Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jim Carden, dosen bidang komunikasi Universitas Deakin, Australia, mengibaratkan kebebasan pers seperti kebebasan pemilik mobil. Begitu seorang mengan tongi lisensi untuk menyetir mobil, dia bebas melenggang di jalan raya tanpa harus khawatir dilarang polisi lalu lintas. Namun, kebebasan itu bukan sembarang bebas, karena dia bertanggung jawab membawa mobil secara benar dan tak membahayakan keamanan jalan. Pendek kata, kebebasan pers dan tanggung jawab pers ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Ilustrasi Jim Carden itu dipaparkan di depan peserta konferensi bertema Ethics in Journalism yang diselenggarakan Yayasan Jurnalis Independen (YJI), organisasi baru sejumlah wartawan idealis, di Hotel Regent Jakarta, Rabu pekan lalu. Konferensi yang dibuka Presiden Abdurrahman Wahid itu menghadirkan beberapa pembicara, antara lain Atmakusumah Astraatmadja (Ketua Dewan Pers Indonesia), Pichai Chuensuksawadi (redaktur The Bangkok Post), Jim Carden, Justice P.B. Sawant (Ketua Dewan Pers India), Jakob Oetama (Pemimpin Umum Kompas, Jakarta) dan Ashadi Siregar (Pengamat Pers, Yogya). Puluhan jurnalis senior juga mengikuti diskusi itu.
Apa yang salah pada Kode Etik Jurnalistik versi PWI, yang diacu banyak pers selama ini? Tidak ada. "Pelaksanaan kode etik itulah yang menjadi persoalan," kata Dhia Phrekasa Yudha, Direktur Eksekutif YJI. Pada era reformasi, yang ditandai dengan euforia kebebasan pers, banyak mediakini berjumlah ratusandianggap melanggar kode etik jurnalistik. Roy T. Pakpahan, Ketua YJI, menunjukkan fenomenanya, antara lain munculnya jurnalisme tafsir yang memublikasikan berita yang tidak bertolak dari realitas faktual. Akibat pelanggaran kode etik itu, sebagian masyarakat menilai pers Indonesia kini hanya mengejar sensasi dan mengabaikan kepentingan publik. Fenomena lain, pers cenderung menjadi partisan dan menjadi corong kepentingan pihak tertentu.
Banyaknya pelanggaran kode etik jurnalistik itu salah satunya karena banyaknya wartawan yang belum memiliki pengalaman yang matang dalam pers tapi bisa segera menduduki posisi yang menentukan kebijakan redaksional. Kemudahan itu dimungkinkan karena di era reformasi sekarang peraturan menyangkut persyaratan menjadi pemimpin redaksi tidak ada, sementara jumlah media massa ratusan. Jam terbang yang rendah itu penyebab kekurangmatangan seorang pemimpin redaksi. "Baru empat tahun menjadi wartawan bisa menduduki posisi pemimpin redaksi. Ini kan ngaco," kata Dhia Phrekasa Yudha.
Selain itu, persaingan bisnis media yang semakin keras juga menjadi salah satu faktor yang mendorong merebaknya pelanggaran kode etik jurnalistik. Dhia menunjukkan contoh yang dilakukan sebuah grup media yang dikenal ekspansif dengan menanamkan modal untuk koran di berbagai kota. Dhia menengarai grup media itu memodali dua koran yang berbeda segmen dan misinya, untuk membuat berita yang membela kepentingan kelompok masing-masing. Cara itu dipakai, menurut Dhia, sekadar untuk mencari keuntungan. "Ini kan gila," kata Dhia.
Rendahnya komitmen sebagian pers Indonesia terhadap etika jurnalistik belakangan ini agaknya menjadi pencetus kekerasan dan kecaman yang dilakukan publik terhadap lembaga pers. "Berbagai bentuk kekerasan terhadap media itu merupakan klimaks ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pers," kata Roy dalam konferensi itu.
Walau pelanggaran terhadap rambu dianggap bagian dari sesuatu yang alamiah bagi media, penegakan etika jurnalistik harus selalu diupayakan. Dan itulah yang dilakukan YJI, yayasan yang dibentuk oleh, antara lain, pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi yang gigih memperjuangkan kebebasan pers di era "Orwellian" Soeharto. Program YJI lebih menekankan pembenahan profesionalisme wartawan melalui pendidikan. Program itu berbeda dengan AJI, yang menekankan pada pembentukan jaringan. "Kedua organisasi itu saling melengkapi," kata Hasudungan Sirait, Koordinator Program YJI.
Selain itu, YJI menjadikan koran Indonesia Raya yang dibredel pemerintahan Soeharto pasca-Peristiwa Malari 1974 sebagai model pers yang ideal. Koran yang didirikan wartawan senior Mochtar Lubis itu dinilai berani menuturkan realitas faktual. YJI merumuskan enam prinsip etika jurnalistik: kebenaran, akurasi, wacana, transparansi, kebebasan, dan tanggung jawab. Masalahnya: apakah pers Indonesia mau berbenah diri?
Kelik M. Nugroho,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo