Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalung berbandul Santo Benediktus melilit di leher kandidat Kongres, Cecy Luna. Sebagai penganut Katolik yang taat, Luna percaya bahwa Santo Benediktus akan melindunginya dari roh jahat serta segala marabahaya. Mencalonkan diri dalam pemilihan anggota Kongres Filipina pada 14 Mei lalu, Luna, 54 tahun, tak pernah mencopot kalung tersebut ketika kampanye di Abra, satu provinsi di Pulau Luzon yang dikenal sebagai arena terpanas kampanye.
Belum lama ini enam keponakan Luna rebah diberondong senjata mesin di satu desa di pedalaman Abra. Tubuh mereka tergeletak berjam-jam sebelum ditemukan warga. Mobil yang mereka tumpangi penuh lubang akibat hantaman peluru. Sekitar 200 peluru M-14 dan M-6 tersebar di dalam kendaraan tersebut. Polisi yakin, pembunuhan brutal itu adalah sebagai pesan maut dari lawan politik Luna, Vicenta Valera. Dia Gubernur Abra sejak 1986. “Lawan politik saya menginginkan saya mati. Ada kontrak untuk melenyapkan saya, dan saya khawatir dengan keselamatan saya,” ujar Luna.
Ibu delapan anak itu tak mau mengambil risiko. Enam polisi yang disediakan panitia pemilihan kepala daerah (pilkada) mengawalnya dengan ketat. Mereka terus menempelnya pada saat Luna berbaur dengan massa pendukungnya di Bangued, ibu kota Abra, sehari sebelum pencoblosan.
Laki-laki berkacamata gelap dengan pistol bersarung terbuka menyisir sepanjang jalan yang dilalui Luna. Dua truk hitam mengangkut sejumlah pria bersenjata otomatis. Kecuali polisi, semua “pasukan” bersenjata adalah pengawal Luna. Mereka adalah kawan, paman, keponakan, dan relawan yang dia kenal secara pribadi dan bersedia mati untuk Luna. “Sulit menyewa orang luar,” katanya.
Situasi penuh bahaya juga dialami aliansi politik Luna, Eustaquio Bersamin. Saudaranya, Luis, yang anggota Kongres, dibunuh secara brutal di anak tangga satu gereja di Manila saat mendatangi acara pernikahan pada Desember lalu.
Seperti halnya Luna, Bersamin yang kandidat gubernur juga mencurigai Valera di balik pembunuhan itu. Salah satu penembak yang ditangkap mengaku kepada polisi bahwa dia dan dua temannya dibayar Valera 5 juta peso atau sekitar Rp 1 miliar untuk menghabisi Bersamin. “Tentu saya takut. Tapi saya punya kawan yang melindungi saya,” kata Bersamin. Slogan kampanyenya: “Anda seharusnya tak membunuh”.
Luna dan Bersamin tahu, mereka menghadapi politisi lama yang amat berkuasa: Valera. Dia mengontrol provinsi miskin di utara Luzon selama dua dekade lebih. “Saya tak bersalah atas tuduhan itu,” kilah Valera. Gubernur sekaligus pengacara ini bersaing memperebutkan satu kursi Kongres untuk Abra. Lawannya adalah Luna dan tiga kandidat lain.
Kekerasan, ketegangan, bahkan pembunuhan serupa juga ada di kawasan lain di Filipina—kecuali Manila—dalam tiga bulan belakangan. Pesta demokrasi yang memilih hampir 18 ribu pejabat dari tingkat lokal hingga nasional itu tampaknya diwarnai persaingan ketat. Sampai-sampai terjadi baku bunuh dan culik. Posisi yang diincar ada macam-macam, mulai dari 265 anggota Kongres, 12 (dari 24) anggota Senat, gubernur, wali kota, dewan kota.
Kekerasan sebelum pemilu adalah hal yang lazim di Filipina. Pada pemilu 2004, 189 orang mati terbunuh. Kini sudah ada larangan membawa senjata api di tempat umum—kecuali tentara dan polisi. Hasilnya? Malah lebih buruk. Sekitar 200 orang tewas sejak kampanye dimulai tiga bulan lalu, 52 di antaranya politisi dan kandidat di berbagai posisi.
Presiden Gloria Macapagal Arroyo telah memerintahkan memproses 20 kasus kekerasan dan pembunuhan selama masa pra-pemilu. Kawasan seperti Abra adalah salah satu langganan kekerasan dan pembunuhan. Sekitar 1.000 polisi dikerahkan di sana.
Menurut Kepala Kepolisian Abra Superintenden Senior Villamor Bumanglag, banyak laporan menyatakan kelompok bersenjata bergerak ke pelosok. “Kami menduga akan ada banyak kekerasan, khususnya di level lokal, ketika perhitungan kertas suara dimulai,” ujar Benny Bacani, guru besar hukum politik dari Universitas Notre Dame di Kota Cotabato, Filipina Selatan.
Menurut dia, akan ada kawasan yang tak jelas pemenangnya selama berbulan-bulan. “Tapi pemilu ini adalah gaya Filipina, penduduk sudah terbiasa,” ujar Bacani. Ucapannya bisa dimafhumi, lebih-lebih bila kita mendengar pendapat Sonny Africa dari Yayasan IBON, sebuah lembaga penelitian independen.
Menurut Africa, kecurangan dan kekerasan selama pemilu hanya beberapa gejala dari masalah sosial yang sudah jauh mengakar di Filipina, yaitu dominasi elite di panggung politik.
Sebuah laporan panjang dan lengkap tentang peran klan-klan kaya Filipina dalam pemilu bisa disimak AsiaViews, termasuk nama marga penguasa dan besarnya kekuasaan mereka. Dinasti-dinasti kaya ini selalu berupaya mempertahankan kekuasaannya.
Tak mengherankan bila nama atau marga yang sama selalu muncul dari pemilu ke pemilu. Keluarga kaya ini tidak peduli dengan aliran partai mereka. Kanan atau kiri tak jadi soal, yang penting bisa berkuasa.
Bahkan Cory Aquino dan Arroyo, dua perempuan yang naik ke kursi presiden berkat “people power”, tak terlepas dari “lingkaran dinasti”. Klan Aquino adalah yang terbanyak menduduki posisi penting sebagai pejabat publik. Benigno “Noynoy” Aquino III, putra Cory, kini menjadi kandidat Kongres di Provinsi Tarlac. Tessie Aquino Oreta, saudara ipar Cory, menjadi kandidat Senator. Sedangkan ayah Arroyo adalah presiden pada 1960-an. Seorang putra Arroyo kini menjadi anggota Kongres. Satunya lagi mencalonkan diri sebagai anggota Kongres.
Menurut kelompok kajian nirlaba Center for People Empowerment in Governance (CPE), minimal ada 250 dinasti politik di Filipina. Paling tidak satu di setiap provinsi—ada 81 provinsi di negeri itu. Mereka menguasai semua level birokrasi. Dari 265 anggota Kongres, 160 berasal dari klan kaya dan berkuasa. “Satu klan bisa menempati posisi elite pelaku ekonomi, pembuat kebijakan, atau patron para politisi untuk menciptakan konspirasi kekuatan ekonomi,” kata Bobby Tuazon, Direktur CPE.
Ambil contoh di Provinsi Abra. Valera dan Bersamin berasal dari keluarga yang amat berkuasa di wilayah itu. Mereka sama-sama punya mimpi membawa Abra ke abad 21. Perlombaan mengontrol masuknya dana jutaan peso ke kawasan itu dari cadangan mineral yang belum dimanfaatkan selalu menjadi penyebab utama perseteruan politik di antara kedua klan. “Ini soal uang, uang, dan uang. Siapa yang bisa menyewa senjata, mengintimidasi, dan membeli suara yang akan menang,” ujar seorang pengacara lokal dari keluarga terpandang yang tak mau disebut namanya.
Menurut pengacara tersebut, keluarga keturunan politisi umumnya percaya bahwa jabatan publik adalah hak lahir dan diwariskan secara keturunan. Dalam daftar panitia pemilu di 27 pemerintah daerah kota Provinsi Abra, misalnya, hampir semua kandidat adalah keluarga atau kawan dari keluarga penguasa.
Di Abra, bisnis “tukang pukul” juga amat murah meriah. Hanya dibutuhkan imbalan 5.000 peso (Rp 1 juta) untuk menyewa jasa seorang pembunuh. Menurut catatan polisi, 10 keluarga politisi mengontrol kelompok pribadi bersenjata di Abra, dan mereka terlalu sukar ditangkap karena amat berkuasa. Memburu mereka sama dengan mencari mati.
“Dominasi klan adalah produk struktur sosial ekonomi yang timpang dan kegagalan mengembangkan pemilu yang demokratis,” kata Julio Teehankee, ilmuwan politik dari Universitas De La Salle di Manila. Mengutip ucapan seorang pegawai negeri, “Alhasil, hanya keluarga kaya yang akan bertarung karena yang lain tak punya cukup uang.”
Raihul Fadjri (The Manila Times, BBC, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo