RABU ternyata bukan hari sembarang hari dalam kehidupan Presiden Mohammad Zia ul-Haq. Hampir semua keputusan penting diambilnya pada hari itu. Ia, misalnya, menetapkan Rabu, 16 November, sebagai hari pelaksanaan pemilu depan -- hari bersejarah yang tak sempat disaksikannya. Dan Rabu pekan lalu, maut menjemput Zia tak lama setelah pesawat angkut militer Hercules C-130 yang ditumpanginya meledak sesudah lepas landas dari bandar udara Bahawalpur, dekat perbatasan India. Ikut terbunuh bersama Zia dalam pesawat yang nahas itu: Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Pakistan Jenderal Akhtar Abdul Rahman Duta Besar Amerika Serikat Arnold Raphel, Kepala Perwakilan Militer AS di Pakistan Brigjen. Herbert Wassom, orang yang bertanggung jawab terhadap penyaluran bantuan senjata kepada pejuang Mujahidin di Afghanistan serta sejumlah pejabat tinggi Pakistan lainnya. Total korban sebanyak 32 jiwa -- dan tak seorang pun yang dikenali lagi bentuknya. Ketika jenazah Zia dimakamkan di halaman Masjid Faisal, Islamabad, Sabtu pekan lalu, tak kurang dari 50 delegasi negara menghadiri upacara tersebut termasuk perutusan Indonesia yang dipimpin Wakil Presiden Sudharmono. Tokoh-tokoh oposisi Pakistan, kecuali Benazir Bhutto, juga tampak hadir di pemakaman. "Saya tak merasa ikut berduka cita," dalih Benazir. Dendam Benazir kepada Zia, yang menggulingkan ayahnya, Presiden Zulfikar Ali Bhutto, 11 tahun lalu, tampak tak padam-padam. Khawatir dendam penentang-penentang Zia meledak di saat seluruh negeri berkabung, Penjabat Presiden Ghulam Ishaq Khan memberlakukan undang-undang keadaan darurat. Hampir semua kesatuan disiagakan untuk mengamankan wilayah-wilayah rawan, seperti Rawalpindhi, yang sering jadi ajang kerusuhan politik. Stasiun televisi dan pemancar radio dijaga ekstraketat agar tak direbut kaum oposisi. Pegawai dan tamu-tamu yang berurusan dengan instansi-instansi pemerintah digeledah sebelum diizinkan memasuki kantor. Pendek kata, selama minggu lalu. suasana duka dan perang bercampur aduk di Pakistan. Kematian Zia memang sebuah tragedi bagi Pakistan. Zia terbunuh tanpa sempat mempersiapkan "putra mahkota", dan sejumlah putra terbaik Pakistan ikut tewas di Bahawalpur. Apa yang akan terjadi esok tak seorang pun bisa meramalkan. Soalnya, selama 11 tahun berkuasa, Zia juga meninggalkan kesumat di hati banyak orang. Ia memang dikenal keras terhadap musuh-musuh politiknya. Tak heran bila orang sulit menguak teka-teki kematian Zia. Tapi Ishaq Khan, yakin, tragedi Bahawalpur disebabkan oleh sabotase. Mengingat pesawat C-130 termasuk pesawat paling aman, dan sebelum lepas landas diperiksa oleh petugas-petugas pilihan. Lalu, siapa pelakunya? Ada yang bilang dinas rahasia Afghanistan. Aplagi, beberapa pekan sebelumnya, Presiden Afghanistan Najibullah dan Menteri Luar Negeri Uni Soviet Eduard Shevardnadse melontarkan sebuah ancaman bersama dari Kabul. Mereka menyatakan akan memberi balasan setimpal kepada Pakistan lantaran terus membantu perjuangan Mujahidin. Kedua musuh politik Zia itu yakin, tanpa dukungan Pakistan tak bakal gerilyawan Mujahidin mampu melanjutkan pertempuran. Sejauh mana kebenaran dugaan itu, masih diselidiki. Tapi, boleh jadi juga sabotase dilakukan oleh lawan-lawan politik Zia di dalam negeri. Soalnya mereka sudah kelewat dihantui oieh sikap keras Zia. Terakhir sikap tanpa kompromi itu diperlihatkan Zia dengan membubarkan parlemen hasil Pemilu 1985, dan memecat perdana menteri sipil pertama dalam satu dekade belakangan, Muhammad Khan Junejo, akhir Mei lalu. Alasannya: mereka tak becus membendung korupsi dan melaksanakan Islamisasi. Sejak itu, suhu politik di Pakistan kontan memanas. Tokoh-tokoh oposisi menganggap pembubaran Parlemen serta pemecatan Junejo sebagai kudeta konstitusional. Selang beberapa hari sesudah Zia memperlihatkan kekuasaan, persekutuan sembilan partai oposisi, Gerakan Untuk Restorasi Demokrasi (MRD), melangsungkan konperensi di Islamabad. Di sana, Benazir, selaku ketua MRD, mengimbau Junejo dan kelompok-kelompok keagamaan bergabung bersama mereka menentang pemerintahan Zia. Imbauan Benazir disambut Junejo dan sejumlah sekte keagamaan. Junejo bahkan sesumbar tak akan berkompromi dengar Zia, yang mengorbitkannya ke kursi perdana menteri. Zia tentu saja kelabakan, karena Junejo adalah ketua Liga Muslim Pakistan (PML), partai yang didirikan Zia untuk mengimbangi gerakan oposisi. Karena itu, Zia lalu makin getol mengecam para politikus, yang dianggapnya mau menyontek demokrasi model Barat. Model itu, kata Zia, "tak klop dengan ajaran Islam." Semasa menjabat perdana menteri Junejo juga dikenal menolak meredam gerakan oposisi dan usul penarikan pajak khusus bagi kepentingan pertahanan yang ditargetkan USS 644 juta. Kalau Zia mau menjadi ketua PML, sebenarnya gampang saja baginya untuk menggusur Junejo. Popularitasnya tak kalah dengan Junejo. Hanya saja, sesuai dengan konstitusi, dia harus berhenti sebagai tentara. Seperti diketahui, sampai saat meninggalnya, Zia masih belum pensiun sebagai militer, dan tetap menjabat KSAD. Tapi Zia tak habis akal. Penyeberangan Junejo diimbanginya dengan pemberlakuan sistem pemilihan nonpartai, seperti Pemilu 1985. Semua calon independen. Dengan demikian, tak ada partai yang berhak mengklaim kemenangan dalam pemilu. Keputusan Zia itu disambut partai-partai oposisi dengan menggelar berbagai gelombang demonstrasi. Bentrokan-bentrokan dengan petugas keamanan sering tak terhindarkan, sehingga puluhan nyawa tercabut di jalanan. Gelombang protes yang dilancarkan oposisi itu tak membuat Zia goyah. Ia bahkan kemudian terang-terangan menyatakan, "Tak ada partai politik di Pakistan." Ia menambahkan, yang ada cuma kelompok-kelompok penekan, yang mewakili kepentingan-kepentingan tertentu, bukan kepentingan rakyat. "Karena itu, partai politik tak layak ikut pemilu November depan," kata Zia. Keputusan itu menghadapkan kelompok posisi pada dua pilihan tak enak: terus berdemonstrasi atau mematuhi kata Zia. Memilih yang pertama tak mustahil undang-undang keadaan darurat diberlakukan lagi -- keputusan yang pernah dijalankan Zia dari 1977 sampai 1985. Memilih alternatif kedua pendukung-pendukung nereka akan kecewa karena partai menyerah pada tuntutan Zia. Langkah Zia itu membuat Benazir memersoalkan sistem pemilu nonpartai pada Mahkamah Agung. Benazir menuding sistem itu inkonstitusional. Sampai minggu lalu belum tampak tanda-tanda pengaduan Benazir akan diproses. Kalau jadi pemilu diselenggarakan sebagaimana dijadwalkan mendiang Zia, hampir bisa dipastikan Benazir tak bakal getol berkampanye. November itu adalah hari-hari kelahiran bayi pertamanya. Padahal, ia paling diandalkan MRD untuk menarik pemilih. Karena itu, bukan tak mungkin muncul pikiran-pikiran ekstrem dari kubu oposisi untuk menghabisi riwayat Zia. Dengan kematian Zia, oposisi memang bisa lebih leluasa meraih kekuasaan. Tapi bukan tak mungkin militer terpanggil lagi untuk melakukan kudeta. Jika ini terjadi akibatnya bisa buruk bagi kelompok oposisi. Ruang gerak mereka akan lebih terbatas lagi. Tapi bukan mustahil pula Amerika terlibat. Tak sedikit sikap Zia yang mengecewakan mereka. Terakhir adalah keputusan Zia mensponsori Persekutuan Islam Mujahidin Afghanistan (IUAM) mendirikan Pemerintah Sementara Afghanistan (AIG), yang didominasi kelompok-kelompok fundamentalis. Kekecewaan itu tersirat dalam pendapat di Kongres AS, ketika Senator Gordon Humprey, yang dikenal sebagai pendukung gigih Mujahidin, gagal mempengaruhi Michael Armacost memberi dukungan terbuka bagi AIG. Armacost, asisten menteri luar negeri AS bidang politik, mengaku lebih suka melihat pemerintahan yang mewakili rakyat Afghanistan. Untuk perkara ini, AS punya kepentingan yang sama dengan Soviet. Yakni membendung pengaruh Islam radikal. AS pernah punya pengalaman buruk dengan Iran. Bagi Soviet, kelahiran negara Islam Afghanistan bisa mengancam stabilitas wilayahnya di Asia Tengah, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka, ada analisa yang menyebutkan, AS dan Soviet diam-diam bekerja sama membangun pemerintahan sekuler di Afghanistan. Ambisi Zia melahirkan pemerintah Islam di Afghanistan sebenarnya sudah lama tercium AS. Itu ditunjukkannya dengan menyalurkan sebagian besar senjata bantuan AS kepada kelompok Hezb-i-lslami, pimpinan Gulbuddin Hekmatyar, yang terang-terangan bersikap anti-Barat. Karena itu, kedutaan besar AS di Pakistan kini ditambah seorang staf khusus yang bertugas memantau situasi Afghanistan tanpa lewat pemerintah Pakistan. Ganjalan lain yang memuyengkan AS adalah soal bom nuklir dan narkotik. Jika Pakistan sampai September depan tetap menolak mengakui bahwa mereka memiliki bom nuklir, AS akan memotong bantuannya untuk negara itu sebesar 40%. Bantuan akan dikurangi 40% lagi terhitung Maret 1989, kalau Pakistan tak membantu AS dalam menanggulangi perdagangan gelap narkotik. Karena sepertiga narkotik gelap di AS berasal dari Pakistan. Tapi kalau permintaan AS dipenuhi, sebagian rakyat Pakistan akan kehilangan mata pencarian. Api lain yang mungkin menyulut kebencian rakyat terhadap Zia adalah tertunda-tundanya pencairan kredit Bank Dunia senilai US$ 200 juta untuk tahun anggaran 1987-88, karena pemerintah tak memenuhi permintaan kreditor untuk menekan defisit anggaran belanja dan perbaikan struktur ekonomi. Defisit anggaran belanja Pakistan memang memprihatinkan. Bayangkan: dalam tahun anggaran 198788, defisit mencapai US$ 3 milyar, atau sekitar 9% dari Produk Domestik Bruto (GDP). Sedangkan utang luar negerinya, tahun lalu, mencapai US$ 12 milyar dari US$ 10 milyar pada 1985. Disertai dengan rontoknya cadangan devisa menjadi US$ 1 milyar dari US$ 3,8 milyar pada 1984, diperkirakan utang dalam negerinya akan terus melejit. Tahun ini saja sudah mencapai 40% dari GDP. Jadi, cukup masuk akal Zia dibunuh orang-orang dekatnya yang punya kepentingan penyaluran senjata bagi Mujahidin, atau kepentingan bisnis narkotik. Teka-teki kematian Zia tampaknya masih belum akan terungkap dalam waktu dekat. Tapi satu hal pasti, terbunuhnya Zia juga menimbulkan ketegangan di kalangan jenderal-jenderal, mengingat ada dua posisi penting ditinggalkan Zia dan Jenderal Akhtar Rahman yang harus segera diisi. Siapa tahu, mereka juga terlibat dalam kematian Zia untuk mengisi kedudukan penting militer tersebut. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini