KONPERENSI Istimewa PKC (Partai Komunis Cina) tampaknya berakhir dalam sebuah antiklimaks, awal pekan ini. Ada kesan, orang kuat Deng Xiaoping tidak menggondol kemenangan mutlak, karena regenerasi yang diperjuangkan-nya agak meleset dari sasaran. Kritik keras Chen Yun dan dominasi angkatan sepuh di Politbiro bisa dijadikan alasan kuat untuk mempercayai kegagalan Deng. Tapi sebelum sampai pada kesimpulan akhir, ada dua hal yang mesti ikut diperhitungkan. Pertama, posisi angkatan II dan III di Komite Sentral ternyata lebih mantap. Dari 210 anggotanya, 64 tercatat sebagai anggota baru yang menyuarakan prinsip-prinsip Deng. Hanya saja belum bisa dipastikan apakah mayoritas Komite Sentral memihak Deng, apalagi jika diingat bahwa di situ ada seorang tokoh bernama Ye Xuanping. Ia adalah putra Marsekal Ye Jianying, seorang Maois yang baru saja mengundurkan diri dari Komite Tetap Politbiro. Hal kedua, yang lebih sulit disidik, ialah mundurnya sejumlah tokoh militer secara sukarela, baik dari Politbiro maupun dari Komite Sentral. Ada apa sebenarnya? Tiga perwira sepuh: Marsekal Ye Jianying, 80 Nie Rongzhen, 86, bekas kepala proyek bom atom, bom zat air, dan satelit buatan RRC serta Xu Xianggian, 83, pendiri kowilhan ke-4, memang layak mundur karena usia mereka sudah sangat lanjut. Marsekal Ye Jianying misalnya, sudah lama sakit-sakitan. Yang mesti dipersoalkan ialah mengapa Li Desheng, 69, bekas panglima Divisi Besar Shenyang dan Zhang Tingfa, 68, bekas kastaf angkatan udara, juga mundur teratur? Bukankah yang disebut terakhir pernah dicalonkan untuk jabatan menhan? Apakah semata-mata karena solider? Harus diakui, keanehan ini merupakan bagian gelap dari strategi Deng yang tidak bisa ditafsirkan sembarangan. Penggusuran dua tokoh penting militer tidak mungkin bisa terjadi begitu mulus kalau saja tidak ada kekuatan lebih hebat di luar mereka, yang mampu melenturkan kelompok baju hijau secara halus. Kuat dugaan, kekuatan yang lebih hebat itu terkumpul pada Deng Xiaoping, yang sebelumnya memang berhasil menciutkan angkatan bersenjata RRC dari 3,4 menjadi 2,4 juta orang. Namun, tidak seperti Mao Zedong, Deng tidak memerlukan satu Revolusi Kebudayaan untuk melikuidasikan lawan-lawannya. Bagi Deng, yang penting pihak militer tidak mengultuskan pemimpin (dalam hal ini Mao) dan, sesuai dengan statusnya, berkiblat 100% pada negara. Usaha meluruskan orientasi militer itu ternyata diprioritaskan oleh Deng ketimbang usaha membersihkan Politbiro, misalnya. Karena itu, ia lebih suka melihat Li Desheng mundur lebih dulu, dan untuk sementara membiarkan Chen Yun melancarkan kecaman berbisa ke arahnya. Seorang pengamat Barat secara lebih tajam memastikan bahwa pengunduran tokoh-tokoh militer dengan sendirinya memperkecil peran politik angkatan bersenjata. Pada gilirannya, hal ini akan melicinkan jalan ke arah reformasi yang dicita-citakan Deng. Sekalipun begitu, banyak pengamat cenderung menyatakan bahwa manuver Deng kali ini kurang berhasil, sedangkan pergeseran di kalangan militer tidak diperhitungkan mereka. Mereka tentu saja punya beberapa alasan. Kebijaksanaan ekonomi Deng dinilai serba tanggung, lalu eksperimen daerah ekonomi bebas, misalnya, juga kurang meyakinkan. Pada tingkat tertentu, Deng tampak seperti mencoba-coba, persis seperti yang dilakukan Mao Zedong dengan komunenya. Pada saat bersamaan, buku-buku yang memuat teori Marx diterbitkan kembali, hingga timbul pertanyaan: "Mau ke mana Cina?" Pertanyaan bernada sama dilontarkan Chen Yun dalam Konperensi Istimewa PKC. Dalam kritik ia tidak segan-segan mengutip Mao Zedong. Diingatkannya, "Negara kita ini negara komunis, karena itu perencanaan terpusat tetaplah menjadi tiang utama ekonomi, bukannya hukum pasar yang secara membabi buta membiarkan permintaan dan penawaran menentukan segalanya." Chen juga menyesalkan peran dan wewenang departemen propagan-da dan ideologi PKC telah diperkecil. Justru karena itu, menurut Chen, spekulasi dan praktek suap menjadi-jadi, belum terhitung perbuatan tak senonoh lainnya. "Dalam upaya mengejar kepentingan pribadi, mereka menempatkan uang di atas kepentingan bangsa dan negara," katanya berapi-api. Kepada tokoh muda di Komite Sentral ia menyerukan agar mengikuti prinsip-prinsip Marxis yang mengutamakan sentralisme demokratik. Siapa Chen Yun? Seperti Deng Xiaoping, ia juga korban Revolusi Kebudayaan. Dalam kehidupan sehari-hari ia tidak memusuhi Deng, tapi kenyataan ini tidak mencegah Chen mengecam orang kuat Cina itu secara terang-terangan. Protes dan kritiknya diberitakan luas di media massa, sementara Deng Xiaoping tidak berusaha menanggapi. Adalah PM Zhao Ziyang yang akhirnya maju, menampung amarah Chen secara hatl-hati. Cina tetap negara komunis," kata Zhao meyakinkan, "Cina tetap menentang korupsi dari pihak mana saja, borjuasi liberal, kapitalis, feodal, ataupun orang-orang dekaden." Tapi ditegaskannya bahwa pintu Cina akan terbuka lebih lebar, dan pinjaman luar negeri akan ditingkatkan. "Dan kita harus mementingkan efisiensinya," ujarnya lagi. Tampaknya, kubu Deng Xiaoping tidak akan tawar-menawar dalam soal pembaruan ekonomi. Sikap ini ditunjang Repelita periode 1986-1990 yang diterima konperensi secara mutlak. Di situ digariskan kembali beberapa kebijaksanaan: kontrol pemerintah di bidang ekonomi akan terus diciutkan, orientasi pasar dipertajam, dan pengendalian harga dilonggarkan. Beberapa subsidi akan dicabut, misalnya yang terkandung pada harga bahan bakar dan sewa rumah. Tapi di pihak lain pemerintah berjanji akan menaikkan tingkat upah, dan barang keperluan sehari-hari disediakan dalam jumlah cukup. Satu hal lagi: pertumbuhan bidang pertanian dan industri akan dipertahan-kan tidak lebih dari 7% per tahun. Isma Sawitri Laporan Seichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini