa sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo