SOAL impor cengkeh -- yang pernah dipertanyakan PMKRI dalam
Memorandum 17 Agustus-nya -- diharapkan makin jernih dengan
penjelasan Probosutejo hari Lebaran yang lalu. Sambil
berhalal-bi-halal dengan pers di rumahnya, adik kandung Presiden
Soeharto itu sekaligus menjelaskan duduk perkara keterlibatan
sanak-saudara Presiden dalam dunia usaha. Hal itu sehubungan
dengan instruksi Presiden 21 September yang lalu, yang melarang
semua aparatur negara memberikan fasilitas istimewa pada
keluarga Presiden yang jadi pengusaha.
"Dari sepuluh saudara Pak Harto yang satu bapak satu ibu", kata
usahawan itu, "hanya sayalah yang jadi pengusaha". Sedang dari 9
adik angkat Presiden, yakni anak-anak Mas Ngabehi Prawirowiharjo
yang baru meninggal 2 Mei lalu, juga hanya satu yang jadi
pengusaha. Yakni Sudwikatmono, yang dalam iklan-iklan
belasungkawa waktu itu disebut-sebut sebagai Presdir PT Suptan
Film, PT Bogasari Flour. Mills, PT Indo Cement, dan PT Waringin
Kentjana. Ada pun dari 9 saudara Nyonya Tien Soeharto, menurut
Probo "hanya 3 orang yang jadi pengusaha". Mereka ini tidak
begitu menonjol, misalnya Ibnu Hardoyo -- yang bekerja dengan PT
Kabel Metal dan pabrik semen Cilacap. Dengen penjelasan terbuka
itu, Probo mengharapkan masyarakat tidak begitu saja percaya
pada orang orang yang mau jadi pengusaha dengan mengaku
"keluarga Presiden".
Mengisahkan kariernya sendiri, Probosutejo berkata: "Jauh
sebelum Pak Harto jadi Presiden, tahun 1963, saya sudah mulai
berusaha sebagai karyawan PT Orisci". Kemudian bekas guru Taman
Siswa di Medan itu mendirikan PT Setia Budi Murni di Medan. Lalu
tahun 1969 mulai mengimpor cengkeh. Ketika kemudian "sindikat
cengkeh" yang dibentuk Menteri Perdagangan Sumitro -- antara
lain beranggotakan CV Berkat -- macet, Probo mengusulkan pada
Sumitro agar anggotanya dibatasi. "Daripada keuntungan jatuh
pada pedagang-pedagang begitu saja, kenapa tidak dikordinir
pemerintah saja agar keuntungan jatuh ke tangan pemerintah",
begitu usul Probo pada Menteri Perdagangan waktu itu. Walhasil,
akhirnya disetujui adanya 2 importir saja yakni PT Mercu Buana
dan PT Mega. Perombakan sistim tata-niaga cengkeh itu, dalam
buku Prof Sumitro Djojohadikusumo, Kebijaksanaan Di Bidang
kotomi Perdagangan memang terjadi bulan Juli 1970. Sedang
penunjukan kedua importir itu baru terjadi sekitar 5 bulan
kemudian dengan SK Menteri Perdagangan No. 165 dan 167/1970.
Penunjukan PT Mercu Buana itu, menurut Probo "bukan Pak Harto
yang mengusulkan, tapi Pak Mitro sendiri". Malah Presiden
Soeharto waktu itu memperingatkan Menteri Sumitro: "Lebih baik
jangan Mercu Buana, karena itu adik saya, nanti orang menduga
itu fasilitas dari saya". Namun Prof Sumitro berkeras menunjuk
Mercu.
Begitulah kisah perdagangan cengkeh, yang rupanya selama ini
jadi bahan desas desus di sana-sini. Di samping soal itu, uraian
Probosutejo terpusat di sekitar dua pokok lainnya yang
menyangkut keluarga Pak Harto. Yakni peternakan "3 S" yang
dikelola putera sulung Presiden, Sigit Haryoyudanto Suharto, di
Gunung Salak, kabupaten Bogor. Lantas soal kuburan yang sedang
dibangun Yayasan Mangadeg di dekat kota Solo. Juga tentang
rencana Sigit membuka perkebunan tebu di Lampung, serta
pengalaman Probo kalah tender pelabuhan udara Medan, gudang
Sunter, dan gedung Sekneg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini