SEMBILAN raja dan empat gubernur yang bersidang di Kota
Kinabalu pulang ke kota masing-masing dalam suasana lesu.
Sementara itu, di Kuala Lumpur, orang makin asyik bicara tentang
bertambah tajamnya krisis konstitusi. Itu tak lain karena
konperensi di Kinabalu, yang ditutup 13 Oktober, gagal mencatat
keputusan yang berarti. Memang ada disebut konperensi membahas
masalah nasional dan agama, tapi itu sekadar penutup rasa
kecewa, khususnya, para sultan di Malaysia.
Golongan bangsawan di Tanah Semenanjung itu kini sedang
dihadapkan pada masalah konstitusi yang sederhana, tapi bisa
memojokkan mereka. Tepatnya, mengecilkan arti mereka di mata
undang-undang. Meski tidak diberitakan lewat koran-koran
Malaysia, isu itu - yang dibantah keras oleh Perdana Menteri
Mahathir Mohamad - berkembang cepat selama dua bulan terakhir.
Asal-muasalnya, bulan Agustus lalu, parlemen Malaysia dengan
mayoritas UMNO, partai Mahathir, mengesahkan sebuah amendemen
untuk konstitusi. Inti amendemen itu: semua rancangan
undang-undang dengan sendirinya sah sebagai UU dalam waktu 15
hari sesudah disetujui parlemen, baik dengan atau tanpa
ditandatangani oleh Yang Dipertuan Agung.
Kata-kata "tanpa tanda tangan Yang Dipertuan Agung" ternyata
berbuntut panjang. Hampir semua sultan di negeri itu resah
dibuatnya. Ini mestinya tidak terjadi andai kata isi amendemen
lebih dulu dibicarakan Mahathir dengan Yang Dipartuan Agung
Sultan Ahmad Shah. Kalaulah ada "lobi" demikian, menurut para
pengamat, tangan Sultan pasti lebih ringan untuk membubuhkan
tandatangan. Kini amandemen itu kini sudah dua bulan di- "peti
es "-kan, sementara Yang Dipetuan Agung terbaring sakit akibat
serangan jantung.
Pendapat lain bahwa Sultan Ahmad Shah, terkenal dengan julukan
"raja yang merakyat", bukanlah pribadi yang sukar. Masalahnya,
ia berada dibawah tekanan beberapa sultan yang menolak
amendemen. Kabarnya, sultan Johor dan Perak paling keras
menentang. Mengapa?
Dalam pandangan sultan Johor dan Perak, amendemen itu pada
hakikatnya membatasi wewenang Yang Dipertuan Agung dalam
perundang-undangan. Betulkah? "Sebenarnya tidak ada kekuasaan
yang dibatasi, karena kekuasaan itu sendiri memang tidak ada,"
kata Mahathir. Sebegitu jauh, belum ada sultan yang secara resmi
menyatakan keberatannya atas amendemen itu. Mahathir
menambahkan, amendemen tidak punya pengaruh apa-apa terhadap
para sultan, kecuali Jika salah seorang di antaranya menjadi
Yang Dipertuan Agung.
Jabatan Yang Dipertuan Agung - kepala negara Malaysia - bergilir
lima tahun sekali di antara sembilan sultan. Sultan Ahmad Shah
akan mengakhiri masa jabatannya April depan. Calon pengganti
terkuat adalah sultan Johor atau sultan Perak. Dalam kaitan
krisis konstitusi, konon, yang didengar nasihatnya oleh Yang
Dipertuan Agung hanyalah sultan Kedah dan sultan Perlis -
keduanya pernah jadi raja Malaysia.
Silang pendapat sekitar amendemen itu tidak terungkap ke luar
sampai Tengku Abdul Rahman angkat bicara. Sebagai bekas PM dan
orang yang ikut menyusun UUD, ia berkomentar, "Tatkala menyusun
UUD tahun 1957, kami berkonsultasi dengan semua lapisan
masyarakat, tidak terkecuali keturunan Cina dan India. Tapi
ketika mereka mengajukan amendemen UUD itu, mereka tidak
memberi kesempatan yang cukup bagi rakyat untuk
mempertimbangkannya."Tengku menyesalkan cara Mahathir memproses
amandemen yang, katanya, dilakukan begitu saja tanpa pemberi
tahuan. "Jika cara begini di praktekkan perdana mentri. Malaysia
bisa berubah jadi republik, secepat amandemen itu berlaku
sebagai UU."
Tengku, jago tua yang berasal dari keluarga bangsawan itu,
akhirnya berkata, "Jika bermaksud mempreteli kekuasaan raja-raja
atau mengamendir UUD, bentuklah komisi untuk itu. Ini akan
mencegah pertentangan antara kalangan kerajaan dan pemerintah.
Sekarang ini tiap pertentangan buruk akibatnya
untuk Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini