Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nyaris Terbuang karena Warisan

Seorang nenek 82 tahun terancam dideportasi ke Cina. Berawal dari rebutan harta warisan bernilai ratusan miliar rupiah dengan dua anak kandungnya.

6 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK kesekian kalinya, pengacara senior O.C. Kaligis mengirimkan surat ke kantor Kementerian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surat yang ditujukan kepada Menteri Yasonna H. Laoly, Senin pekan lalu, itu mempertanyakan sikap Kementerian yang tak kunjung mendeportasi Kentjana Sutjiawan, 82 tahun, ke Cina. "Semasa Menteri Amir Syamsuddin, surat serupa sudah dikirimkan sebanyak tiga kali," kata Kaligis, Selasa pekan lalu.

Kaligis mewakili dua anak kandung Kentjana, Edhi Sujono Muliadi dan Suwito Muliadi. Tak hanya menyurati Menteri Hukum, pada November tahun lalu, Kaligis juga pernah melobi Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat agar Nenek Kentjana bisa diminta hengkang dari Indonesia. Waktu itu Kaligis menenteng Surat Keputusan Direktorat Jenderal Imigrasi tanggal 22 April 2013. Surat itu memang memerintahkan Kentjana alias Xie Ligen atau Hsieh Lie Ken meninggalkan Indonesia karena dianggap melanggar Undang-Undang Kewarganegaraan.

Sebaliknya, Kentjana menolak "dipulangkan" ke Negeri Tirai Bambu. Kuasa hukum Kentjana, Dedi Heryadi, mengklaim nenek renta itu adalah warga negara Indonesia yang memiliki surat kependudukan yang sah. Kentjana, menurut dia, mengantongi paspor Indonesia sejak 1975. "Ibu Kentjana pun sudah berkali-kali mencoblos dalam pemilihan umum," ujar Dedi.

Menurut Dedi, upaya keras mendeportasi Kentjana merupakan buntut panjang sengketa harta warisan. Sejak 2004, Kentjana dan dua anaknya berseteru karena memperebutkan lahan dan bangunan bernilai ratusan miliar rupiah. Harta itu menyebar di tiga lokasi, yakni di Jalan Gedong Panjang Nomor 47, Penjaringan, Jakarta Utara, seluas 3.130 meter persegi; di Jalan Pluit Raya, Penjaringan, Jakarta Utara, seluas 2.000 meter persegi; dan di Jalan Kemurnian V, Jakarta Barat, seluas 124 meter persegi.

Lahan di Gedong Panjang dan Pluit kini dikuasai Edhi dan Suwito. Sejak 2008, di atas lahan di Gedong Panjang berdiri bangunan megah tujuh lantai. Bangunan itu lebih dikenal dengan nama Rumah Duka Heaven, salah satu tempat persemayaman papan atas di Jakarta. Sedangkan lahan dan rumah di Jalan Kemurnian masih ditempati Kentjana bersama salah seorang anaknya.

* * * *

DALAM tiga bulan terakhir, Kentjana Sutjiawan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan duduk dan berbaring di tempat tidur. Bila berdiri atau berjalan kaki, rasa nyeri di lutut kanan selalu mendera nenek sembilan cucu itu. Dokter menyarankan Kentjana menjalani operasi mengganti tempurung lutut kanannya. Namun Kentjana takut operasi malah memperburuk kesehatannya.

Di usianya yang kian senja, Kentjana mengaku tak habis pikir mengapa dua dari enam anaknya malah mempersoalkan asal-usul kewarganegaraan dia. Kepada Tempo, yang menemuinya Kamis dua pekan lalu, Kentjana bercerita. Dia lahir di Jakarta pada 1932. Ketika ia berumur 2 tahun, orang tuanya membawanya ke Cina. Pada 1949, ketika berumur 16 tahun, Kentjana menikah dengan Lie Tjin Tjhoen alias Hadi Sumitro Muliadi. "Suami saya datang ke Cina untuk mencari istri," kata Kentjana.

Beberapa bulan setelah menikah, Hadi membawa Kentjana kembali ke Indonesia. Mereka lalu merintis usaha peti mati di Jalan Toko Tiga, Jakarta Utara. Ketika usaha bertambah maju, mereka menyewa lahan di Jalan Gedong Panjang dan Jalan Pluit untuk gudang.

Selama 20 tahun lebih, pasangan ini hidup rukun. Mereka dikaruniai enam anak, yakni Edhi, Susanto Muliadi, Tjendana Muliadi, Farida Muliadi, Suwito, dan Sutarno Muliadi.

Pada 1971, Hadi meninggal. Sepekan sebelum wafat, pada 30 April 1971, Hadi membuat surat wasiat nomor 66 di hadapan notaris Raden Mas Soerojo. Surat wasiat itu menyebutkan keenam anak Hadi Sumitro merupakan ahli waris dan masing-masing mendapat seperenam bagian dari perusahaan peti mati dengan merek Nam Hiung dan Hiap Djie Hoo. Surat itu juga menunjuk Edhi, sebagai anak tertua, untuk mengurus warisan berupa merek dagang tersebut.

Sepeninggal Hadi, Kentjana melanjutkan usaha peti mati dibantu anak-anaknya. Dari keuntungan usahanya, dia membeli lahan di Jalan Kemurnian dan Jalan Gedong Panjang. Pada 1975, Kentjana mengajukan permohonan hak atas lahan di Gedong Panjang. Empat tahun kemudian, Kentjana mendapatkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2195 atas nama dirinya. Lalu, pada 1985, ia mendapatkan Sertifikat HGB Nomor 2929 untuk tanah di Jalan Pluit Raya. "Aset itu saya peroleh setelah suami meninggal, jadi bukan warisan," ucapnya.

Belakangan, Edhi—yang sudah lulus sekolah kedokteran—meminta Kentjana mengubah nama pada sertifikat itu. Alasannya, sebagai anak tertua, Edhi akan mengurus lahan itu untuk mencegah rebutan warisan di antara kelima adiknya.

Kentjana pun menyetujui usul Edhi. Ibu dan anak itu membuat perjanjian seolah-olah terjadi jual-beli untuk lahan di Jalan Gedong Panjang. Maka keluarlah Akta Jual-Beli Nomor 4067 Tahun 1983. Sedangkan untuk lahan di Jalan Pluit, Kentjana membuat akta hibah Nomor 17 Tahun 1987. Sertifikat HGB kedua bidang lahan itu pun diubah atas nama Edhi. "Tapi sertifikatnya saya simpan," kata Kentjana.

Cerita Kentjana dibantah Edhi melalui Kaligis. Menurut Edhi, meski lahan dibeli ibunya, uangnya berasal dari peninggalan sang ayah. Edhi bahkan mengklaim mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli lahan di Jalan Gedong Panjang dari ibunya. "Uangnya dipakai Kentjana untuk membangun rumah keluarga di Cina," ujar Kaligis.

Menurut Kentjana, Edhi mulai menunjukkan gelagat mencurigakan pada 1997. Edhi meminta sertifikat lahan untuk dijaminkan ke bank. Namun permintaan itu ditolak Kentjana. Beberapa tahun kemudian, Edhi kembali meminta sertifikat dengan alasan untuk perpanjangan sertifikat HGB. Kentjana kembali menolak permintaan anak sulungnya.

Tak puas, Edhi melaporkan Kentjana ke Kepolisian Resor Jakarta Utara dengan tuduhan penggelapan pada 2004. Sebaliknya, pada 13 Mei 2005, Kentjana menggugat Edhi secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pengadilan pun memerintahkan Edhi mengembalikan kepemilikan lahan itu kepada ibunya. Pada 2009, putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung memperkuat putusan pengadilan sebelumnya.

Ketika gugatan perdata berlangsung, pada 2008, Kentjana melaporkan Edhi ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kentjana mengadukan dugaan pemalsuan dokumen dalam pengurusan izin mendirikan bangunan rumah duka di Gedong Panjang dan Pluit Raya. Pada 2013, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Edhi divonis satu setengah tahun penjara.

Ketika Pengadilan Negeri hendak melakukan sita eksekusi pada April 2014, Edhi melawan dengan mengajukan bantahan sita eksekusi. Pada 15 Desember 2014, bantahan itu dikabulkan hakim. Alasan hakim membatalkan sita eksekusi antara lain karena Kentjana merupakan warga negara asing.

Hakim PTUN mengacu pada sejumlah dokumen yang diajukan kuasa hukum Edhi, antara lain surat catatan sipil Provinsi Guangdong yang menjelaskan bahwa Xie Ligen lahir di Sung Gou, Meixian. Ada juga paspor Cina atas nama Xie Ligen yang terbit pada 2012. Padahal Kentjana mengaku tak pernah mengurus paspor Cina.

Hakim PTUN juga menerima dalil Edhi bahwa lahan di Gedong Panjang dan Pluit tak lagi menjadi obyek sengketa. Menurut Edhi, masa hak guna bangunan kedua lahan itu kedaluwarsa. Edhi pun mengurus pembaruan sertifikat HGB, sehingga terbit Sertifikat Nomor 6011 dan 6014.

Merujuk pada putusan kasasi Mahkamah Agung, Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta membatalkan kedua sertifikat pembaruan HGB atas nama Edhi tersebut. Tapi Edhi tak tinggal diam. Dia menggugat BPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada 18 November 2014, PTUN mengabulkan gugatan Edhi dan meminta BPN menunda pencabutan kedua sertifikat itu.

Pada Februari lalu, kuasa hukum Kentjana mengadu ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Mereka mempersoalkan putusan hakim PTUN yang menyebutkan BPN tak berwenang mencabut sertifikat HGB atas nama Edhi karena perkara masih dalam proses peninjauan kembali. Padahal, kata Dedi, ketika BPN membatalkan sertifikat tersebut, sudah ada putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap.

Di pembaringannya, Kentjana berharap masih diberi umur sampai sengketa tanah dengan anaknya selesai. "Saya ingin semua anak mendapatkan warisan dengan adil," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus