Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil perdana menteri sekaligus menteri keuangan Jepang dikecam setelah menyalahkan perempuan karena tidak melahirkan di tengah menyusutnya populasi Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taro Aso, 78 tahun, menyangkal bahwa para generasi tua dan naiknya biaya jaminan sosial sebagai penyebab menurunnya populasi, ketika ia berpidato di Prefektur Fukuoka, Jepang selatan, pada Ahad kemarin, dikutip dari CNN, 6 Februari 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada banyak orang-orang aneh yang menyalahkan generasi tua, tapi itu keliru. Masalahnya adalah mereka tidak melahirkan," kata Aso yang juga menjabat sebagai menteri keuangan.
Selama pidatonya, Aso blak-blakan menunjukkan bahwa umur panjang orang Jepang telah meningkat sekitar 30 tahun dibandingkan dengan tahun 1940-an ketika ia dilahirkan.
Setelah dikecam oleh anggota parlemen oposisi selama sesi rapat anggaran, Aso segera bereaksi atas pernyataan di Fukuoka.
"Itu memberikan kesan palsu tanpa memahami dari pernyataan asli saya," kata Aso, namun tidak memberikan klarifikasi atas pernyataan sebelumnya.
Namun pada Selasa, Taro Aso akhirnya meminta maaf karena menyalahkan pasangan yang tidak memiliki bayi.
"Jika itu (pernyataannya) membuat beberapa orang tidak nyaman, saya meminta maaf," kata Aso, dikutip dari Japan Times.
Perempuan lanjut usia berjalan di Akita, Prefektur Akita, di Jepang utara, 23 Juni 2018.[REUTERS/Kiyoshi Takenaka]
Jepang mengalami penurunan populasi dan usia produktif, di mana 20 persen populasi Jepang adalah usia di atas 65 tahun. Ini adalah penurunan usia produktif yang sudah terlihat sejak 1970-an.
Menurut Kementerian Kesehatan dan Tenaga Kerja, pada 2017, kurang dari 950.000 bayi lahir ketika angka kematian Jepang naik menjadi 1.3 juta orang sejak pasca-perang.
Tokyo yang berpenduduk 9 juta orang lebih, memiliki tingkat kelahiran terendah dari seluruh 47 prefektur di Jepang yakni, 1,17.
Pemerintah telah mengenalkan berbagai kebihakan sejak 1990-an untuk meningkatkan angka kelahiran seperti menaikkan layanan anak, perumahan dan fasilitas umum untuk keluarga dengan anak.
Namun isu bias gender mencegah pria dan perempuan menyeimbangkan karir mereka dengan kehidupan keluarga.
"Pemerintah seharusnya melakukan lebih banyak untuk membantu rumah tangga menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan perawatan keluarga daripada menyalahkan perempuan," kata Jeff Kingston, seorang profesor studi Jepang di Temple University.
Hanya dalam tiga dekade, persentase perempuan Jepang berusia 30 hingga 34 tahun yang kembali menjadi pekerja setelah menjadi ibu telah meningkat dari 50 persen menjadi 75 persen.