PERDANA Menteri Australia Malcolm Fraser, pekan ini berada di
Jakarta. Perdana Menteri negara tetangga ini bukan yang pertama
yang kemari. Lima Perdana Menteri sebelumnya telah bertemu muka
dengan kepala negara Indonesia, dan sudah tiga di antaranya
ketemu Presiden Soeharto.*) Tapi pertemuan Soeharto-Fraser
nampaknya akan tercatat sebagai pertemuan tingkat tinggi
Jakarta-Canberra yang paling menarik.
Hal ini tidak bisa dipisahkan dengan dua hal yang hampir jadi
bahan pembicaraan rutin para diplomat di kawasan ini sejak
beberapa waktu yang silam: masaalah Timor dan kebocoran
pembicaraan Fraser di Peking bulan Juni silam.
Hubungan Jakarta-Canberra nyaris bisa digambarkan sebagai dalam
keadaan bulan madu ketika Perdana Menteri Gough Whitlam
tiba-tiba dipecat oleh Gubernur Jenderal Australia menjelang
akhir tahun silam. Jakarta jelas cemas, terutama karena soal
Timor sedang menghangat masa itu, dan sikap golongan oposisi
yang sangat tidak bersimpati. Tapi ketika selesai mengucapkan
sumpahnya sebagai pengganti Whitlam Perdana Menteri Fraser
kabarnya sempat mengirimkan pesan kepada Presiden Soeharto,
dengan harapan agar penyelesaian Timor Timur bisa tercapai
sesuai dengan "yang dirasakan pantas bagi kepentingan
Indonesia".
Pesan yang di Jakarta ditangkap sebagai lampu hijau dari
Canberra itu, kemudian ternyata mempunyai arti lain. Selain
bantuan tidak resmi yang mengalir dari orang-orang Australia ke
alamat fihak Fretilin, sikap pemerintah di Canberra sendiri
jelas tidak teramat menguntungkan Indonesia dalam soal Timor
Timur. Di dalam negerinya maupun di forum internasional,
Australia terus menerus menyuarakan pendirian yang mengandung
ketidak-setujuan terhadap tindakan Indonesia di Timor Timur.
Sehari setelah Timor Timur secara resmi mengabungkan diri ke
Indonesia pada akhir Juli yang lalu, Menlu Australia Peacock
mengeluarkan pernyataan: "Australia tidak bisa menganggap bahwa
persyaratan dekolonisasi telah dipenuhi"..
Sebelum pernyataan itu tersiar, Fraser melakukan kunjungan
penting ke Jepang dan Cina. Kecuali kunjungan mendadaknya ke
Kuala Lumpur pada pemakaman almarhum Tun Razak bulan Januari
yang lalu, kunjungan ke Tokyo dan Peking itu adalah kunjungan ke
luar negeri Fraser pertama. Bahwa Indonesia sebagai tetangga
terdekat dilampaui, dan Washington serta London sebagai sekutu
utama dinomor duakan, menunjukkan perubahan dalam kebijaksanaan
luar negeri Fraser.
Ketika soal ini masih sedang menjadi pemikiran para pejabat
penting di Jakarta, pers dunia muncul pula dengan berita penting
dari kunjungan Fraser di Peking. Transkripsi pembicaraan Fraser
dengan Perdana Menteri Cina, Hua Kuofeng,jatuh ke tangan
wartawan. Indonesia juga termasuk soal yang dibicarakan di sana.
Kata Fraser: "Situasi di Indonesia juga relevan. Kemajuan telah
dibuat oleh pemerintah yang berkuasa sekarang ini. Kami
mempunyai rencana bantuan untuk mendukung pembangunan rakyat
Indonesia. Tapi karena karakter dari rezim yang berkuasa
sekarang, hari depan Indonesia juga menimbulkan beberapa
pertanyaan".
Pertanyaan yang terakhir ini sudah jelas kurang berkenan di hati
Jakarta, meski pun usaha mendinginkan suasana sudah dilakukan
dengan sungguh hati oleh dubes Australia di sini, Woolcott.
Nampaknya Indonesia tidak lantas puas setelah ditemui oleh dubes
Australia itu, sebab kebocoran yang menggegerkan itu ada
mengandung keterangan penting lebih dari hanya sekedar
menyinggung penilaian atas pemerintah yang sedang duduk di
Jakarta. Di Peking, Fraser kabarnya ada menyarankan tuan rumah
agar ikut bersama dengan Jepang, Amerika Serikat dan Australia
dalam suatu kerja sama menghadapi Uni Soviet .
Tidak jelas betul, apakah tawaran itu mendapat tanggapan serius
dari Perdana Menteri Huai Kuo-feng. Tapi di dalam rombongan
Fraser itu sendiri timbul kecemasan terhadap "kelancangan" sang
perdana menteri. Konon pula kebocoran itu justru datangnya dari
pihak yang cemas, dan dengan tersiarnya notulen tersebut, Fraser
memang jadi grogi. Sehari setelah pembicaraan itu dibocorkan,
surat kabar terkemuka Australia, The Australian Financial
Review, menulis: "Kembalilah PM Fraser sebelum tuan memulai
sebuah perang'?.
Secara halus perang itu sebenarnya telah mulai pada saat Fraser
menjejakkan kakinya di bumi Cina tanggal 20 Juni yang lalu.
Dubes Uni Soviet serta seluruh diplomat negara-negara sosialis
Eropa Timur secara terang-terangan memboikot kunjungan Fraser
tersebut. Di Jakarta, seorang pejabat tinggi memberikan
reaksinya: "Usaha merealisir perjanjian kerja sama Australia,
Jepang, Amerika Serikat dan Cina tak akan diterima oleh
Indonesia. Politik pintu terbuka Cina -- sebagai negara super
power yang juga mengancam Asia Tenggara tidak menyenangkan
Indonesia".
Di Australia, keberanian dan langkah istimewa Fraser dalam
hubungan luar negeri itu mendapatkan penafsiran tersendiri.
"Sebagai negara berdaulat, sebenarnya baru pada pemerintahan
Gough Whitlamlah kita ini mempunyai politik luar negeri sendiri,
sebelumnya kita hanya ikut kemauan London dan Washington", kata
seorang komentator politik di Canberra beberapa waktu yang
silam. Langkah Fraser yang menarik perhatian itu pada umumnya
ditafsirkan sebagai hanya "melanjutkan apa yang dimulai oleh
Whitlam dalam bentuk yang khas Fraser".
Salah satu faktor yang kabarnya ikut membentuk kebijaksanaan
luar negeri yang khas Fraser itu adalah makin banyaknya kapal
perang Uni Soviet yang berlayar antara lautan Hindia dan
Pasifik. "Sayangnya", kata sebuah sumber di Australia, "Fraser
hanya menghitung frekwensi pelayaran, tidak menghitung tonase
dan persenjataan kapal-kapal yang berlayar itu". Sumber tersebut
mengungkapkan bahwa kapal-kapal Uni Soviet yang mencemaskan
Fraser itu umumnya kapal-kapal kecil saja.
Barangkali Fraser tidak terlampau gegabah untuk tidak tahu juga
bahwa kapal-kapal Soviet yang lalu-lalang itu tidaklah dalam
ukuran besar. Berita makin kuatnya posisi Angkatan Laut Uni
Soviet di lautan Hindia, serta kecaman banyak negara -- terutama
India -- terhadap rencana Amerika Serikat memperkuat
kehadirannya di tempat yang sama lewat pembangunan pangkalan
Diego Garcia, rupanya ikut memperbesar kecemasan Fraser. Kepada
Hua Kuofeng, Perdana Menteri Australia itu berkata:
"Kebijaksanaan India, bagi kami, sampai batas-batas tertentu,
kurang realis. Mereka nampaknya menganut pandangan-pandangan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu. Mereka mengecam Amerika
dalam usaha negara tersebut membangun pangkalan di Diego
Garcia, di lautan Hindia, yang diperlukan unluk menjaga
keseimbangan, tapi mereka membiarkan Uni Soviet membangun
kekuatannya di lautan yang sama".
Sikap India itu jelas makin menambah kecemasan Fraser. Tapi di
Jakarta, Indonesia mempunyai pendapat lain. Kepada wartawan The
Australian Financial Review, di akhir Agustus yang lalu, Letnan
Jenderal Ali Murtopo menjelaskan sikap pemerintah Indonesia:
"Lautan Hindia tidak hanya terbuka untuk negeri-negeri tertentu,
tapi terbuka untuk semua negara. Apa salahnya jika Rusia juga
menggunakan lautan tersebut?"
Soal ini jelas bakal menjadi topik pembicaraan yang menarik
antara Fraser dan tuan rumahnya di Jakarta pekan ini. Dan
negara-negara ASEAN lainnya sudah tentu menantikan hasil
pembicaraan tersebut, mengingat sikap mereka bersama mengenai
lautan Hindia yang harus jadi daerah bebas. Dalam hal ini,
nampaknya pihak Australia lebih berkeinginan dalam menjelaskan
posisinya, terutama lantaran keputusan Fraser untuk meletakkan
ASEAN sebagai "salah satu wilayah penting dalam politik luar
negeri Australia". Bahkan untuk maksud itu, di bulan Pebruari
yang lalu bersama dengan Jepang - Australia sebenarnya secara
halus telah mendesak agar juga diundang untuk ikut hadir dalam
KTT ASEAN di Bali. Kabarnya, Indonesia secara halus menolak
permintaan tersebut.
Yang sudah jelas bakal jadi topik pembicaraan terpenting dalam
kunjungan Fraser pekan ini tidak bisa lain dari soal Timor
Timur. Meskipun wilayah bekas jajahan Portugis itu sudah secara
resmi menjadi propinsi ke-27 Republik Indonesia, Australia
hingga kini masih belum dengan jelas menentukan rezim apa yang
diakuinya berkuasa di Timor sana. Di Jakarta mau pun di
Canberra spekulasi terhadap sikap yang bakal diputuskan oleh
pemerintahan Perdana Menteri Fraser berkisar pada tiga
kemungkinan: menolak, mengakui atau mengakui secara
berangsur-angsur.
Kemungkinan pertama dianggap hampir tidak mungkin. "Hal itu
tidak hanya akan menimbulkan ketegangan yang mengarah kepada
suatu konfrontasi antara Jakarta dan Canberra, tapi juga akan
berakibat lebih luas pada hubungan Australia dan negara-negara
ASEAN lainnya", komentar sebuah sumber di Australia. Dan dari
kenyataan bahwa Australia terus meningkatkan bantuan militer dan
kerja sama ekonominya dengan Indonesia, harus ditafsirkan
sebagai usaha Fraser untuk memisahkan sedapat mungkin perbedaan
pendapat dalam soal Timor dengan soal-soal lainnya. "Sebagai
negara berdaulat, sudah jamak kita tidak selalu mempunyai sikap
dan pendapat yang sama dalam setiap soal", kata seorang
diplomat Australia di Jakarta pekan silam. Lagi pula,
kabar-kabar bahwa Portugis kini sedang berfikir-fikir, dan makin
dekat ke arah normalisasi hubungan diplomatik dengan Indonesia,
juga harus diperhitungkan oleh Fraser. Jika hal itu terjadi,
maka masuknya Timor ke dalam wilayah Republik Indonesia bahkan
sudah diakui oleh bekas penjajah wilayah tersebut. Tentu amat
sulit jika dalam hal itu Australia masih tetap bersitegang pada
sikap semula.
Langsung mengakui Timor sebagai wilayah Indonesia, juga bukan
soal mudah bagi Fraser. Di dalam negerinya ia akan menghadapi
berbagai golongan yang masih bersimpati pada Fretilin. "Paling
tidak para wartawan Australia tidak akan begitu saja menerima
keputusan itu sebelum soal hilangnya beberapa wartawan Australia
di Timor tahun silam menjadi jelas duduk soalnya", kata sebuah
sumber di kalangan pimpinan persatuan wartawan Australia di
Canberra. Jadi jalan yang nampaknya bakal ditempuh oleh Fraser
adalah secara perlahan-lahan, untuk akhirnya tidak punya pilihan
lain kecuali mengakui Timor sebagai propinsi ke 27 dari Republik
Indonesia.
Waktu yang terbentang antara kurljungan Fraser kali ini hingga
pengakuan secara resmi itu nanti bakal merupakan kesempatan bagi
Australia untuk mendinginkan para penentang integrasi Timor,
sembari terus memperkokoh hubungan Canberra-Jakarta. Dan
Australia nampaknya menyadari soal ini. Sebab Canberra, yang
memberi prioritas penting bagi ASEAN dalam politik luar
negerinya, tahu betul peranan Jakarta dalam lingkungan kerja
sama negara-negara Asia Tenggara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini