Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rekonsiliasi Gaya Fiji

George Speight akhirnya membebaskan semua sanderanya. Namun, ia urung mengincar posisi perdana menteri.

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TETESAN kava, minuman khas Fiji, yang meluncur di kerongkongan Mahendra Chaudhry hari itu memang istimewa. Bukan rasanya yang jadi soal. Tapi, kali ini ia menikmatinya dengan George Speight, orang yang mengudeta lalu menyanderanya selama 56 hari. Acara minum kava bersama, yang menurut tradisi masyarakat Fiji merupakan bagian dari upacara saling memaafkan, memang diselenggarakan George Speight beberapa saat sebelum Chaudhry dan 17 menteri lainnya yang disekapnya dibebaskan.

Pembebasan para sandera yang ditahan sejak 19 Mei itu memang patut disambut gembira. Peristiwa ini merupakan titik terang penyelesaian konflik politik di Fiji yang berlarut-larut. Apalagi, kaum pemberontak telah menyerahkan senjata curian dari gudang senjata militer dekat Suva, yang digunakan untuk menyerang parlemen, kepada pihak militer. Sedangkan Chaudhry menyatakan dirinya tidak merasa sakit hati terhadap Speight. "Saya ini pemaaf," katanya. Namun, benarkah konflik ini akan segera berakhir?

Ternyata acara maaf-memaafkan gaya Fiji tak semudah itu. Speight membebaskan para sandera sesuai dengan skenario yang telah disusunnya.

Sepekan sebelumnya, bekas juragan kayu ini mengadakan pertemuan dengan pemimpin sementara Fiji, Komodor Frank Bainamarama. Hasil pertemuan itu adalah pembubaran pemerintahan sementara yang dibentuk pihak militer pimpinan Bainamarama dan pemberian wewenang Dewan Pimpinan Adat (GCC) untuk memilih presiden dan wakil presiden serta memberi amnesti kepada Speight dan kelompoknya yang melakukan kudeta.

Nah, di sinilah Speight bermain. Untuk jabatan presiden, Speight membisiki GCC agar memilih Ratu Josefa Iloilo—bekas wakil presiden yang juga pendukung setianya. Mudah dipahami musababnya. Bila Iloilo terpilih, anteknya itu akan menunjuk dirinya menjadi perdana menteri.

Dewan yang beranggota 42 kepala suku di Fiji menolak keinginan Speight. Menurut mereka, pemilihan presiden baru bisa dilakukan bila sandera yang masih ditahan dibebaskan. Penahanan sandera itu berarti memperpanjang krisis politik. Speight pun meluluskan permintaan itu.

Setelah sandera dibebaskan, GCC pun menunjuk Iloilo menjadi presiden dan Wapres Ratu Jope Seniloli sebagai wakilnya menggantikan penguasa darurat militer. Di tangan mereka, susunan pemerintahan baru bakal ditentukan. Dan Iloilo tak kan begitu saja melupakan budi baik Speight. "Saya bangga bila mendapat kesempatan mengabdikan diri kepada negara lewat promosi posisi kepemimpinan," katanya.

Namun, ambisi Speight itu mengundang bahaya. Meski menyambut gembira pembebasan sandera tersebut, Australia mengancam akan menjatuhkan sanksi bila susunan pemerintahan baru yang akan terbentuk melibatkan Speight atau pendukungnya. Perdana Menteri Australia John Howard menyatakan, mereka merasa terganggu dengan penghapusan konstitusi multiras yang dilakukan Speight. Konstitusi multiras menjamin demokrasi di negeri itu. Howard pun tak main-main. Melalui telepon, selain menyatakan simpati kepada Chaudhry, dia juga menyinggung rencana Australia menerapkan sanksi kepada negara tersebut.

Ancaman serupa juga datang dari Selandia Baru. Menteri Luar Negeri Phil Goff menyatakan, jika negara itu tidak mengembalikan konstitusi multiras yang dihapus atas tuntutan pemberontak, negaranya akan menghentikan bantuan tahunan kepada negara itu. Mereka juga menganjurkan agar warga asing segera meninggalkan negara tetangganya itu.

Namun, ancaman itu dianggap sepi oleh Speight. Alih-alih manut, ia malah menyarankan agar dua negara itu tidak ikut campur dalam masalah dalam negerinya. Menurut dia, penduduk asli Fiji tidak akan bisa didikte Australia atau Selandia Baru. "Sudah waktunya dunia mulai mendengar kenyataan bahwa rakyat Fiji memiliki hak untuk menentukan masa depan negaranya sendiri," ujarnya.

Kudeta yang dilakukannya semata bukan untuk merebut kekuasaan, tapi juga mengembalikan kekuasaan kepada penduduk pribumi, dan ia berjanji kelak negeri itu tidak akan dipimpin kembali oleh orang India. Menurut dia, upaya mengembalikan kondisi status quo seperti yang terjadi sebelum kudeta pecah akan mengakibatkan negeri itu menghadapi nasib serupa.

Tapi, belum lagi ambisinya terwujud, tiba-tiba Speight menyatakan keinginannya untuk menjadikan Ratu Epeli Kanaimawai menjadi perdana menteri baru Fiji. Lo, ada apa lagi? Boleh jadi hal ini dilakukan untuk mengelak dari ancaman sanksi atau mungkin ia tengah memainkan strateginya.

Yang pasti, ulahnya itu menimbulkan banyak kerugian bagi negerinya. Sejak peristiwa kudeta dua bulan silam, Fiji telah kehilangan pemasukan sekitar US$ 200 juta, yang biasa didapatkan dari kegiatan ekspor dan pariwisata.

Irfan Budiman (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus