Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pilihan yang sulit

Sabtu pekan lalu australia mengadakan pemilihan perdana menteri. yang sulit, kedua calon dianggap sama-sama tak meyakinkan bakal bisa mengatasi masalah ekonomi yang merosot, yang menciptakan dua juta penganggur.

20 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG warga negara Australia di Jakarta bingung menentukan siapa yang mau dipilihnya menjadi perdana menteri Australia dalam pemilu Sabtu pekan lalu: Paul Keating, sang calon Partai Buruh, atau John Hewson dari Partai Koalisi Liberal-Nasional, penantang nya. Soalnya, kedua calon itu tak diyakininya akan membuat Austra lia bertambah baik. Sejak bulan lalu, keduanya berlomba menawarkan resep perbaikan ekonomi, yang menjadi isu utama dalam kampanye pemilu kali ini. Sayangnya, program ekonomi yang mereka tawarkan dianggap kurang pasti untuk menanggulangi pengangguran di Australia, yang mencapai dua juta orang (10%). Pertumbuhan ekonomi yang hanya 2,5% membuat Negeri Kanguru mengalami defisit sebesar A$ 15 miliar. John Hewson, 46 tahun, profesor ekonomi yang pernah menjadi konsultan di sebuah bank, menjanjikan, ''Australia akan bersih dari penganggur pada tahun 2001.'' Sebab, para penganggur bakal tersedot, baik oleh tumbuhnya sejumlah perusahaan swasta maupun oleh sejumlah perusahaan negara yang akan dijual ke pihak swasta. Lalu, untuk merangsang tumbuhnya iklim usaha, Hewson memperkenalkan pajak baru namanya GST (good and services tax) sebesar 15%, yang harus dibayar semua lapisan masyarakat. Memang, bagi para pengusaha kelas kakap, GST sangat menguntungkan. Sebab, selama ini mereka harus membayar setinggi 40%, separuh pajak gaji para pegawainya. Akibatnya, mereka terpaksa menjual produk mereka dengan agak mahal. Diberlakukannya GST nanti, kata Hewson, akan menyebabkan para pengusaha punya kesempatan menurunkan harga barangnya dengan keuntungan yang justru lebih besar, dan diharapkan akan ''lebih banyak tenaga kerja bisa diserap'' jika perusahaan berkembang. Sejalan dengan langkahnya itu, Hewson akan mengurangi sejumlah tunjangan sosial yang memberati beban negara. Tunjangan sosial bagi para janda, penganggur, dan anak-anak telantar yang besarnya A$ 20,7 juta, atau 30% dari anggaran negara, perlu diperkecil. Sebab, ''Mereka sudah tertampung dalam perusahaan- perusahaan yang tumbuh berkat program reformasi ekonomi kami,'' ujar Hewson dengan wajah serius. Tapi, tak usah para ahli, orang biasa di Australia pun sangat menyangsikan program ekonomi Hewson itu, yang mereka sebut sebagai program di awang-awang. Sebab, dengan perhitungan paling optimistis sekalipun, kata Profesor Richard Blandy, ''Pengangguran baru bisa ditekan sampai 5% saja.'' Lagi pula, dengan diberlakukannya pajak GST 15% tadi, tak semua harga barang bakal turun. Sebab, kini ada sejumlah produk tertentu, antara lain peralatan listrik, telepon, dan sikat gigi, yang bebas pajak. Sedangkan pengurangan tunjangan sosial dapat menyebabkan gejolak sosial lebih besar penswastaan belum menjamin semua peng anggur bisa tertampung. Dan yang lebih tak meyakinkan, ada contoh bagaimana Negara Bagian Victoria, yang dikuasai Partai Liberal-Nasional, bukan saja ekonominya morat-marit, tapi juga jumlah aksi pemogokan dan sengketa perburuhannya meningkat tajam. Untuk menghemat biaya, sejumlah sekolah yang dianggap kekurangan siswa ditutup, termasuk Northland Secondary College, yang siswanya banyak terdiri atas remaja Aborijin. Sejumlah pemogokan terjadi karena pihak buruh merasa dirugikan dengan digantinya kontrak serikat buruh dengan kontrak pribadi antara buruh dan perusahaan. Bagaimana jadinya Australia bila John Hewson dari Partai Liberal-Nasional menjadi perdana menteri? Di pihak Paul Keating diangkat menjadi PM tahun lalu dan habis masa tugasnya setahun lagi yang minta agar pemilu diseleng garakan tiga bulan lebih awal, program ekonominya pun meragukan. Tawarannya berupa pengurangan pajak perusahaan dari 39% menjadi 33% mulai Juli nanti, dan bantuan dana 10% bagi investasi tertentu, bisa mengakibatkan defisit negara makin menggelembung. Apalagi tawaran tunjangan anak sekitar A$ 1.500 per anak per tahun, bagi ibu pekerja yang tak bisa mengurus anaknya, me nyebabkan pemerintah harus mengeluarkan biaya ekstra. Sedangkan hasil penjualan 19% saham Commonwealth Bank of Australia tahun 1995 diduga hanya bisa menutup defisit negara sebesar A$ 1 miliar. Sementara itu, hal mendesak yang diperlukan oleh masyarakat, yakni sistem pelayanan kesehatan masyarakat, yang kacau akibat banyaknya kasus penipuan dan korupsi, tak kunjung diperbaiki. Seorang pasien yang berobat ringan harus menunggu beberapa minggu karena birokrasi yang berbelit-belit. Padahal, untuk itu, pekerja diwajibkan membayar 1,25% dari gajinya. Seperti diketahui, kemerosotan ekonomi yang melanda Australia dewasa ini berawal dari ambruknya pasar bursa pada tahun 1987. Agar tak berdampak bagi Australia, terutama pada pendapatan per kepala orang Australia yang waktu itu sebesar US$ 14 ribu, Paul Keating ketika itu menjabat bendahara negara memompakan dana se gar melalui kemudahan kredit. Seperti yang dilakukan sesama koleganya di Eropa, para pengusaha Australia memanfaatkan kemudahan ini dengan melakukan investasi di bidang real estate dan gedung perkantoran. Namun iklim usaha tak secerah yang diharapkan. Bisnis properti pun lesu: gedung perkantoran banyak yang kosong. Menyadari hal itu, Paul Keating mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat. Langkah yang dianggap keliru itu menyebabkan pengusaha kelabakan dan bangkrut, sedangkan pinjaman dana pun mandek di sektor ini. Akibatnya, pemerintah Australia hampir bangkrut. Dan setiap kali sebuah perusahaan mati, efeknya merembes pula, melanda pelbagai sektor. Jumlah pengangguran pun melonjak terus, sampai dua juta orang, di negeri berpenduduk sekitar 17,5 juta jiwa itu. Australia, yang pada tahun 1980-an menduduki peringkat teratas di antara 24 negara anggota OECD organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan yang dibentuk tahun 1961 kini melorot ke tangga ke-18. Menyadari kekeliruannya itulah, Paul Keating kembali memperlonggar pemberian kredit. Dampaknya sudah terlihat dengan bangkitnya perekonomian Australia sekarang ini, meskipun sedikit. Tinggal kini, bagaimana menurunkan angka pengangguran dua juta jiwa dan menutup utang luar negeri Australia sebesar A$ 27,7 miliar. Bagi orang Australia, kedua calon tadi tak diyakini bisa mengatasi masalah itu. Memang ada kelebihan Keating: menjanjikan tahun 2001 nanti Australia akan menjadi republik. Masalahnya, seberapa menarik janji itu bagi warga Australia. Masih perlu referendum, nanti. Bagaimanapun, orang Australia harus memilih pemimpinnya untuk tiga tahun mendatang, meyakinkan atau tidak. Didi Prambadi (Jakarta) dan Dewi Anggraeni (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus