Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Teledor Sebelum Maut

Pn jakarta selatan menghukum 4 petugas pjka yang dianggap lalai hingga mengakibatkan tabrakan ka 225 dengan ka 220 di desa pondok betung, bintaro, jakarta selatan. disimpulkan tabrakan itu tidak sengaja.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPAKAH yang bersalah jika dua kereta api bertabrakan, dan lebih dari 100 orang mati? Tak mudah menjawab pertanyaan ini. Tapi pertanyaan itulah yang terbit dari tragedi kereta api terbesar dalam sejarah Indonesia di tahun lalu itu. Ketika masalah muskil itu dibawa ke pengadilan, mahkamah tampaknya berusaha adil tapi juga berbelas kasihan. Yang paling menarik adalah vonisnya pckan lalu terhadap masinis yang menyebabkan kecelakaan mengerikan itu. Laki-laki itu, Slamet Suradio, dalam usia 52 tahun, sudah berantakan tubuhnya. Kaki kanannya patah, satu engsel pinggulnya lepas. Ia, masinis KA 225, yang Oktober tahun lalu bertabrakan dengan KA 220 di Desa Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, diputuskan untuk meringkuk lima tahun dipenjara. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman 14 tahun. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, majelis hakim memang berkesimpulan terdakwa tidak sengaja menabrakkan kereta seperti tuduhan jaksa. Tapi musibah itu akibat kelalaiannya, padahal ia sudah bekerja selama 24 tahun. Dari pengadilan terungkap bahwa ia, di hari nahas itu, memberangkatkan kereta dari stasiun Sudimara, Tangerang, tanpa prosedur yang lazim. Ia merasa yakin melihat "semboyan 40" yang diacungkan pemimpin perjalanan kereta api yang bertugas waktu itu, Jamhari. Slamet juga merasa mendengar "semboyan 41" yakni dua nada peluit yang ditiup Kondektur Adung Sapei. Tapi banyak dari 30 saksi tidak melihat eblek dan mendengar peluit yang menurut Slamet didengarnya itu. Dalam rekonstruksi, majelis hakim yang berada di posisi Slamet tak bisa mengenali Jamhari yang berdiri di posisinya tahun lalu. Sebab jaraknya cukup jauh, lagi pula kabin Slamet ketika itu penuh penumpang. Sementara itu, Jamhari sendiri, ketika itu, masih di kantornya. Tapi majelis juga menyimpulkan tragedi itu bukan semata kelalaian Slamet. Masyarakat yang suka memaksa masuk ke gerbong yang sudah berjubel juga bersalah. Pemerintah, dalam hal ini PJKA, juga dipersalahkan karena tak menyediakan sarana transportasi yang cukup, dan tak menyediakan alat komunikasi untuk menghubungkan stasiun dengan kereta yang lagi jalan. Tapi, seperti halnya masyarakat yang suka berjubel itu, pihak PJKA agaknya tak bakal dituntut. Tak seorang pun dari para hakim, Jaksa, dan penasihat hukum berkomentar ketika ditanya mengenai kemungkinan ini. Yang jelas, Slamet beserta tiga rekannya yang harus menerima nasib buruk. Terdakwa lainnya adalah Jamhari, 44 tahun, pemimpin perjalanan kereta api dari stasiun Sudimara. Ia dihukum 10 bulan. Ia dipersalahkan menulis "memo pemindahan tempat persilangan" sebelum menerima "warta aman" dari stasiun Kebayoran Lama. Pemindahan persilangan biasanya dilakukan di Sudimara. Tapi ketika itu semua jalur di Sudimara sudah penuh oleh gerbong Indocement. Itulah sebabnya Jamhari menelepon Mad Ali -- petugas di Kebayoran Lama -- minta agar KA 225 yang dimasinisi Slamet dan akan berangkat dari Sudimara dipindahkan persilangannya setelah tiba di Kebayoran Lama. Di sinilah terjadi kesalahpahaman. Mad Ali menjawab permintaan Jamhari dengan gaya Adam Malik, "Bisa diatur". Jamhari pun, di stasiun Sudimara, menyangka jalan sudah siap dipakai, -- dan ia pun menulis memo pemindahan tempat persilangan untuk KA 225. Karena memo itulah Slamet, di atas KA 225 yang menunggu di Sudimara itu, mengira rel sepanjang Sudimara -- Kebayoran Lama aman. Ia berangkat. Jamhari, ketika melihat kereta itu sudah mulai bergerak, segera berlari dan menaik-turunkan sinyal. Tapi Slamet terus melaju. Di peron Kebayoran Lama, Umriyadi, 26 tahun, pemimpin perjalanan kereta api stasiun itu, juga sial. Ia menggantikan Mad Ali, tapi rupanya Mad Ali lupa memberi tahu bahwa KA 225 akan lebih dahulu menggunakan jalur sementara KA 220 terlambat. Ia memerintahkan KA 220 berangkat. Padahal, ia sebenarnya belum menerima "warta aman" dari Sudimara. Menurut hakim, Umriyadi lalai memastikan apakah keadaan benar-benar aman. Ia dihukum 10 bulan tapi segera bebas, karena sudah ditahan 10 bulan. Adapun kondektur KA 225, Adung Sapei, 55 tahun, diganjar setahun penjara. Ia dituduh tak membatasi jumlah penumpang yang berjubel sampai lebih dari 1.000 orang. Lebih dari itu, ia sebenarnya melihat mulai kereta berangkat padahal belum ada semboyan. Ia bahkan langsung ikut berangkat. Adung Sapei membantah bahwa ia tak berusaha menghentikan kereta. Ia mengatakan bahwa dari gerbong belakang ia berusaha menembus jubelan penumpang. Tapi sebelum tiba di kabin Slamet, di depan itu, sekitar 100 meter di depan loko, sudah nampak KA 220. Tak sempat menemui masinis, lelaki tua yang sudah 30 tahun mengabdi di PJKA -- dan sudah pensiun Januari lalu itu -- buru-buru menarik rem. Sia-sia. Dan malapetaka itu tak terelakkan. Kematian yang mengerikan dan dalam jumlah besar pun terjadi. Pertanyaannya kemudian mungkin bukanlah siapa yang bersalah, melainkan kenapa itu semua bisa terjadi. Malapetaka di Bintaro itu -- dan juga hukuman yang dijatuhkan oleh mahkamah -- barangkali akan jadi pelajaran baik tentang akibat keteledoran yang tampaknya sepele. Terutama pelajaran buat PJKA. Budiman S. Hartoyo, Ahmadie Thaha, Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus