BUKAN cuma Uni Soviet terancam retak, juga Kanada -- negeri nomor dua terluas di dunia, setelah Soviet. Yakni niat Provinsi Quebec yang ingin memisahkan diri. Sabtu pekan lalu soal yang bisa memecah belah Kanada itu meruncing kembali. Quebec, satu dari 10 provinsi di Kanada, memang lain. Ia lebih suka mengibarkan bendera lokalnya, biru putih, daripada bendera nasionalnya yang merah dengan daun mapel di tengahnya. Orang Quebec pun lebih suka menyebut diri sebagai Quebecois daripada Canadian. Masalah ini berakar dari masa "perang tanding" Inggris dan Prancis atas tanah Kanada pada abad ke-17. Kemenangan Inggris tidak membuat generasi muda keturunan Prancis pulang ke "tanah air" yang tak mereka kenal itu. Bersama penduduk asli Eskimo dan Indian, kedua bangsa Eropa itu diharapkan berbaur dan tinggal bersama di bawah naungan nama Kanada. Keturunan Prancis itulah yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Quebec. Meski secara formal Kanada dinyatakan sebagai negara bilingual dengan bahasa Inggris dan Prancis sebagai bahasa nasional, orang Quebec masih merasa harus tetap memperjuangkan hak persamaan. Mereka tetap merasa bahwa bahasa, kebudayaan, dan cara hidup mereka sangat jauh berbeda dengan penduduk Kanada lainnya. Awal 1970-an, pada masa pemerintahan Pierre Trudeau dari Partai Liberal, Partai Quebecois (PQ) yang menginginkan separatisme menguasai politik Quebec. Pada 1976, ketika Rene Levesque menjadi premier (perdana menteri lokal) provinsi tersebut, negara yang berpenduduk 26 juta orang itu terancam krisis. Tak henti-hentinya partai itu menghendaki pemisahan Quebec dan sembilan provinsi dan dua daerah teritorial khusus. Begitu memanasnya keadaan, hingga Trudeau yang berasal dari Quebec tapi tak setuju ide separatisme itu mengadakan referendum. Ternyata, 60 persen dari 7 juta warga Quebec tak setuju memisahkan diri. Ternyata, generasi muda Quebec lebih realistis: bagaimanapun Quebec sangat bergantung pada Kanada, yang termasuk delapan negara terkaya di dunia itu. Namun, referendum tak menyelesaikan masalah. Quebec masih merasa didiskriminasi oleh penduduk Kanada lain yang ogah belajar bahasa Prancis. Dan sebab utamanya, selama ini Quebec sering dikambinghitamkan oleh provinsi lainnya. Misalnya dalam hal lahirnya perjanjian perdaganganbebas Kanada-AS yang ternyata lebih menguntungkan AS. Quebec juga sering dituduh sebagai biang keladi keluarnya Bill 178, yang mengharuskan nama toko dan kantor ditulis dalam bahasa Prancis. Inilah pangkalnya bila Quebec memperjuangkan diubahnya konstitusi Kanada. Pada 1987, sepuluh premier dari 10 provinsi bertemu di sebuah gedung di bukit yang menghadap Danau Meech di Provinsi Ontario. Mereka membuat pernyataan yang kemudian dikenal sebagai Meech Lake Accord. Isinya antara lain kesepuluh pemimpin provinsi ini akan bertemu lagi dalam waktu yang singkat untuk mengadakan pengakuan status khusus Quebec di Kanada. Yang diminta oleh Quebec kali ini sebenarnya cukup kompromis- tis dibanding 14 tahun silam, yakni: Quebec bersedia menjadi bagian dari Kanada asal diakui bahwa sebagai "masyarakat yang berbeda". Ternyata permintaan Quebec itu tak rnudah lulus. Perundingan maraton seminggu lamanya berakhir dengan kekecewaan Perdana Menteri Brian Mulroney. Dua provinsi tidak setuju dengan permintaan Quebec, karena mereka merasa pemerintah pusat Ottawa kurang memperhatikan mereka, sehingga mereka pun berhak dianggap sebagai "masyarakat berbeda". Apalagi Provinsi Manitoba, wilayah yang masih banyak Indiannya, yang selama ini merasa didiskriminasi oleh penduduk Kanada lainnya. Krisis ini kemudian ditunggangi oleh Partai Liberal, partai oposisi terkuat, untuk menjatuhkan PM Mulroney. Tapi bukan jatuh-bangunnya perdana menteri itu yang mencemaskan, melainkan bila Quebec dikhirnya benar-benar lepas -- satu preseden yang bisa membuat provinsi lain yang merasa "berbeda" atau "dibedakan" untuk mencopotkan diri pula. Toeti Kakiallatu (Vancouver), Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini