Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pelita tuhan dari barak tentara

Profil presiden pakistan mohammad zia ul-haq. dalam politik, zia identik dengan sikap keras, represif, cerdik, dan tak kenal kompromi. kelompok oposisi menyebutnya sebagai seorang tiran dan ditakuti.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari Zia Ul Haq sedang santai minum teh di kebun rumahnya. Dua ekor burung gagak tampak mengawasi dari sebatang pohon. Seekor di antaranya menukik turun, dan menyambar biskuit dari meja Zia. "Jangan sekali lagi kau lakukan perbuatanmu itu. Itu 'kan Zia," ujar gagak yang lain menasihati temannya. Tapi gagak yang bandel itu tak peduli. Ia menukik lagi, dan menyambar biskuit yang lain. Zia sangat berang atas perbuatan gagak itu, lalu berdiri, dan melangkah ke arah rumah sambil mengancam akan mengambil senjata. Zia belum sampai ke rumah, gagak yang rakus itu menyambar lagi biskuit yang terhidang di meja. Secepat kilat Zia memutar badannya, langsung mencabut pistol yang tergantung di pinggangnya, dan menembak mati gagak yang rakus itu. "Tumhey kaha thabach kay rehna. Kahta kucch hai, karta kucch hai," gumam teman gagak yang malang itu. Arti kalimat itu: "Sudah saya peringatkan untuk hati-hati. Dia berkata begini, tapi yang dilakukannya belum tentu begitu." Humor tentang Presiden Zia ini -- yang beredar luas di kalangan antipemerintah menggambarkan betapa tak terduganya sikap orang kuat Pakistan itu. Zia memang dikenal penuh kejutan, dan tindakannya sulit diduga. Dialah orang yang menggulingkan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto pada 1977, dan kemudian menggantungnya dua tahun kemudian. Padahal, Bhutto adalah orang yang mempromosikan Zia sebagai Kepala Staf Angkatan Darat Pakistan pada 1975. Zia juga pernah mengejutkan peserta Sidang Umum PBB dengan meminta mereka mendengarkan pembacaan ayat-ayat suci Quran sebelum kepala negara Pakistan itu menyampaikan pidatonya. Terakhir, kejutan Zia adalah membubarkan parlemen dan memecat PM Khan Junejo, Juni lalu. Padahal, Junejo adalah orang kepercayaan yang diorbitkannya sendiri ke kursi perdana menteri. Di panggung politik, Zia memang identik dengan sikap keras, represif, cerdik, dan tak kenal kompromi. Kelompok oposisi menyebutnya sebagai seorang tiran. Tapi Zia sesungguhnya adalah pribad yang ramah, lembut, jujur, menarik, dan tidak korup. Ia mudah terharu oleh penderitaan rakyatnya, bahkan tak malu menitikkan air mata di muka umum dalam berbagi rasa dengan mereka yang menderita. Zia-lah kepala negara Pakistan pertama yang menetapkan nilai mahar bagi wanita miskin, pembukaan lapangan kerja bagi para anda, pensiunan, dan penyandang cacat. Ketika Zia membacakan ketetapan pemerintah itu di layar televisi, 25 Juni lalu, tampak jelas Zia terharu, dan ia kemudian mengambil sapu tangan dari sakunya untuk mengelap air matanya yang menetes di pipi. Banyak rakyat yang terharu melihat penampilan Zia malam itu. Besarnya perhatian Zia pada kaum lemah, khususnya penyandang cacat, bagi rakyat Pakistan bukan hal baru. Tak terhitung dana yang dikeluarkannya untuk membantu para penyandang cacat. Keprihatinan Zia itu, karena ia juga mempunyai anak perempuan yang cacat. Zia, yang menikah dengan Shafiz, dan dikarunia lima anak, memang dikenal sangat akrab dengan putri bungsunya yang malang itu -- Zainul. Kecintaan ia pada Zainul, 17 tahun, bahkan tampak begitu mencolok. Waktu-waktu luang Zia banyak dilewatkannya bersama keluarga, terutama untuk bercengkerama dengan Zainul yang sangat disayanginya. Selain itu, Zia juga selalu mengajak Zainul, yang sering disuruhnya mengenakan seragam militer, pada upacara-upacara kenegaraan di Pakistan. Zainul juga sering menyertai ayahnya dalam perjalanan dinas Zia ke luar negeri. Tak heran kalau Zia banyak dipuji dan dikagumi oleh para orangtua. Zia tak cuma layak dikagumi sebagai orangtua. Tapi juga sebagai kepala negara. Di kawasan Asia Selatan, Zia adalah salah seorang pemimpin yang menonjol. Ia, sekalipun suka menggunakan kekerasan, dikenal piawai berdiplomasi, dan ramah pada tamu. Salah satu kelebihan Zia: daya ingat yang luar biasa -- ia hafal nama, wajah, hingga ciri-ciri khas mereka yang pernah bertemu dengannya. Tak aneh bila Zia, yang memerintah Pakistan selama 11 tahun, berhasil memainkan peran penting dalam percaturan politik dunia. Ia berhasil menjadi penengah dalam konflik Aghanistan, dan membangun instalasi senjata nuklir. Siapakah sesungguhnya tokoh yang dikagumi, dan sekaligus dibenci itu? Mohammad Zia Ul Haq -- yang berarti Mohammad Zia Pelita Tuhan -- lahir di Jullundur. Punjab Timur (sekarang negara bagian India), 12 Agustus 1924. Ayahnya, Akbar Ali seorang anggota militer pemerintah kolonial Inggris di India. Zia dikenal berotak encer sehingga sering mendapat beasiswa. Tah mengagetkan jika ia diterima di St. Stephen College, perguruan tinggi favorit saat itu di Delhi. Selagi mahasiswa itulah Zia melihat poster perwira militer mengenakan baret hitam berdiri di samping sebuah tank. Sejak itu anak kolong tersebut memutuskan untu berkarier di angkatan darat. Ia lalu masuk Akademi Militer di Dehra Dun, dan lulus dengan pangkat letnan dua pada 1945. Beberapa bulan sebelum Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Zia ditugaskan ke Malaya, lalu ke Burma, dan kemudian ke Indonesia. Tugas Zia bersama pasukan kolonial Inggris lainnya di Indonesia adalah untuk mengawasi penyerahan tentara Jepang kepada pasukan Sekutu. Setelah menjadi presiden, Zia senang sekali menceritakan pengalamannya selama bertugas di Surabaya kepada tamu-tamunya dari Indonesia. Sepulang dari Indonesia, dan kemudiar Pakistan memisahkan diri dari India, karier militer Zia terus melesat. Tahun 1955, ia sudah lulus dari Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Quetta. Empat tahun kemudian ia dikirim untuk mengikuti pendidikan militer lanjutan di Fort Leaven worth, AS. Tahun 1964, Zia sudah menyandang pangkat letnan kolonel dan terpilih menjadi instruktur sekolah staf dan komando di Quetta. Ketika Pakistan dan India terlibat konflik senjata memperebutkan Kashmir, 1965, Zia terlibat aktif di lapangan. Tahun 1966, ia dipromosikan menjadi komandan pasukan kavaleri, dan dua tahun kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel. Zia menyandang pangkat brigadir jenderal setahun setelah jadi kolonel. Dari 1969 sampai 1971 Zia bertugas di Amman sebagai penasihat militer Yordania, dan mendapat bintang jasa yang disematkan sendiri oleh Raja Hussein. Tahun 1972, Zia dipromosikan menjadi mayor jenderal, dan ikut mengadili anggota militer yang terlibat komplotan penggulingan pemerintahan Perdana Menteri Bhutto. Setelah itu ia dikirim kembali untuk pendidikan lanjutan komando di AS dan Inggris. Tahun 1975, pangkatnya dinaikkan menjadi letnan jenderal. Selang 11 bulan, Zia sudah menyandang pangkat jenderal, dan langsung diangkat sebagai KSAD. Promosi ini mengejutkan banyak orang, karena Zia melangkahi 10 jenderal senior yang seharusnya menduduki jabatan kunci itu. "Saya betul-betul kaget waktu terpilih sebagai KSAD," ujarnya mengenang pengangkatan bersejarah itu. Perintah pertama yang, dikeluarkan Zia sebagai KSAD adalah melarang anak buahnya minum alkohol dan melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama Islam. Kesalehan Zia sudah diperlihatkannya sejak usia muda. Kelak sebagai orang kuat Pakistan, Zia menerapkan hukum Islam sebagai dasar hukum Pakistan. Zia ditunjuk menjadi KSAD, kabarnya, karena Bhutto melihat ia satu-satunya jenderal yang taat menjalankan perintah agama, dan dinilai tak punya ambisi politik. Bhutto ternyata keliru. Zia, menurut rekan-rekan militernya, sengaja menampilkan citra bodoh dan tak berambisi di hadapan Bhutto agar "lawan" lengah dan menganggap enteng dirinya. Ketika Pakistan dilanda krisis politik akibat kecurangan Partai Rakyat Pakistan (PPP), partai yang berkuasa, pada Pemilu 1977, Bhutto memerintahkan penangkapan para pemimpin partai oposisi. Sekitar 350 nyawa melayang karena keputusan Bhutto itu. Ketika keadaan makin tak terkendali, Zia melancarkan kudeta. "Untuk menyelamatkan Pakistan dari perang saudara," kata Zia waktu itu. Ia kemudian memberlakukan undang-undang keadaan darurat, dan menawan Bhutto bersama semua anggota kabinetnya. Setelah merebut kekuasaan, Zia menunjuk dewan pemerintah yang beranggotakan empat jenderal, dan diketuainya sendiri, membubarkan parlemen, dan melarang seluruh kegiatan politik. Ia menjanjikan penyelenggaraan pemilu dalam tempo 90 hari. Tahanan politik rezim Bhutto dibebaskan untuk memberi kesempatan pada mereka melancarkan kampanye pemilu. Tapi, di tengah ramainya kampanye, mendadak Zia membatalkan pemilu. Alasannya, ada partai yang minta pemilu ditunda, karena khawatir Bhutto berkuasa lagi. Pemilu baru terselenggara sembilan tahun kemudian tanpa keikutsertaan unsur partai. Segera setelah menjadi orang kuat Pakistan, Zia memerintahkan pengusutan atas puluhan ribu pendukung Bhutto. Sesudah membaca laporan pengusutan, Zia sampai pada kesimpulan: Bhutto, yang dijulukinya "iblis genius", terlibat dalam serangkaian tindak pidana, seperti menyelewengkan dana pemerintah, memeras orang, menahan secara tidak sah, dan menyuruh bunuh lawan-lawan politiknya. Maka, ia langsung memerintahkan mengadili Bhutto. Tahun 1978, Pengadilan Tinggi Lahore memvonis Bhutto dan empat anak buahnya dengan hukuman gantung. Bhutto dinyatakan terbukti berkomplot merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas lawan politiknya. Sejumlah pemimpin dunia ketika itu -- di antaranya Presiden Jimmy Carter, Paus Yohanes Paulus II, dan Leonid Brezhnev -- mengimbau Zia agar membatalkan hukuman mati itu. Tapi Zia tak bergeming. Pada 4 April 1979, Bhutto menjalani hukuman di penjara Rawalpindhi. Akibat pelaksanaan hukuman gantung itu citra Zia di mata internasional ambruk. Tapi kedudukannya di dalam negeri tetap tak tergoyahkan. Citra Zia di pentas internasional berangsur pulih ketika Pakistan memutuskan untuk menampung pengungsi Afghnistan. Bantuan ekonomi dan militer mengalir kembali ke Pakistan. Tahun 1979, AS memasok paket bantuan senilai US$ 3,6 milyar untuk jangka enam tahun. Jangka bantuan kemudian diperpanjang kedua negara, dan dananya bertambah menjadi US$ 4,2 milyar. Tak cuma itu keberuntungan Zia. Pada tahun 1980-an, produksi pertanian Pakistan pun berhasil baik. Maka, sekalipun Zia, yang disumpah sebagai presiden September 1978, memerintah dengan keras, ia dianggap berhasil memajukan perekonomian negeri berpenduduk 103 juta jiwa ini. Pada 1984, Zia, melalui referendum, berhasil memperpanjang mandat sebagai presiden untuk masa lima tahun berikut. Ia lalu membawa Pakistan ke arah yang lebih Islami. Hukum Islam, seperti hukuman potong tangan kanan untuk pencuri, hukum rajam untuk pelaku zinah, dan hukuman cambuk untuk penenggak minuman keras, diberlakukan. Bank-bank Islam dibentuk. Akhir 1985, Zia mencabut UU Darurat. Pemilihan anggota parlemen diselenggarakan, dan Zia mengangkat tokoh sipil Muhammad Khan Junejo sebagai perdana menteri. Walau Zia tetap menjadi orang Nomor 1 Pakistan, langkah-langkahnya menegakkan pemerintahan sipil ini mengangkat citranya di mata dunia. Setahun kemudian Benazir Bhutto pulang dari pengasingannya di London. Ia disambut meriah jutaan pendukung PPP. Kerusuhan marak lagi. Tapi Zia berhasil meredam huru-hara yang disulut kaum oposisi itu. Setelah dua tahun pemerintahan sipil berjalan mulus, Juni lalu Perdana Menteri Junejo secara tak terduga dipecat Zia. Alasannya: pemerintahan Junejo kurang Islami. Dewan Nasional dan parlemen dibubarkan. Zia berjanji akan menyelenggarakan pemilu dalam tempo 90 hari. Mula-mula orang meragukan Zia akan melaksanakan pemilu sebagaimana dijanjikannya. Mereka baru lega setelah akhir Juli lalu Zia menetapkan 16 November sebagai hari pelaksanaan pemilu. Tapi Zia sudah menghadap Ilahi sebelum saat pelaksanaan pemilu tiba. Banyak segi positif yang bisa dikenang dari Zia -- yang mengaku "lebih senang main golf daripada memerintah Pakistan". Dialah orang kuat pertama yang tak menempati istana kediaman presiden. Zia sampai akhir hayatnya tinggal di sebuah rumah sederhana di kota militer Rawalpindhi. FS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus