HIDUP John Macolm Fraser bukanlah hidup 'yang gemuruh dan
romantis. Seselesainya memperoleh gelar Master of Arts untuk
filsafat, politik dan ekonomi di Universitas Oxford, Inggeris,
Fraser kembali ke Australia. Waktu itu umurnya baru 22 tahun.
Sebelum tamat, pernah dia berkirim surat pada ibunya menyatakan
niatnya untuk berkecimpung dalam bidang politik, begitu dia
selesai sekolah. Dalam kesempatan makan malam dan ngobrol
tentang masa depan, sekembali Fraser dari Inggeris, dia bahkan
menyatakan niatnya untuk jadi Perdana Menteri Australia pada
suatu waktu. "Apapun tantangannya", tukas Fraser pada Ken James,
bekas teman satu sekolahnya.
Tapi jalan menuju dunia politik belum begitu jelas baginya. Ia
masuk Partai Liberal (dan bukan Country Party) untuk lebih cepat
mencakup lingkup nasional. Tapi menurut ibunya, Fraser -- masih
bujangan -- adalah pemuda yang pemalu, pendiam dan sulit
menetapkan keberaniannya untuk berbicara di depan umum. Selama
jadi mahasiswa di Oxford, Fraser selalu mengelak kalau ada malam
diskusi. Sehingga temannya, Richard Casey -- dan kemudian jadi
Gubernur Jenderal -- menasehati: "Bukan caranya anda duduk di
sini dengan setangkai bunga di tangan untuk lantas berkata:
kalau anda butuh saya, datanglah. Jangan. Masuk politik bukan
begitu caranya".
Kebetulan, di daerah di mana ayahnya memiliki tanah pertanian
luas, Wannon, Victoria barat daya Partai Buruh sedang pecah
berantakan. Kesempatan ini diambil Fraser untuk mencalonkan
diri. Berhasil dan tahun 1955, Fraser duduk sebagai anggota
Parlemen Federal.
Kakek John Malcolm Fraser berasal dari Nova Scotia. Ketika
terjadi pemberontakan Jacobite di tahun 1745 (gerakan yang
mengklaim Raja James II sebagai penerus tahta kerajaan
Inggeris), Simon Fraser beremigrasi ke Australia. Ia terjun
dalam pertambangan emas di Bendigo, jadi kontraktor untuk
pembuatan rel kereta-api, jalan, jembatan. Singkatnya, Simon
Fraser bernasib mujur di benuanya yang baru ini.
Setelah kaya, Simon Fraser kemudian menerjunkan diri dalam dunia
politik. Salah seorang dari empat anak-anaknya, John Neville
Fraser kemudian jadi ayah Fraser yang sekarang. Ibunya, yang
masih berdarah Yahudi (dengan nama Malcolm) sangat memanjakan
anak laki-laki yang cuma semata wayang ini. Anaknya yang lain
adalah Lorraine, kakak perempuan John Malcolm Fraser.
Dibesarkan dalam rumah keluarga yang mempunyai pekarangan seluas
8.072 are, Malcolm Fraser biasa dengan kehidupan "sendok perak".
Selalu dalam perawatan khusus, masa kecil Malcolm Fraser
dilewatkan dengan penuh kesepian. Dia tidak punya teman yang
seumur, karena -- seperti biasanya di daerah peternakan
Australia -- tetangga jauh. Apalagi setelah Lorraine harus
meninggalkan rumah besar tersebut karena dia harus melanjutkan
sekolah. Ketika usianya mencapai 6 tahun, beberapa orang guru
didatangkan ke rumah. Kemudian Fraser masuk sekolah Melbourne
Grammar, sekolah yang berbau Inggeris, dengan gaya dan gengsi
Inggeris pula -- dan tentu saja sekolah untuk anak-anak orang
kaya. Di sekolah, prestasinya sedang-sedang saja. Salah seorang
gurunya ada berkata: "Dia anak yang sulit didekati. Pemalu,
senang menyendiri dan selalu bersikap sopan".
Ketika usianya mencapai 26 tahun, dia bertemu dengan Tamara
Beggs, gadis 20 tahun berasal dari satu daerah, Victoria,
setelah ia dua kali gagal cinta. Perkawinannya dengan Tamara,
atau Tammy, menambah jumlah kekayaan Malcolm Fraser. Tanah
pertaniannya jadi berlipat ganda. Apalagi Malcolm Fraser dan
mertuanya bersepakat untuk mengganti ternak biri-biri ke sapi
pilihan dari Hereford. Pertengahan 1974, tanah pertaniannya di
Nareen ditaksir sudah mempunyai harga 640.683 dolar Australia.
Malcolm Fraser selalu kangen akan Nareen, tanah peternakan ini.
Mungkin karena hal inilah, salah satu acara pertemuan
Suharto-Fraser diadakan di Tapos, tanah garapan milik Sigit
Suharto.
TAMARA Fraser, ibu dari tiga orang anak, juga telah begitu jatuh
cinta akan tanahnya di Nareen. Sehingga pernah dia mengatakan
tidak akan mau lagi untuk pindah ke tempat lain. Baginya, di
Nareen semuanya ada. Di samping rumah yang besar dan pemandangan
yang indah.
Berpendidikan baik dan dibesarkan juga sebagai anak orang kaya,
Tammy pada the Australian Women's Weekly pernah berkata di tahun
1975: "Suami saya sudah mencemplungkan diri dalam dunia politik
sebelum kami menikah. Saya juga senang politik. Tapi ketika
anak-anak lahir, berkatalah dia: Salah satu dari kita berdua,
harus jadi politikus. Yang seorang lagi harus jadi orangtua. Dan
kaulah yang jadi orangtua, Tammy".
Kepala Istana-istana Yoop Ave empat hari sebelum kunjungan
Fraser masih bingung urusan tempat tidur. Bagaimana caranya
mendapatkan tempat tidur yang istimewa panjang untuk Malcolm
Fraser. Kemungkinan besar dia akan mengambil tempat tidur yang
kini ada di Istana Bogor, yang di zaman Sukarno dulu, sedianya
untuk tempat tidur Raja Ibnu Saud. Di Australia, Malcom Fraser
terkenal dengan julukan tallest, the richest dan the longest
di Parlemen: yang terjangkung, yang terkaya dan juga terlama
duduk sebagai anggota Parlemen. Juga ketika dia jadi Menteri
Pertahanan, dia adalah Menteri termuda.
Memang sebagai anggota Parlemen Federal dari daerahnya (Wannon)
sebanyak tiga kali (1955, 1958 dan 1961), Malcolm Fraser sejak
tahun 1962-1966 duduk sebagai ketua Komite Gabungan untuk Urusan
Luar Negeri dalam Parlemen. Januari 1966, dia jadi Menteri
Angkatan Darat. Dua tahun kemudian Menteri Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan. Nopember 1969 sampai Maret 1971, duduk sebagai
Menteri Pertahanan. Waktu itu Perdana Menterinya adalah John
Gorton.
Masih terus duduk sebagai anggota Parlemen, Malcolm Fraser
selalu menamakan dirinya calon Perdana Menteri yang akan
menggantikan John Gorton. Dorongan ini mungkin datangnya dari
Sir Robert Menzies, tokoh Liberal yang dianggap Malcolm Fraser
sebagai guru dan tokoh yang patut dilkagumi. Sampai di bulan
Maret 1971, John Gorton memerintahkan Malcolm untuk mengundurkan
diri saja sebagai Menteri Pertahanan. Hubungan kian meruncing
antara Gorton-Fraser, yang semula saling dukung-mendukung. Juga
ada pertentangan antara Fraser dan Jenderal Sir Thomas Daly,
waktu itu Menteri Angkatan Darat.
Sebaliknya ketika Fraser duduk sebagai Menteri Angkatan Darat,
dia juga telah bertengkar dengan Sir Arthur Tange, Panglima
Departemen Pertahanan. Saling buka rahasia lewat surat kabar.
"Jangan kuatir, boss, selamat tidur" demikian ucap Fraser ketika
di hari Minggu di bulan Maret 1971 Gorton berkali-kali menelpon
Fraser untuk minta dia berhenti saja. Hari berikutnya, Fraser
betul-betul berhenti dan di Parlemen, Fraser menerangkan bahwa
Gorton telah mengkhianatinya dengan lebih baik membela Jenderal
Daly. Saat itulah, Partai Liberal mengalami krisis kepemimpinan,
saling depak mendepak.
Malcolm Fraser kemudian muncul sebagai jago di saat yang
menguntungkan -- ketika partainya tertimpa kekalutan. Tahun
1974, Malcolm Fraser mulai meniupkan Pemilu dan berhasil
menyingkirkan Snedden teman separtai. Dan ketika terjadi krisis
konstitusi di Parlemen Malcolm muncul sebagai orang yang
berhasil menjatuhkan pemerintahan Partai Buruh di bawah Cough
Whitlam. Gubernur Jenderal John Kerr memecat Whitlam dan
mengangkat Malcolm Fraser sebagai Perdana Menteri sementara,
sampai pemilihan umum terlaksana. Desember 1975, resmi Malcolm
Fraser jadi Perdana Menteri. Dia berhasil mengalahkan Peacock,
yang oleh koran-koran Australia disebut sebagai musuh bebuyutan
separtai Malcolm Fraser.
Selain punya musuh dalam dunia politik, Malcolm Fraser juga
mempunyai hubungan luas. Kawan-kawannya dari kalangan diplomatik
adalah almarhum Sir Patrick Shaw, bekas Dubes di AS. Juga K.C.O.
Shann dan R.W. Furlonger yang pernah jadi Duta Besar Australia
untuk Indonesia. Fraser kabarnya bisa menelpon langsung dan
bicara dengan Henry Kissinger.
Hubungannya dengan sementara pemilik suratkabar di Australia
juga erat. Untuk kepentingan kampanyenya Malcolm Fraser
mengundang makan si raja surat kabar Rupert Murdoch dan Sir
Warick Fairfax. Semasa kampanye ada Fraser berkata bahwa
kebiasaan konperensi pers seminggu sekali akan dihapusnya.
"Apa-apa yang perlu toh akan saya bicarakan dalam Parlemen",
ujarnya dengan gaya seorang otokrat.
Dari pemuda yang pemalu, pendiam, dan tidak terkenal kini
Malcolm Fraser 46 tahun, bertindak sebagai pemimpin yang tegas.
Bahkan banyak yang mengira menjurus ke sikap yang kaku, ingin
berkuasa dan masa bodoh akan lingkungan. Sering kalau ada orang
yang mengkritiknya, dia dengan acuh tak acuh cuma memberi
komentar: "Ah, itu kan penilaian orang lain". Pernah dia berniat
untuk jadi orang besar dalam partainya, setelah Sir Robert
Menzies. Kesempatan ini kini berada di tangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini