ARGENTINA diguncang demonstrasi. Lebih dari 100.000 penduduk
kembali memilih pentas Plaza de Mayo, terletak di tengah Kota
Buenos Aires, tempat mengungkapkan isi hati mereka. Demonstran
yang terdiri dari kaum buruh, mahasiswa, dan janda itu, dikenal
dengan julukan Barisan Demokrasi, menuntut agar rezim militer
yang memerintah mengundurkan diri. "Hai, diktator, rakyat telah
muak melihat tampang kalian," teriak para demonstran ketika
melewati Casa Rossada, istana kediaman Presiden Jenderal
Reynaido Bignonc, pekan lalu.
Demonstran yang diatur oleh gerakan multipartai itu -- pendukung
utamanya kelompok Peronis, Partai Radikal, dan Kristen Demokrat
-- menuntut Bignone dan rekan-rekannya mundur. Alasannya: mereka
dianggap gagal memulihkan keadaan politik dan ekonomi
sebagaimana yang dijanjikan waktu pelantikan dulu, Juni.
Sejak Bignone mengambil alih tampuk pemerintahan dari Leopoldo
Galtieri, seusai Perang Malvinas, keadaan di Argentina memang
makin suram. Situasi konomi: inflasi mencapai 200%, angka
pengangguran 20% dan utang tercatat US$ 40 milyar.
BELUM lagi kecemasan akibat resesi yang memukul hebat industri
dalam negeri dari negara yang berpenduduk 26 juta itu. Terakhir
dikabarkan pabrik cuma berproduksi separuh dari kapasitas.
"Belum pernah keadaan ekonomi Argentina seburuk sekarang," kata
ahli ekonomi terkemuka Diego Estevez.
Tentang keadaan politik dilaporkan bahwa penangkapan terhadap
kaum pria oleh orang-orang bersenjata masih pula berlangsung
terus. Tempo enam bulan terakhir diperkirakan lebih dari 1.000
wanita kehilangan anak maupun suami. Total penculikan selama
enam tahun junta militer berkuasa, menurut lembaga hak-hak asasi
di Argentina, hampir 30. 000 orang.
Unjuk perasaan 100.000 demonstran, jumlah terbesar sejak militer
masuk Istana Casa Rossada, pekan silam, disambut tentara dan
polisi antihuru-hara dengan pentungan, gas air mata, dan peluru
tajam. Seorang demonstran dilaporkan mati ditembak oleh seorang
berpakaian preman yang turun dari kendaraan yang biasa dipakai
polisi sedan Ford Falcon.
Yang luka-luka tercatat 65 orang-separuh di antaranya alat
negara. Saksi matat menuturkan tembakan mulai dilepaskan ketika
demonstran meneriakkan slogan antirezim militer dan melempari
Casa Rossada. "Para pengkhianat mengapa waktu melawan Inggris
kalian tidak bertempur seperti sekarang," pekik demonstran.
Bignone selepas menerima delegasi demonstran di Casa Rossada
menjanjikan akan mengembalikan pemerintahan ke tangan sipil
sekitar Maret 1984 -- lima tahun mundur dari tuntutan
demonstran. Tuntutan yang tak berjawab soal pembebasan tahanan
politik, per baikan kebijaksanaan ekonomi, dan siapa yang
bertanggung jawab atas kekalahan Argentina dalam Perang
Malvinas.
Citra militer di Argentina mulai Jenderal Rafael Videla menghuni
Casa Rossada tak pernah elok lagi. Penangkapan terhadap rakyat
sering terjadi. Korupsi merajalela. Contoh: bekas Presiden
Leopoldo Galtieri yang berkuasa selama enam bulan dikabarkan
punya simpanan sekitar US$ 100 juta di Swiss. Tentang kekayaan
Videla, Roberto Viola, dan Bignone, tak terungkap.
Gambaran tentang pemerintahan junta sempat berubah selama 74
hari tatkala Galtieri memutuskan untuk menyerbu dan menduduki
Malvinas, awal April. Dan ia mendadak dianggap pahlawan bangsa.
Jutaan orang waktu itu turun ke jalan menyanjung nama Galtieri.
Konon cuma mendiang Presiden Juan Peron yang mampu mengalahkan
popularitasnya.
Tapi selang tiga bulan kemudian, tak lama sesudah tentara
Argentina terpaksa mengibarkan bendera putih di Malvinas,
oposisi terhadap kaum militer kembali menghebat. Apalagi
Bignone, pengganti Galtieri, banyak mengumbar janji.
Tak heran hampir semua pihak menentang rezim Bignone--mulai dari
partai politik, serikat buruh, mahasiswa, pers, kaum ibu yang
kehilangan anak dan suami, bahkan belakangan juga Gereja
Katolik. Seorang diplomat Barat di Buenos-Aires minggu lampau
meramalkan pemerintahan militer di Argentina tak akan bertahan
lebih lama lagi. "Wibawa mereka sudah jatuh di mata rakyat,"
katanya. Ia memberi ancar-ancar perubahan bakal terjadi sebelum
pertengahan 1983.
Untuk mencari pengganti Bignone dari kalangan sipil tampak tak
mudah pula. Kelompok Peronis, organisasi politik terbesar di
Argentina, yang menguasai serikat buruh kelihatan tak punya
kandidat kuat. Satu-satunya calon yang diunggulkan mereka adalah
bekas Presiden Isabel, istri kedua mendiang Peron, yang
digulingkan Jenderal Videla. Isabel, kini hidup dalam
pengasingan di Spanyol, dikabarkan berminat sekali untuk kembali
ke Casa Rossada.
Kekurangan Isabel: ia tak begitu populer di kelompok politik
lain. Ia kalah pamor, misalnya, dibanding Ketua Partai Radikal
Raul Alfonsin--dalam demonstrasi di Plazade Mayo menurunkan kan
30.000 pengikut. "Negeri kami sekarang dalam keadaan
menyedihkan. Tak seorang pun yang bisa menduga apa yang akan
terjadi esok," kata penyair Argentina terkenal Jorge Luis
Borges.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini