Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPANGAN parkir Shippensburg University, Pennsylvania, Amerika Serikat, lengang saat Kazim Ali melangkah ke mobil Beetle putihnya. Dosen bahasa Inggris dan penulisan kreatif ini mengambil satu kardus kertas dari kursi depan dan membuangnya ke tong sampah. Itu tumpukan puisi yang sudah dinilainya untuk keperluan sebuah lomba.
Selama ini, Ali, 32 tahun, memang kerap membuang kertas-kertas bekas di kotak sampah daur ulang ketimbang menimbunnya. Namun, siapa sangka, tiga pekan lalu, rutinitas itu malah membuat Ali dituduh teroris.
Gara-garanya, seorang anggota ROTC (Korps Pendidikan Perwira Cadangan) menelepon polisi. Ia melapor bahwa ada ”seorang pria Timur Tengah dengan mobil tanpa stiker parkir kampus menaruh benda mencurigakan di tempat sampah”. Sesaat kemudian, tim penjinak bom datang. Kampus dikosongkan. Mahasiswa dievakuasi. Ali pun ditangkap.
Padahal, pengaduan telepon itu sepenuhnya salah. Di mobil Ali jelas-jelas ada stiker parkir kampus yang bersanding dengan gambar tempel ”Kerry/Edwards: For a Stronger America”. Alumnus Program Penulisan Kreatif
New York University ini juga bukan berasal dari Timur Tengah sebagaimana dilaporkan via telepon itu. Ia orang India yang lahir dan besar di Amerika.
Di tengah keramaian itu, seorang rekan Ali mendekati polisi dan menjelaskan bahwa Ali adalah dosen di kampus itu. Polisi malah membentak dan menyuruh sang kolega mundur kalau tak mau tersangkut dengan tersangka teroris. Setelah adu argumen, Ali akhirnya dihubungkan via telepon ke Presiden Universitas.
Setelah menjelaskan perkara sebenarnya, sang sastrawan yang produktif menulis novel, esai, dan puisi ini pun dibebaskan. ”Saya jadi korban karena saya muslim dan berwajah Timur Tengah,” keluh penulis yang buku puisinya, Far Mosque, mendapat penghargaan Alice James Books’ New England/New York Award 2005.
Peledakan gedung World Trade Center memang sudah enam tahun berlalu. Walau demikian, warga muslim Amerika masih sering menerima perlakuan tak menyenangkan: diskriminasi, pelecehan, hingga penyerangan. Minggu lalu, enam imam dari CAIR (Lembaga Hubungan Amerika-Islam) di Washington DC menerima ancaman pembunuhan lewat surat. Dialamatkan ke pengacara CAIR, Omar T. Mohammedi, surat itu berbunyi: ”Kami tahu tempat tinggal kalian dan seluruh anggota keluarga…. Kami akan membunuh Anda semua secara sistematis. Teroris macam kalian harus mengerti arti teror yang sebenarnya.”Lain lagi ancaman yang diterima Motaz Elshafi, 28 tahun. Beberapa hari setelah bom kereta api meledak di India dan menewaskan 207 orang, teknisi perangkat lunak yang bekerja di Cisco System, Research Triangle Park, New York City, ini mendapat surat elektronik dari rekan sekantor yang berisi makian.
Elshafi termasuk ”beruntung”. Perusahaan tempatnya bekerja menindak serius kejadian ini dengan memberi sanksi kepada si pengirim surel. ”Cisco tak mentoleransi penyerangan dalam bentuk apa pun kepada siapa pun di sini,” kata salah satu bos, Robyn Jenkins Blum. Elshafi berani melapor karena rekan-rekan kerjanya yang bukan muslim memberi dukungan penuh pada pria yang rajin salat ini. ”Don’t worry, kami di belakangmu,” kata mereka.
Ini berbeda dengan perlakuan terhadap Kazim Ali. Tak ada permohonan maaf dari polisi maupun universitas. Mereka juga enggan mengakui insiden salah tangkap ini kepada publik. Sebab itu, Kazim Ali lantas berkeluh kesah ihwal diskriminasi ini di situs pribadinya.
Bukan hanya orang dewasa, bocah-bocah muslim juga merasakan diskriminasi dan pelecehan. Seorang siswa SMP di Seattle High School dihajar teman-temannya hingga mengalami perdarahan di mata dan dadanya memar. Para penyerang sudah dikenai hukuman kriminal. Namun, bocah asal Afganistan yang sudah empat tahun bermukim di Amerika ini trauma dan tak berani kembali ke sekolah.
Kaum wanita tak luput dari diskriminasi. Jafumba Asad, 32 tahun, hampir tiap hari mendapat perlakuan buruk. Guru di sekolah komunitas di Tulsa ini tak sekadar dipelototi atau dimaki, tapi juga pernah diserang. Bahkan, saat sedang hamil tua, Asad pernah dihadang dua pria di areal parkir supermarket WalMart di dekat rumahnya ”Terkutuk, kamu seharusnya dipenjara,” kata si penyerang. Tak tahan diperlakukan begitu terus, Asad kini terpaksa menanggalkan jilbab dan jubah hitamnya.
Memang, berdasarkan data CAIR—organisasi Islam ini memiliki 32 cabang di seluruh Amerika dan Canada—semakin banyak muslim yang mengalami tindakan diskriminatif, pelecehan, dan penyerangan semacam itu. Mereka yang melapor kian bertambah setiap tahun. Dari 1019 kasus di 2003 menjadi 1972 aduan pada 2005.
Ini hanyalah puncak gunung es. Jajak pendapat yang diadakan USA Today/Gallup akhir tahun lalu menunjukkan: mayoritas responden masih diliputi prasangka terhadap umat muslim. Sebanyak 22 persen menolak bertetangga dengan orang Islam. Bahkan banyak yang mengusulkan supaya orang Islam di negeri itu memakai tanda pengenal khusus sebagai upaya ”mencegah teroris menyerang Amerika”.
Padahal, seperti dikemukakan Mona Amer, psikolog dari Yale University, ”Seperti warga yang lain, muslim Amerika juga terteror akibat peristiwa pengeboman WTC. Ketakutan mereka justru berlipat ganda karena disalahkan.”
Andari Karina Anom (CBS, USA Today, cair.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo