Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh tahun menempati posnya di Yerusalem sebagai koordinator khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk proses perdamaian Timur Tengah, Robert Serry sudah ikut dalam tiga perundingan Israel dengan Palestina. Semuanya adalah forum yang diprakarsai Amerika Serikat. Semuanya berakhir dengan kegagalan. Dalam pidato paripurnanya di Dewan Keamanan sebelum mengakhiri tugasnya pada Kamis dua pekan lalu, diplomat dari Belanda ini berkata seolah-olah menunjukkan perasaan frustrasinya tapi sekaligus harapan, "Bukankah sudah saatnya bagi Dewan sendiri untuk memimpin?"
Pada bagian lain dari uraiannya, dia menyebut proses perdamaian yang berlangsung sejauh ini lebih merupakan "sebuah kaleng yang ditendang ke jalan menurun tanpa ujung".
Pernyataan Serry, bagaimanapun, memang menambah suram keadaan, kecuali ada inisiatif baru. Sebelumnya, pada saat-saat terakhir kampanye sengit pemilihan umum parlemen pada 17 Maret lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu malah menegaskan, selama dia menjabat, tak bakal ada negara Palestina—yang sebenarnya merupakan bagian dari solusi perdamaian yang dicoba dibuhulkan kesepakatannya, terutama di antara dua pihak yang bersengketa. Penegasian hak rakyat Palestina ini menyebabkan Amerika gusar sehingga hubungan kedua negara yang sudah panas-dingin, terutama karena tak mesranya Presiden Barack Obama dan Netanyahu, bertambah runyam.
Netanyahu memang kemudian berupaya mengoreksi akibat dari kata-katanya, seolah-olah itu semata-mata karena keseleo lidah. Tapi Obama rupanya sudah tak bisa terkesan lagi. Meski belakangan mengucapkan selamat atas kemenangan Netanyahu, Obama tegas menarik garis, "Kami memegang kata-katanya ketika menyatakan bahwa (negara Palestina) tak bakal terwujud selama dia menjadi perdana menteri, dan karena itulah kami mesti mengevaluasi adanya opsi lain."
Disadari atau tidak, salah satu opsi yang ada tak lain adalah—sebagaimana disinggung Serry—mendorong Dewan Keamanan mengambil alih peran Amerika.
Sebagian besar diplomat yang menghadiri pidato Serry setuju dengan opsi itu. Dalam kenyataannya, memang banyak yang sudah lama berharap Dewan Keamanan pada akhirnya menggantikan Amerika sebagai penengah proses perdamaian Timur Tengah—harapan yang terus-menerus dinihilkan oleh Amerika. Kini, dengan berubahnya suasana hati Amerika setelah pemilihan umum Israel, harapan itu timbul lagi. "Amerika ingin apa yang kami mau—solusi dua negara—juga, kan?" kata Dina Kawar, Duta Besar Yordania untuk PBB.
Yang sebenarnya dicoba digelindingkan Amerika adalah upaya diplomatik di PBB yang bertujuan memastikan pendeklarasian resolusi Dewan Keamanan yang memuat prinsip-prinsip solusi dua negara. Poin mengenai hal ini antara lain akan didasarkan atas garis perbatasan sebelum perang pada 1967 antara Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Para pakar kebijakan luar negeri umumnya berpendapat, melalui resolusi itu, Israel harus menyerahkan teritori kepada Palestina sebagai ganti atas wilayah-wilayah di Tepi Barat yang sudah dijadikannya permukiman masif Yahudi. Hal ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Netanyahu. Selama ini pun Amerika tak pernah mempromosikannya di PBB, meski poin-poinnya merupakan kebijakan resmi negara itu, semata agar tak terlihat berseberangan dengan Israel.
"Secara internasional, posisi kami adalah mendukung perundingan langsung antara Israel dan Palestina," kata seorang pejabat senior di Gedung Putih. Tapi, dia menambahkan, "Kita sekarang dalam kenyataan ketika pemerintah Israel tak lagi mendukung perundingan langsung. Karena itu, jelas kami harus memperhitungkan hal ini dalam keputusan kami untuk melangkah maju."
Hal itu memang tak serta-merta berarti Amerika siap menyerahkan peran sebagai penengah perundingan Israel dengan Palestina ke pihak lain. Yang jelas, isyarat pergeseran strategi Amerika itu muncul pada saat Prancis, tanpa menimbulkan kegaduhan, sedang berupaya mengegolkan sebuah resolusi tentang pendirian negara Palestina dalam tempo dua tahun. Proposal Prancis ini tentu saja disambut hangat oleh Palestina dan para pendukungnya.
Duta Besar Prancis untuk PBB, Francois Delattre, mengatakan kepada wartawan pekan lalu bahwa Paris berkomitmen menggalang dukungan PBB terhadap resolusi itu. "Kami menganggap sangat besar kemungkinan Dewan Keamanan merupakan tempat terbaik, jika bukan satu-satunya, untuk melakukan hal ini dan mengupayakannya melalui konsensus."
Para diplomat yang mengikuti perkembangannya mengatakan Prancis akan sangat senang melihat Washington bertindak sebagai pemimpin dalam menyusun resolusi dan menggelindingkannya di Dewan Keamanan. Tapi, menurut Delattre, Prancis akan maju terus sekalipun Amerika ogah-ogahan. "Untuk hal ini, kami tak akan menyerah."
Ikhtiar Prancis itu sebenarnya dimulai sejak musim gugur tahun lalu, jauh sebelum Netanyahu membuat blunder. Prancis menjadikannya sebagai bagian dari sebuah langkah diplomatik yang lebih luas yang bertujuan mengurangi monopoli diplomatik Washington dalam proses perdamaian Timur Tengah. Para pejabat Prancis beralasan negosiasi puluhan tahun yang ditengahi Amerika telah gagal, karena itu perlu pendekatan baru.
Kala itu, kata seorang diplomat Barat yang mengikuti pembicaraan pihak yang terlibat, "Amerika tak bilang ya, tapi mereka juga tak menolak gagasan ini, sebagaimana sudah mereka perlihatkan berkali-kali sebelumnya."
Tujuan Prancis, yang didukung Palestina, adalah mengganti Resolusi 242, yang ditetapkan segera setelah Perang Enam Hari pada 1967 berakhir. Resolusi yang dikenal berkat konsep tanah untuk perdamaian ini menggariskan prinsip perundingan langsung di antara pihak yang bersengketa sebagai jalan menuju rekonsiliasi. Prinsip inilah yang dipegang kuat oleh Israel—dan karena itu negara tersebut dipastikan bakal keras menentang upaya apa pun yang meniadakannya.
Laporan berbagai media internasional menyebutkan Prancis sudah menyusun draf resolusi baru yang hendak diperjuangkannya, dan telah membagikannya kepada negara-negara anggota Dewan Keamanan. Sebagian bahkan bocor di kalangan pers. Dalam draf itu antara lain diterakan rencana untuk "solusi damai yang adil, awet, dan menyeluruh yang memenuhi visi dua negara yang merdeka, demokratis, dan makmur; Israel dan sebuah negara Palestina yang berdaulat, dengan perbatasan yang jelas, hidup berdampingan secara damai dan aman dalam batas-batas yang diakui bersama ataupun secara internasional".
Dengan adanya pernyataan Robert Serry, sejumlah diplomat berharap upaya Prancis itu segera mengalami kemajuan. "Akan masuk akal untuk mengegolkan sebuah resolusi di masa kepemimpinan Yordania di Dewan" pada April ini, kata Riyad Mansour, Duta Besar Palestina untuk PBB. Namun banyak diplomat memperkirakan pembahasan perlu waktu lebih lama.
Menurut Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius, Prancis bakal memulai pembicaraan pada pekan-pekan mendatang mengenai parameter resolusi. Rencananya, Prancis juga akan berupaya menggandeng Amerika. "Saya berharap para mitra yang dulu enggan tak lagi enggan (bergabung)," katanya di New York, Jumat dua pekan lalu.
Menurut para diplomat yang tak begitu optimistis, resolusi baru itu tak bakal cukup untuk bisa mendorong Israel dan Palestina segera kembali ke meja perundingan. Prancis pun sejauh ini belum berhasil memperoleh dukungan sekutu pentingnya di Eropa, Inggris dan Jerman, yang khawatir resolusi itu ditolak Israel dan Amerika.
Karena Amerika sudah mengindikasikan upaya baru, berupa resolusi, masalahnya tinggal bagaimana sikap Inggris. Tergolong pemain penting dalam proses perundingan selama ini, Inggris sedang menyongsong pemilihan umum, dan hal ini bisa menjadi halangan. Menurut undang-undang di sana, pemerintah bisa melancarkan langkah diplomatik sebelum 7 Mei, saat pemilihan umum dilangsungkan, tapi dilarang mengubah kebijakan secara signifikan. Para diplomat negara itu pun sudah memastikan mereka memilih menunggu sampai sesudah Mei.
Yang juga berpeluang menjadi ganjalan adalah perundingan mengenai nuklir Iran yang kini sedang berlangsung. Belum ada indikasi apakah negara-negara yang berperan penting dalam prakarsa perdamaian Israel dan Palestina yang juga terlibat dalam isu ini mau mempertajam konfrontasi dengan Israel.
Apa pun perkembangannya, tampaknya apa yang sudah lewat dan tak menghasilkan apa-apa memang sudah saatnya ditinggalkan. Serry mengingatkan negara-negara yang terlibat agar menghindari kesia-siaan. "Einstein bilang, jika seseorang tetap melakukan eksperimen yang sama terus-menerus, mengharapkan hasil yang berbeda, itulah definisi kegilaan," katanya, mengutip fisikawan Albert Einstein.
Purwanto Setiadi (Foreign Policy, The New York Times, Newsweek, Reuters, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo