"OLD soldiers never die, they simply fade awway." Di Indonesia, serdadu tua itu, yang populer dengan sebutan Angkatan '45, segera setelah hari ulang tahun ABRI ke-40, yang jatuh Sabtu ini, akan mengakhiri masa bakti mereka yang panjang sebagai militer. Barangkali inilah penampilan terakhir mereka dalam seragam hijau. Berapa lagi Angkatan '45 yang masih mengenakan atribut lengkap ABRI ? Laporan Utama kali ini mencoba menampilkan mereka. Kami tak cuma melakukan serangkaian wawancara dengan sejumlah jenderal, Angkatan '45 maupun generasi penerusnya, tetapi juga memperkuatnya dengan riset kepustakaan. Tugas terakhir ini dilakukan oleh koordinator TEMPO di Amerika Serikat, Salim Said, 42, yang tengah merampungkan program doktor pada Ohio State University, Columbus. Tesis yang dipersiapkannya kebetulan menyangkut hubungan antara ABRI dan sipil di masa Perang Kemerdekaan - yang kemudian menjadi bahan Laporan Utama ini. Salim, lulusan Jurusan Sosiologi FISIP UI, sebelum bertolak ke Amerika Serikat, adalah pengasuh rubrik Film dan Luar Negeri TEMPO. Ia memilih tesis tentang ABRI dengan berbagai pertimbangan, di antaranya, selama ini hanya orang asing yang tertarik mengadakan penelitian untuk tujuan serupa. Selain itu, ABRI bukan dunia asing baginya. Ketika peristiwa G-30-S/PKI meletus, Salim, yang waktu itu bekerja sebagai reporter Pemberitaan Angkatan Bersenjata, jadi penunjuk jalan dalam "menguasai" kembali studio RRI dari tangan pemberontak, tak lama setelah gedungnya diamankan pasukan Letda (sekarang: Brigjen) Sintong Panjaitan. Ia kemudian juga aktif meliput operasi yang dilakukan RPKAD (kini: Kopasus) di Jawa Tengah. Aktivitasnya di hari-hari awal penumpasan G-30-S/PKI itu menghasilkan Satya Lencana Penegak bagi dirinya. Dari penelitian yang dilakukannya di pusat arsip Kementerian Pertahanan Belanda, pada Arsip Nasional di Jakarta maupun di Washington, serta serangkaian wawancara dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal (pur.) T.B. Simatupang, sampai Pangab Jenderal L.B. Moerdani, Salim mengaku menemukan banyak hal baru mengenai peran ABRI di masa Perang Kemerdekaan. Bahan-bahan itu memberi warna tersendiri bagi Laporan Utama ABRI kali ini. Yang tak kurang membanggakan Salim - yang diharapkan kembali ke Indonesia Desember depan - dari kesempatan studi di Amerika Serikat ini bahwa ia berkesempatan mengangkat derajat wartawan Indonesia. "Jangan cuma teknokrat yang bergelar doktor, tapi wartawan juga," tekad Salim. Laporan Utama yang diramu dari berbagai sumber ini ditulis oleh Susanto Pudjomartono dan Bambang Bujono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini