DI tengah suasana krisis Teluk, suatu pemandangan aneh tergelar di sebuah jalan di dataran tinggi di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Sekitar 49 kaum hawa melakukan unjuk rasa dengan menyetir mobil masing-masing, berputar-putar di jalan itu. Mereka mengenakan purdah -- pakaian khas wanita Saudi yang serba hitam. Lalu mereka memarkir mobil, dan melakukan aksi duduk di belakang kemudi. Itulah aksi protes, atas dilarangnya wanita Saudi mengemudikan mobil. Padahal, sejumlah wanita yang pernah hidup di luar negeri pintar mengemudi dan punya SIM. Menurut Aminah Syafiq, dalam tulisannya yang dimuat dalam tabloid Al Ahaly (Keluarga Kerabat), Rabu pekan lalu, alasan mereka melakukan unjuk rasa, antara lain, agar terhindar dari sopir asing tatkala sang suami atau keluarga dekat tidak ada di rumah. Bila "dalam keadaan darurat pemerintah memperbolehkan sebagian wanita Saudi terjun ke medan perang sebagai juru rawat," tulis Aminah Syafiq, mengapa hanya mengemudikan mobil dilarang? Tentu saja pemerintah Saudi sangat marah. Polisi segera bertindak, menangkap pimpinan dan semua peserta unjuk rasa. Kabarnya, mereka semua diperiksa hingga pukul 05.00 pagi keesokan harinya. Konon, mereka tidak diperkenankan berhubungan dengan suami dan sanak keluarganya selama dalam pemeriksaan. Sesungguhnya, aksi 49 wanita ini mendapat dukungan paling tidak dari suami mereka. Ketika mereka melakukan demonstrasi itu, suami dan anak-anak mereka menonton, meski dari kejauhan. Reaksi keras datang dari Dewan Fatwa, suatu lembaga tertinggi di Saudi dalam hal pengukuhan hukum agama. Dewan menginginkan pemerintah menindak mereka yang ingin "mengubah" tradisi. Bahkan, Dewan yang diketuai oleh Syaikh Abdel Azis bin Abdullah bin Baz, yang punya pengaruh besar dalam masyarakat Saudi, mengeluarkan fatwa baru yang lebih keras: "Wanita dilarang mengendarai mobil. Barang siapa yang melanggar ketentuan itu harus ditindak tegas dijatuhi hukuman penjara." Untuk mengatasi masalah ini Raja Fahd memerintahkan kepada Komite Cendekiawan Muslim agar melakukan penyelidikan sebelum mengambil tindakan. Gubernur Riyadh, Pangeran Salman bin Abdel Azis, untunglah, punya sikap modern. Ia mengharapkan Komisi segera mengambil keputusan karena para wanita itu bukan pelaku tindak kriminal. Dan ternyata Komite tidak menemukan pelarangan yang spesifik dalam Al Quran tentang mengemudikan kendaraan. "Saya setuju dengan tuntutan mereka," kata Pangeran Salman, "tapi waktunya belum tepat. Tunggulah beberapa bulan lagi." Mungkin Pangeran itu benar. Untuk wanita Badui, larangan itu tak ada. Mereka sering terlihat mengemudikan sedan atau truk. Namun, hukuman telanjur jatuh, setidaknya bagi enam wanita di antara 49 pengunjuk rasa itu. Mereka, dosen di Universitas King Saud, diskors. Memang ada sebabnya, sekumpulan mahasiswa universitas tersebut melakukan protes. Dan selebaran beredar di kampus, menuduh wanita-wanita itu terpengaruh "sekularisasi gaya Amerika". Nama, nomor telepon, dan alamat lengkap mereka tercantum dalam selebaran itu. "Tak satu pun dari mahasiswa saya mengetahui apa yang sedang saya perjuangkan," ujar salah seorang dari yang diskors. Tindakan pemerintah Saudi terhadap para wanita itu mendapat kecaman dari cendekiawan muslim lainnya, Syaikh Muhammad El Ghazali, seorang pemikir Mesir yang karya-karyanya sangat dihormati di dunia Arab dan Islam. Dulu, kata Syaikh Muhammad, para wanita pun dibolehkan mengendarai unta, keledai, atau himar. Dja'far Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini