Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, di bawah langit musim dingin yang beku, puluhan ribu orang berkumpul di Lapangan Kim Il-sung, Pyongyang. Tentara berseragam hijau-hijau tampak mencolok, berhimpun-berbaur bersama mahasiswa dan masyarakat. Semua berbaju tebal, tangan kanan mereka mengepal di depan dada.
Dalam unjuk rasa pada Ahad dua pekan lalu yang disiarkan langsung televisi pemerintah itu, mereka meneriakkan yel-yel mengecam Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak. Mereka menuding Myung-bak pengkhianat. Demonstrasi raksasa ini pun berakhir dengan sebuah dukungan massal untuk penguasa saat ini: "Mari lindungi Pemimpin Agung Kim Jong-un".
Korea Utara meradang karena Korea Selatan tak mau mendengar peringatan Pyongyang, karena tetap melanjutkan latihan perangnya dengan Amerika Serikat. Kalau sudah begini, hanya ada satu kata yang tepat untuk melukiskannya: provokasi. Baru saja seminggu lalu Korea Utara mengizinkan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mengunjungi reaktor nuklir Yongbyon—di mata negara-negara Barat inilah reaktor tempat pengayaan nuklir—keduanya sudah menguji kesabaran tetangganya.
Memang, sebagai imbalan atas kesediaan Korea Utara membuka diri ini, Amerika akan memberikan bantuan makanan. Tapi bukankah latihan ini justru menunjukkan "pelecehan" Amerika terhadap kesepakatan itu?
Hari itu, 1,7 juta pemuda Korea Utara mendaftar masuk militer, siap dikirim ke medan perang melawan Korea Selatan. Dalam sebuah jumpa pers yang jarang terjadi di Istana Kebudayaan Rakyat di Pyongyang, Komisi Pertahanan Nasional mendesak Amerika menghentikan latihan perangnya itu karena bisa mengancam kelangsungan perundingan damai.
Menurut komisi itu, perundingan tak selaras dengan latihan perang. "Kami tak bisa dibodohi oleh taktik Amerika yang bermuka dua, mendukung dialog tapi juga menyerang rekan dialognya dari belakang dengan aksi militer," kata Mayor Jenderal Kwak Chol-hui, Wakil Direktur Divisi Kebijakan Komisi Pertahanan Nasional, lembaga pemerintah terkuat di Korea Utara sekarang. Orang banyak juga menanggapi masa depan perundingan dengan skeptis. "Saya mendengar kabar itu, tapi saya tidak begitu tertarik. Saya tidak percaya kepada Amerika," kata Jong Yun-hui, 43 tahun, perempuan penduduk Pyongyang.
Namun kenyataan tak selalu seiring-sejalan dengan idealisme. Korea Utara membutuhkan kesepakatan itu untuk mengatasi kekurangan pangan. Sekelompok pakar nutrisi dari Program Pangan Dunia (WFP) dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyatakan negara itu sedang menghadapi bencana kelaparan. Mereka mendesak bantuan makanan segera dikirim ke negara yang terisolasi itu.
Beberapa bulan sebelum kematian Kim Jong-il, tim WFP menemukan kenyataan memilukan: stok pangan pemerintah nyaris kosong. Ransum gandum untuk tiap penduduk hanya 150 gram per hari. "Itu kira-kira setara dengan sebutir kentang," kata David Austin, Direktur Program Mercy Corps untuk Korea Utara, yang ikut dalam tim.
Sebuah foto yang dirilis sejumlah media pada Desember tahun lalu memperlihatkan seorang bocah lelaki terbaring tak berdaya, dengan jarum infus di kepala, di sebuah rumah sakit di Kota Haeju, Provinsi Hwanghae Selatan. WFP menyatakan jutaan anak di negeri itu menderita kekurangan nutrisi akut dan enam juta orang membutuhkan bantuan makanan.
Dalam perundingan di Beijing dua pekan lalu, Amerika setuju menyediakan bantuan 240 ribu ton biskuit berprotein tinggi dan vitamin selama setahun. Bantuan itu diutamakan untuk perempuan hamil dan menyusui, anak-anak, serta pasien rumah sakit. Menurut Austin, tim investigasi melihat adanya malnutrisi kronis yang meluas dan malnutrisi akut yang menjadi penyebab utama kematian di sana.
Lebih dari 50 persen penduduk bergantung pada gandum yang disediakan pemerintah. Ketika bantuan gandum tak kunjung tiba, mereka terpaksa mencari makanan pengganti, seperti kulit pohon, rumput liar, dan dedaunan. Mereka mencampurnya dengan makanan lain. "Kami tidak melihat adanya kandungan protein atau lemak dalam makanan mereka," tutur Austin.
Menurut juru bicara pemerintah Amerika Serikat, Victoria Nuland, kedua belah pihak masih membicarakan pengawasan bantuan agar tak jatuh ke tangan orang-orang yang tak berhak. Kesepakatan itu merupakan langkah besar bagi Jong-un, yang menggantikan mendiang ayahnya pada akhir Desember lalu.
Amerika khawatir, Korea Utara diam-diam melanjutkan program nuklirnya di Yongbyon. Dari foto terbaru yang dirilis Institut Sains dan Keamanan Internasional (ISIS) pada Rabu pekan lalu, terungkap ada perkembangan pesat dalam pembangunan reaktor itu. Dalam foto terbaru yang diambil oleh satelit komersial pada 3 Februari lalu itu, terlihat turbin reaktor sudah kelar dibangun.
Pyongyang mengklaim reaktor itu akan menghasilkan uranium berkadar rendah untuk pembangkit listrik. Korea Utara pernah memperlihatkan reaktor itu kepada dua orang akademisi Amerika, Siegfried Hecker dan Robert Carlin, yang menyambangi Yongbyon pada November 2010. "Meski hanya memproduksi uranium berkadar rendah, reaktor itu bisa memproduksi uranium berkadar tinggi untuk bahan bakar bom," tulis mereka kemudian dalam Bulletin of the Atomic Scientists edisi 6 Januari 2012.
Mereka menyatakan, bila dirancang untuk pengayaan nuklir, reaktor itu harus menghasilkan 40 kilogram uranium berkadar tinggi per tahun agar cukup untuk membuat satu-dua bom. "Kunjungan IAEA dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini." Korea Utara ingin melengkapi reaktor itu pada tahun ini. Namun, menurut Hecker dan Carlin, konstruksi dan pemasangan komponen di bagian dalam reaktor membutuhkan waktu hingga dua tahun lagi.
Menurut sejumlah analis, kesepakatan itu hanya taktik Korea Utara untuk mengulur waktu. Sebab, hingga kini tidak ada tanda-tanda Pyongyang bakal meninggalkan program nuklirnya. Namun Peter Beck, perwakilan Asia Foundation di Korea, beranggapan bahwa Washington dan Pyongyang sama-sama bersikap pragmatis.
Profesor Yang Moo-jin dari Studi Korea Utara Universitas Seoul mengatakan kesepakatan inilah yang terbaik saat ini. Presiden Amerika Barack Obama membutuhkan berita baik dari Pyongyang untuk menghadapi pemilu pada 6 November nanti, sedangkan Korea Utara membutuhkan banyak makanan untuk perayaan ulang tahun ke-100 Kim Il-sung bulan depan.
"Bagi Amerika, kesepakatan ini menjadi dasar untuk mengontrol sementara persoalan nuklir Korea Utara," ujarnya. "Bagi Jong-un, dia mendapat keuntungan bantuan pangan." Dan Korea Utara tak punya banyak pilihan. Pengamat ekonomi-politik Asia-Pasifik, William Pesek, mengatakan Cina mulai lelah dengan dinasti Kim, sedangkan Rusia sibuk khawatir akan aksi unjuk rasa melawan Vladimir Putin.
Bahkan revolusi di sejumlah negara Arab juga membuat Jong-un khawatir. Pyongyang pernah mengimbau pekerja asal Korea Utara di Libya tidak pulang ketika rezim Muammar Qadhafi tengah digoyang. Pyongyang cemas mereka akan menularkan semangat revolusi di kampung halamannya.
Sapto Yunus (Reuters, Ap, The Guardian, Bloomberg, The China Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo