Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rajam di Negeri Darussalam

Undang-undang baru Brunei Darussalam bisa menghukum rajam pelaku zina dan homoseksual. Memicu kecaman internasional dan pemboikotan.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perayaan ulang tahun ke-62 Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah di Bandar Seri Begawan, Juli 2018./ REUTERS/Bazuki Muhammad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecaman internasional dan gerakan boikot tak menghentikan langkah Brunei Darussalam menerapkan syariat Islam. Dengan undang-undang baru ini, para pelaku hubungan di luar nikah dan mereka yang menjalin hubungan sesama jenis bisa dihukum rajam sampai mati. Menurut CNN, kerajaan berpenduduk 420 ribu jiwa yang dipimpin Sultan Hassanal Bolkiah ini menjadi negara Asia Timur pertama yang memperkenalkan hukum syariah di tingkat nasional.

Nyaris tak ada protes dari dalam Brunei. Menurut Koordinator ASEAN Sexual Orientation and Gender Identity and Expression (SOGIE) Caucus Ryan Selviro, pemberlakuan hukum ini menimbulkan ketakutan bagi komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ). “Banyaknya kecemasan mendorong mereka diam soal ini,” katanya kepada Tempo, Kamis, 4 April lalu.

Kecaman berdatangan dari dunia internasional. “Di bawah hukum internasional, melempari orang dengan batu sampai mati adalah penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan dengan demikian jelas dilarang,” ucap juru bicara Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rupert Colville, dalam jumpa pers di Jenewa, Swiss, akhir Maret lalu.

Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch (HRW) untuk Asia, meminta Sultan Bolkiah “segera menangguhkan amputasi, hukum rajam, dan semua ketentuan serta hukuman lain yang melanggar hak asasi “. Ryan Selviro menambahkan, “Brunei perlu memikirkan kembali undang-undang ini dengan serius. Dengan menegakkannya, mereka akan makin menormalkan kekerasan negara dan kebencian terhadap mereka yang dianggap sebagai minoritas.”

Menurut HRW, Sultan Bolkiah pertama kali resmi menerbitkan Hukum Pidana Syariah pada Oktober 2013. Saat itu pemerintah menyatakan akan menerapkan undang-undang baru tersebut dalam tiga tahap. Fase pertama mencakup aturan tentang sejumlah perbuatan yang dapat dihukum dengan denda atau hukuman penjara pada April 2014. Fase kedua dan ketiga diperkenalkan kemudian selama dua tahun ke depan, yang meliputi ketentuan tentang hukuman seperti amputasi, pencambukan, atau rajam sampai mati. Pengumuman ini memicu protes internasional yang membuat Brunei merevisi sejumlah pasal dan menunda pelaksanaannya.

Sebelum diperkenalkannya undang-undang syariat Islam ini, homoseksualitas dapat dipidana dengan hukuman penjara hingga 10 tahun. Selviro tidak memiliki data rinci jumlah pelaku homoseksual yang dihukum di Brunei. Namun ia ingat ada peristiwa pada 2015 yang melibatkan seorang warga Brunei yang diadili karena mengenakan pakaian wanita. Orang itu dihukum membayar denda lumayan besar. Pasal 198 hukum syariah melarang pria mengenakan pakaian wanita.

Menurut CNN, Brunei mengumumkan melalui situs Kejaksaan Agung pada 29 Desember 2018 bahwa undang-undang syariat Islam akan berlaku mulai 3 April 2019. Dalam pengumuman tersebut dikatakan Sultan “tidak berharap orang lain menerima dan setuju terhadap hukum itu, tapi cukup jika mereka menghormati bangsa ini dengan cara negara ini menghormati mereka”.

Pada 30 Maret lalu, Kantor Perdana Menteri mengeluarkan pernyataan bahwa undang-undang tersebut bertujuan “menghormati dan melindungi hak-hak sah semua individu”. Menurut mereka, tudingan pihak luar bahwa hukuman ini kejam tidak berdasar.

Aturan syariah ini juga akan menjatuhkan hukuman, termasuk rajam, cambuk, dan penjara, kepada anak-anak yang telah memasuki masa puber atau akil balig. Anak-anak yang dianggap cukup umur, sekitar tujuh tahun, bisa dihukum antara lain dengan dicambuk.

Hukum ini tak hanya berlaku bagi orang Islam, tapi juga untuk nonmuslim. Dalam pasal tentang zina, misalnya, hukuman berlaku bagi pasangan muslim dan nonmuslim. Selain itu, ada larangan mengkonsumsi makanan dan minuman atau merokok sebelum matahari terbenam selama Ramadan.

HRW menilai hukum syariah itu tak sesuai dengan hak asasi manusia internasional, termasuk hak untuk hidup bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk lain. Komisi Hak Asasi Manusia PBB menggariskan, dalam keadaan apa pun, hukuman mati tidak bisa diterapkan sebagai sanksi atas perilaku yang dilindungi hukum internasional.

Selain kecaman, ada seruan boikot terhadap Brunei dan properti milik Sultan Bolkiah. Aktor Hollywood, George Clooney, salah satu yang aktif menggalang gerakan boikot terhadap hotel-hotel Brunei. “Setiap kali tinggal atau mengadakan pertemuan atau makan di satu dari sembilan hotel ini, kita memasukkan uang langsung ke kantong orang-orang yang memilih melempar batu dan mencambuk warga mereka sendiri karena menjadi gay atau dituduh berzina,” tulis Clooney.

Selebritas lain yang mengecam dan menyerukan pemboikotan adalah penyanyi Elton John dan komedian Ellen DeGeneres. Ada sembilan hotel yang dicantumkan untuk diboikot karena Sultan Bolkiah disebut punya saham di dalamnya. Hotel itu adalah The Dorchester, 45 Park Lane, dan Coworth Park di London, Inggris; Beverly Hills Hotel dan Hotel Bel-Air di Los Angeles, Amerika Serikat; Le Meurice dan Hotel Plaza Athénee di Paris, Prancis; serta Hotel Eden di Roma dan Hotel Principe di Milan, Italia.

Menurut New York Times, ketika seruan boikot itu meluas, Beverly Hills Hotel, yang dikelola Dorchester, terkena dampaknya. Sultan disebut memiliki saham di hotel itu melalui Badan Investasi Brunei. Christopher-  Cowdray, eksekutif Dorchester di London, menyebutkan seruan itu memelorotkan pendapatan perusahaan ini sampai sekitar US$ 2 juta. Pembatalan menginap di hotel itu menyumbang hampir semua penurunan tersebut.

Tak semua setuju terhadap langkah boikot itu. Misalnya The Brunei Project, prakarsa berbasis media sosial yang mengangkat kesadaran mengenai hak asasi manusia di Brunei sejak 2015. “The Brunei Project saat ini tidak mendukung boikot terhadap bisnis milik Brunei dan kami tidak percaya pendekatan seperti itu akan produktif,” tulis kelompok tersebut di akun Facebook. Namun kelompok itu menggarisbawahi dukungannya terhadap upaya dialog untuk mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai “hukum yang menjijikkan”, termasuk penggunaan penyiksaan.

Bagi kelompok LGBTQ, hukum baru ini membuat mereka bertambah takut. “Tinggal di Brunei, kami sudah tahu bahwa identitas seksual kami adalah tabu dan tidak boleh diungkap. Kami sudah merasa diabaikan sebelum hukum diberlakukan,” tutur seorang anggota komunitas LGBTQ berusia 23 tahun kepada media Australia, CBS. “Dengan undang-undang baru ini, mereka berpotensi lebih menindas dan melecehkan kami.”

Menurut Ryan Selviro, berita tentang pemberlakuan hukum syariah ini menimbulkan ketakutan, termasuk bagi kontak SOGIE Caucus di Brunei. Sejauh ini, sejak Rabu, 3 April lalu, memang belum ada laporan tentang penangkapan kaum LGBTQ. “Yang membuat kami khawatir adalah hukum syariah Brunei bisa digunakan sebagai model, dipuji kelompok-kelompok ekstremis untuk meningkatkan seruan mereka terhadap implementasi syariah yang lebih keras,” ucapnya.

Kekhawatiran Selviro bukan tidak beralasan. SOGIE Caucus telah menghubungi orang-orang LGBTQ dari Bangsamoro di Mindanao, Filipina. Dengan Undang-Undang Bangsamoro yang baru, ada kemungkinan hukum syariat Islam akan ditegakkan di sana. “Bagi Brunei, pemerintah harus hidup sesuai dengan nama negara itu, Darussalam, ‘negeri yang damai’. Damai bukan berarti orang takut berbicara dan menjadi diri mereka sendiri, tapi perdamaian yang memungkinkan setiap orang, termasuk kelompok-kelompok yang terpinggirkan, diperlakukan dengan hormat dan bermartabat,” katanya.

ABDUL MANAN (CNN, CBS, NEW YORK TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus