Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Catatan-catatan australia

Catatan perjalanan goenawan mohamad ke australia. kebudayaan masih bertopang anglo saxon, imigran semakin banyak. tradisi budasi mulai ditinggalkan. punya pelukis sydney nolan.

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa waktu yang lalu Goenawan Mohamad dari TEMPO mergadakan perjalaran di Australia Berikut ini adalah dari catatan-catatanya yang baru kali ini sempat diterbitkan: LANSKAP AUSTRALIA Lanskap Australia punya keindahan yang tak acuh. Seperti kebun karang. Tidak permai, kekar, tanpa puspa ragam. Warna hijau cuma redup, diselingi kulit pohon yang terkadang putih. Atau daun kuning -- mungkin weeping willows -- yang terjurai. Karang-karang, memberi aksen purba kepada bukit-bukit. Dan bukit-bukit itu, sangat bersahaja, seakan-akan tak habis-habisnya. Seseorang yang terbiasa dengan kesesakan pulau Jawa akan segera merasakan satu kesan kuat di sini: ruang yang berlebih-lebihan. Atau keharusan mengakui jarak. "Jarak merupakan ciri Australia", tulis sejarawan Geoffrey Blainey dalam The Tyrarny of Disance, "sebagaimana gunung-gunung merupakan ciri Switzerland". Jika anda tak percaya bagaimana besarnya ukuran negeri ini, bacalah ensiklopedi. Orang Australia percaya itu. Di sebuah jamuan di Canberra seorang penyair yang mengajar pada universitas di sini heran, waktu ia mendengar dari seorang diplomat (yang pernah tinggal di Amerika Latin) bahwa ternyata Brazilia lebih luas ketimbang Australia. "Mana mungkin?", seru seorang gadis yang ikut mendengarkan. MAKANAN AUSTRALIA Menjadi tamu lebih banyak enaknya daripada menjadi tuan rumah, kadang-kadang. Di jamuan makan di rumah seorang peternak di Adelong -- sebuah daerah peternakan yang terpencil di pelosok New South Wales -- seorang tamu asing yang kurus disodori potongan daging yang besar. "Ukuran steak anda sebanding dengan besarnya negeri anda"katanya sopan. "Tolong berilah saya daging yang sebanding dengan besarnya negeri saya". Dia orang Belgia. Selama di Australia, saya tak tahu apakah saya telah mencicipi makanan Australia atau belum. Yang jelas saya makan makanan Indonesia, Vietnam, barangkali Yunani dan yang pasti Cina dan Spanyol. Saya tak berani bertanya dan meminta la specialite de la maison di sini. Sebab ada kemungkinan bahwa itu tak enak. Saya ingat cerita Bung Karno yang mengernyitkan muka waktu terpaksa mencicipi air susu kuda di Mongolia. Menanyakan makanan khas Australia barangkali juga sama halnya dengan menanyakan "kebudayaan Australia". Dan itu tak mudah buat dijawab. Soal ini di Indonesia juga berat dan mungkin tak perlu. Tapi di sebuah diskusi informil di Melbourne ada pertanyaan yang menarik: Akankah kebudayaan Australia kelak terus merupakan kebudayaan yang bertopang pada tradisi Anglo-Saxon, sesuai dengan klas yang berada di atas? Sejauh mana para pendukung tradisi itu mau memperkenankan pluralisme dalam kebudayaan, dengan makin banyaknya para imigran dari Yunani, Italia, Asia Tenggara, orang-orang Jepang, Tionghwa dan lain-lain? Di Adelaide sebuah sekolah swasta yang tua dan terkemuka memasukkan bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang bisa dipilih untuk diikuti. Itu hasil permintaan para orang tua murid. Tapi kepala sekolahnya yang sudah tua, yang datang dari Inggeris, dengan sikap angker dan keyakinan yang tak minta didebat berkata, kira-kira: "Sebenarnya di samping Inggeris para murid harus belajar bahasa Jerman dan Perancis -- sebab Barat-lah sumber mereka". Waktu itu saya menanyakan apakah kini anak Australia lebih banyak belajar bahasa Jepang. "Of course, the Japs would like it, but. . ", jawabnya. DASI DI AUSTRALIA Satu kalimat dari sebuah lakon Oscar Wilde: "George tidak perlu dasi. Dia 'kan mau pergi ke Australia". Kolumnis Ross Campbell dalam The Bulletin pertengahan Juni itu memulai tulisannya dengan suatu sinyalemen genting tentang wajah Australia dewasa ini: "Ketegangan makin bertumbuh antara dua fihak -- orang yang memakai dasi dan mereka yang tidak". Menyedihkan, bagi Campbell, bahwa yang tidak pakai dasi nampaknya makin bertahan maju. Mereka ini menguasai dunia show-biz dan radio, dan di bagian-bagian penting bidang periklanan serta TV. Bahkan mulai memasuki pers. Dalam suatu resepsi di sebuah galeri seni rupa, seorang wanita berbisik kepada Campbell: "Tahukah kau bahwa cuma kau yang pakai dasi di antara hadirin di sini?". Campbell hampir saja memutuskan masuk ke kamar kecil dan mencopot dasinya. Dari Brisbane (setelah jamuan santai dengan orang-orang universitas yang tak berdasi), saya harus terbang ke Sydney. Acara: langsung setelah tiba, makan malam dengan Dr. Jean Battersby, wanita pertama dalam badan eksekutif dari Dewan Kesenian Australia. Dari sana ke Gedung Opera Sydney yang tersohor itu, untuk nonton pertunjukan perdana sebuah opera. "Harap pakai black-tie", begitu diberitahukan oleh pengantar saya di atas pesawat. "Anda punya?", tanyanya, agak cemas. Ya, jawab saya, saya punya dasi warna hitam. Saya tunjukkan dasi yang saya simpan di saku jas. "Bukan itu", jawab si pengantar. Kemudian saya tahu bahwa yang dimaksud ialah dasi kupu-kupu berwarna hitam, yang dipakai dengan baju putih berenda, dan jas khusus. Saya belum pernah memakainya seumur hidup, dan malam itu saya juga tak memakainya. Selama nonton opera (yang tak saya ingat judulnya), saya teringat Oscar Wilde . . . SYDNEY NOLAN Kata seorang sarjana Indonesia yang pernah tinggal di AS dan kini mengajar di Australia: "Di AS terasa adanya kreatifitas setiap kali, selalu ada gairah kepada yang baru. Di Australia, tidak". Kata seorang kenalan lain: "Orang Australia suka merasa 'kurang berbudaya' dan berusaha keras mengejar 'ketertinggalan' mereka dengan berlebihan -- misalnya lihat saja Gedung Opera Sydney". Tapi di Lanyon, di sebuah rumah kuno agak di luar Canberra, terhimpun lebih dari 20 karya Sydney Nolan. Pelukis ini, kini hampir 60 tahun, memang tinggal di London. Tapi mungkin ia bisa lebih jelas ketimbang novelis Patrick White, yang mendapat Hadiah Nobel, untuk menunjukkan bahwa apa yang disebut "ketertinggalan" Australia itu hanyalah bayangan dari "tirani jarak jauh" yang ditanggungkan negeri ini. Nolan bagi saya adalah seorang pelukis utama di dunia sekarang, salah satu pertanda betapa pentingnya Australia dalam seni rupa kini. Kenyataan ini biasanya tak diakui, karena tak dikenal. Di Indonesia, bekas koloni Belanda, orang terus-menerus hanya terpesona oleh Van Gogh sampai dengan Karl Appel. Tapi Appel rasanya cuma mewakili semangat Eropa yang lagi pegal-pegal, dan Van Gogh merupakan ikhtiar yang mengharukan, dari seorang yang terdesak untuk menangkap apa yang berharga dari dunia yang tanpa humor. Nolan sebaliknya bisa bermain-main, melucu, sendiri dengan mithosnya yang sederhana tentang penjahat Ned Kelly tokoh cerita rakyat Australia yang sebenarnya tak luar biasa itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus