Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Apa yang bisa (dan tidak bisa) ...

Pertemuan suharto-fraser tentang hubungan indonesia-australia. australia belum mengakui masuknya timor timur ke indonesia. asean mendapat prioritas dalam politik luar negeri australia.

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDANA Menteri Australia Malcolm Fraser, pekan ini berada di Jakarta. Perdana Menteri negara tetangga ini bukan yang pertama yang kemari. Lima Perdana Menteri sebelumnya telah bertemu muka dengan kepala negara Indonesia, dan sudah tiga di antaranya ketemu Presiden Soeharto.*) Tapi pertemuan Soeharto-Fraser nampaknya akan tercatat sebagai pertemuan tingkat tinggi Jakarta-Canberra yang paling menarik. Hal ini tidak bisa dipisahkan dengan dua hal yang hampir jadi bahan pembicaraan rutin para diplomat di kawasan ini sejak beberapa waktu yang silam: masaalah Timor dan kebocoran pembicaraan Fraser di Peking bulan Juni silam. Hubungan Jakarta-Canberra nyaris bisa digambarkan sebagai dalam keadaan bulan madu ketika Perdana Menteri Gough Whitlam tiba-tiba dipecat oleh Gubernur Jenderal Australia menjelang akhir tahun silam. Jakarta jelas cemas, terutama karena soal Timor sedang menghangat masa itu, dan sikap golongan oposisi yang sangat tidak bersimpati. Tapi ketika selesai mengucapkan sumpahnya sebagai pengganti Whitlam Perdana Menteri Fraser kabarnya sempat mengirimkan pesan kepada Presiden Soeharto, dengan harapan agar penyelesaian Timor Timur bisa tercapai sesuai dengan "yang dirasakan pantas bagi kepentingan Indonesia". Pesan yang di Jakarta ditangkap sebagai lampu hijau dari Canberra itu, kemudian ternyata mempunyai arti lain. Selain bantuan tidak resmi yang mengalir dari orang-orang Australia ke alamat fihak Fretilin, sikap pemerintah di Canberra sendiri jelas tidak teramat menguntungkan Indonesia dalam soal Timor Timur. Di dalam negerinya maupun di forum internasional, Australia terus menerus menyuarakan pendirian yang mengandung ketidak-setujuan terhadap tindakan Indonesia di Timor Timur. Sehari setelah Timor Timur secara resmi mengabungkan diri ke Indonesia pada akhir Juli yang lalu, Menlu Australia Peacock mengeluarkan pernyataan: "Australia tidak bisa menganggap bahwa persyaratan dekolonisasi telah dipenuhi".. Sebelum pernyataan itu tersiar, Fraser melakukan kunjungan penting ke Jepang dan Cina. Kecuali kunjungan mendadaknya ke Kuala Lumpur pada pemakaman almarhum Tun Razak bulan Januari yang lalu, kunjungan ke Tokyo dan Peking itu adalah kunjungan ke luar negeri Fraser pertama. Bahwa Indonesia sebagai tetangga terdekat dilampaui, dan Washington serta London sebagai sekutu utama dinomor duakan, menunjukkan perubahan dalam kebijaksanaan luar negeri Fraser. Ketika soal ini masih sedang menjadi pemikiran para pejabat penting di Jakarta, pers dunia muncul pula dengan berita penting dari kunjungan Fraser di Peking. Transkripsi pembicaraan Fraser dengan Perdana Menteri Cina, Hua Kuofeng,jatuh ke tangan wartawan. Indonesia juga termasuk soal yang dibicarakan di sana. Kata Fraser: "Situasi di Indonesia juga relevan. Kemajuan telah dibuat oleh pemerintah yang berkuasa sekarang ini. Kami mempunyai rencana bantuan untuk mendukung pembangunan rakyat Indonesia. Tapi karena karakter dari rezim yang berkuasa sekarang, hari depan Indonesia juga menimbulkan beberapa pertanyaan". Pertanyaan yang terakhir ini sudah jelas kurang berkenan di hati Jakarta, meski pun usaha mendinginkan suasana sudah dilakukan dengan sungguh hati oleh dubes Australia di sini, Woolcott. Nampaknya Indonesia tidak lantas puas setelah ditemui oleh dubes Australia itu, sebab kebocoran yang menggegerkan itu ada mengandung keterangan penting lebih dari hanya sekedar menyinggung penilaian atas pemerintah yang sedang duduk di Jakarta. Di Peking, Fraser kabarnya ada menyarankan tuan rumah agar ikut bersama dengan Jepang, Amerika Serikat dan Australia dalam suatu kerja sama menghadapi Uni Soviet . Tidak jelas betul, apakah tawaran itu mendapat tanggapan serius dari Perdana Menteri Huai Kuo-feng. Tapi di dalam rombongan Fraser itu sendiri timbul kecemasan terhadap "kelancangan" sang perdana menteri. Konon pula kebocoran itu justru datangnya dari pihak yang cemas, dan dengan tersiarnya notulen tersebut, Fraser memang jadi grogi. Sehari setelah pembicaraan itu dibocorkan, surat kabar terkemuka Australia, The Australian Financial Review, menulis: "Kembalilah PM Fraser sebelum tuan memulai sebuah perang'?. Secara halus perang itu sebenarnya telah mulai pada saat Fraser menjejakkan kakinya di bumi Cina tanggal 20 Juni yang lalu. Dubes Uni Soviet serta seluruh diplomat negara-negara sosialis Eropa Timur secara terang-terangan memboikot kunjungan Fraser tersebut. Di Jakarta, seorang pejabat tinggi memberikan reaksinya: "Usaha merealisir perjanjian kerja sama Australia, Jepang, Amerika Serikat dan Cina tak akan diterima oleh Indonesia. Politik pintu terbuka Cina -- sebagai negara super power yang juga mengancam Asia Tenggara tidak menyenangkan Indonesia". Di Australia, keberanian dan langkah istimewa Fraser dalam hubungan luar negeri itu mendapatkan penafsiran tersendiri. "Sebagai negara berdaulat, sebenarnya baru pada pemerintahan Gough Whitlamlah kita ini mempunyai politik luar negeri sendiri, sebelumnya kita hanya ikut kemauan London dan Washington", kata seorang komentator politik di Canberra beberapa waktu yang silam. Langkah Fraser yang menarik perhatian itu pada umumnya ditafsirkan sebagai hanya "melanjutkan apa yang dimulai oleh Whitlam dalam bentuk yang khas Fraser". Salah satu faktor yang kabarnya ikut membentuk kebijaksanaan luar negeri yang khas Fraser itu adalah makin banyaknya kapal perang Uni Soviet yang berlayar antara lautan Hindia dan Pasifik. "Sayangnya", kata sebuah sumber di Australia, "Fraser hanya menghitung frekwensi pelayaran, tidak menghitung tonase dan persenjataan kapal-kapal yang berlayar itu". Sumber tersebut mengungkapkan bahwa kapal-kapal Uni Soviet yang mencemaskan Fraser itu umumnya kapal-kapal kecil saja. Barangkali Fraser tidak terlampau gegabah untuk tidak tahu juga bahwa kapal-kapal Soviet yang lalu-lalang itu tidaklah dalam ukuran besar. Berita makin kuatnya posisi Angkatan Laut Uni Soviet di lautan Hindia, serta kecaman banyak negara -- terutama India -- terhadap rencana Amerika Serikat memperkuat kehadirannya di tempat yang sama lewat pembangunan pangkalan Diego Garcia, rupanya ikut memperbesar kecemasan Fraser. Kepada Hua Kuofeng, Perdana Menteri Australia itu berkata: "Kebijaksanaan India, bagi kami, sampai batas-batas tertentu, kurang realis. Mereka nampaknya menganut pandangan-pandangan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu. Mereka mengecam Amerika dalam usaha negara tersebut membangun pangkalan di Diego Garcia, di lautan Hindia, yang diperlukan unluk menjaga keseimbangan, tapi mereka membiarkan Uni Soviet membangun kekuatannya di lautan yang sama". Sikap India itu jelas makin menambah kecemasan Fraser. Tapi di Jakarta, Indonesia mempunyai pendapat lain. Kepada wartawan The Australian Financial Review, di akhir Agustus yang lalu, Letnan Jenderal Ali Murtopo menjelaskan sikap pemerintah Indonesia: "Lautan Hindia tidak hanya terbuka untuk negeri-negeri tertentu, tapi terbuka untuk semua negara. Apa salahnya jika Rusia juga menggunakan lautan tersebut?" Soal ini jelas bakal menjadi topik pembicaraan yang menarik antara Fraser dan tuan rumahnya di Jakarta pekan ini. Dan negara-negara ASEAN lainnya sudah tentu menantikan hasil pembicaraan tersebut, mengingat sikap mereka bersama mengenai lautan Hindia yang harus jadi daerah bebas. Dalam hal ini, nampaknya pihak Australia lebih berkeinginan dalam menjelaskan posisinya, terutama lantaran keputusan Fraser untuk meletakkan ASEAN sebagai "salah satu wilayah penting dalam politik luar negeri Australia". Bahkan untuk maksud itu, di bulan Pebruari yang lalu bersama dengan Jepang - Australia sebenarnya secara halus telah mendesak agar juga diundang untuk ikut hadir dalam KTT ASEAN di Bali. Kabarnya, Indonesia secara halus menolak permintaan tersebut. Yang sudah jelas bakal jadi topik pembicaraan terpenting dalam kunjungan Fraser pekan ini tidak bisa lain dari soal Timor Timur. Meskipun wilayah bekas jajahan Portugis itu sudah secara resmi menjadi propinsi ke-27 Republik Indonesia, Australia hingga kini masih belum dengan jelas menentukan rezim apa yang diakuinya berkuasa di Timor sana. Di Jakarta mau pun di Canberra spekulasi terhadap sikap yang bakal diputuskan oleh pemerintahan Perdana Menteri Fraser berkisar pada tiga kemungkinan: menolak, mengakui atau mengakui secara berangsur-angsur. Kemungkinan pertama dianggap hampir tidak mungkin. "Hal itu tidak hanya akan menimbulkan ketegangan yang mengarah kepada suatu konfrontasi antara Jakarta dan Canberra, tapi juga akan berakibat lebih luas pada hubungan Australia dan negara-negara ASEAN lainnya", komentar sebuah sumber di Australia. Dan dari kenyataan bahwa Australia terus meningkatkan bantuan militer dan kerja sama ekonominya dengan Indonesia, harus ditafsirkan sebagai usaha Fraser untuk memisahkan sedapat mungkin perbedaan pendapat dalam soal Timor dengan soal-soal lainnya. "Sebagai negara berdaulat, sudah jamak kita tidak selalu mempunyai sikap dan pendapat yang sama dalam setiap soal", kata seorang diplomat Australia di Jakarta pekan silam. Lagi pula, kabar-kabar bahwa Portugis kini sedang berfikir-fikir, dan makin dekat ke arah normalisasi hubungan diplomatik dengan Indonesia, juga harus diperhitungkan oleh Fraser. Jika hal itu terjadi, maka masuknya Timor ke dalam wilayah Republik Indonesia bahkan sudah diakui oleh bekas penjajah wilayah tersebut. Tentu amat sulit jika dalam hal itu Australia masih tetap bersitegang pada sikap semula. Langsung mengakui Timor sebagai wilayah Indonesia, juga bukan soal mudah bagi Fraser. Di dalam negerinya ia akan menghadapi berbagai golongan yang masih bersimpati pada Fretilin. "Paling tidak para wartawan Australia tidak akan begitu saja menerima keputusan itu sebelum soal hilangnya beberapa wartawan Australia di Timor tahun silam menjadi jelas duduk soalnya", kata sebuah sumber di kalangan pimpinan persatuan wartawan Australia di Canberra. Jadi jalan yang nampaknya bakal ditempuh oleh Fraser adalah secara perlahan-lahan, untuk akhirnya tidak punya pilihan lain kecuali mengakui Timor sebagai propinsi ke 27 dari Republik Indonesia. Waktu yang terbentang antara kurljungan Fraser kali ini hingga pengakuan secara resmi itu nanti bakal merupakan kesempatan bagi Australia untuk mendinginkan para penentang integrasi Timor, sembari terus memperkokoh hubungan Canberra-Jakarta. Dan Australia nampaknya menyadari soal ini. Sebab Canberra, yang memberi prioritas penting bagi ASEAN dalam politik luar negerinya, tahu betul peranan Jakarta dalam lingkungan kerja sama negara-negara Asia Tenggara itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus