Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Debat dua calon presiden yang berlangsung di televisi Iran selama 90 menit itu berjalan panas, Rabu dua pekan lalu. Tak ada basabasi, tak ada sopan santun politik. Presiden Mahmud Ahmadinejad dan pesaingnya dari kelompok reformis, Mir Hossein Mousavi, saling melontarkan kritik tajam. ”Metode Anda betulbetul membawa ke kediktatoran,” ujar Mousavi. Sebaliknya Ahmadinejad menyerang balik dengan mengatakan istri Mousavi tak layak mendapat gelar guru besar.
Inilah pertama kali debat terbuka calon Presiden Iran disiarkan langsung televisi sejak 1997. Ini juga pertama kali calon presiden membicarakan peran perempuan dalam perdebatan politik secara terbuka. Perempuan yang disebut Ahmadinejad itu adalah Zahra Rahnavard, 64 tahun, istri Hossein Mousavi.
Kehadiran Rahnavard dalam setiap kampanye suaminya membuat politik Iran, yang didominasi kaum lelaki, kini menjadi lebih menarik dan berbunga. ”Ini pertama kalinya setelah revolusi kami melihat seorang perempuan di balik calon presiden,” ujar Farhad Mahmoudi, anak muda pendukung Mousavi.
Rahnavard berperan sebagai penggerak kampanye suaminya. Dalam hampir setiap kampanye, Rahnavard berbicara sebelum suaminya tampil. Di Universitas Tabriz kota ketiga terbesar yang terletak 480 kilometer di barat laut Teheran—misalnya, Mousavi menunggu di kursi panggung, sementara sang istri memanaskan massa. Dengan cepat ia menguasai suasana hati massa. ”Kami mencintai Anda, Rahnavard!” teriak mahasiswa.
Dengan kecerdasannya yang tajam dan kemampuan orasinya yang mengalir, Rahnavard menjadi aset berharga bagi suaminya dalam kampanye menantang Ahmadinejad. ”Adalah sangat biasa, alamiah, dan secara keagamaan diterima bagi seorang istri presiden untuk aktif dan punya peran nyata bersama suaminya,” ujar Rahnavard.
Rahnavard adalah seorang pematung dan pelukis. Ia bertemu dengan Mousavi pada salah satu pamerannya pada 1969. Keduanya mencintai seni dan samasama bersemangat mendepak Shah Iran. Selama 1970an, Rahnavard menjadi bagian gerakan di sekitar filsuf Ali Shariati, tokoh yang berpengaruh terhadap banyak pemimpin revolusi. Pada tahuntahun mengenyahkan Amerika yang mendukung monarki, Rahnavard malah lebih dikenal di lingkungan politik Teheran tinimbang suaminya.
Pada 1976, ketika rezim Shah meningkatkan tekanannya terhadap pembangkang politik, Rahnavard meninggalkan Iran ke Amerika Serikat dengan dua anaknya. Ia pulang ke Iran tak lama sebelum revolusi Islam mengambil alih kekuasaan pada 1979.
Menjadi ibu tiga anak perempuan membuatnya lebih sensitif dan memperhatikan masalah perempuan. Meski tak mengenakan kerudung hingga berusia 20 tahun, kini ia di depan umum mengenakan cadar hitam yang biasa dikenakan perempuan konservatif. Tapi ia juga mengenakan kerudung yang modis penuh corak bunga serta menyukai musik rap, dan perlengkapan kesukaannya tas tangan seniman yang dihiasi motif etnik.
Dengan gelar doktor ilmu politik di tangan, ia bekerja sebagai penasihat Khatami, yang menjadi presiden pada 19972005. Pada 2005, tak lama setelah pemilihan Ahmadinejad, dia mengundang pemenang Nobel Perdamaian, Shirin Ebadi, berbicara di universitas perempuan, Universitas AlZahra. Tindakan ini membuat gusar kelompok garis keras yang mencela Ebadi atas kritiknya terhadap hak asasi di Iran. Akibatnya, Rahnavard dicopot dari jabatannya sebagai rektor kurang dari setahun kemudian.
Sebagai pengagum putri Nabi Muhammad, Fatimah, Rahnavard bertahuntahun membela kesamaan hak perempuan. Ia menyerukan penguatan ekonomi perempuan dan pengubahan undangundang Iran yang mendiskriminasi perempuan. Baginya, perempuan dan lakilaki bak dua sayap. ”Seekor burung tak dapat terbang dengan hanya satu sayap atau dengan sayap yang patah,” ujar Rahnavard di depan massa.
Raihul Fadjri (AP, AFP, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo