Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Resah di istana

Beberapa sultan menolak amandemen untuk konstitusi (uud), dipandang akan membatasi wewenang yang dipertuan agung dalam perundang-undangan. (ln)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBILAN raja dan empat gubernur yang bersidang di Kota Kinabalu pulang ke kota masing-masing dalam suasana lesu. Sementara itu, di Kuala Lumpur, orang makin asyik bicara tentang bertambah tajamnya krisis konstitusi. Itu tak lain karena konperensi di Kinabalu, yang ditutup 13 Oktober, gagal mencatat keputusan yang berarti. Memang ada disebut konperensi membahas masalah nasional dan agama, tapi itu sekadar penutup rasa kecewa, khususnya, para sultan di Malaysia. Golongan bangsawan di Tanah Semenanjung itu kini sedang dihadapkan pada masalah konstitusi yang sederhana, tapi bisa memojokkan mereka. Tepatnya, mengecilkan arti mereka di mata undang-undang. Meski tidak diberitakan lewat koran-koran Malaysia, isu itu - yang dibantah keras oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad - berkembang cepat selama dua bulan terakhir. Asal-muasalnya, bulan Agustus lalu, parlemen Malaysia dengan mayoritas UMNO, partai Mahathir, mengesahkan sebuah amendemen untuk konstitusi. Inti amendemen itu: semua rancangan undang-undang dengan sendirinya sah sebagai UU dalam waktu 15 hari sesudah disetujui parlemen, baik dengan atau tanpa ditandatangani oleh Yang Dipertuan Agung. Kata-kata "tanpa tanda tangan Yang Dipertuan Agung" ternyata berbuntut panjang. Hampir semua sultan di negeri itu resah dibuatnya. Ini mestinya tidak terjadi andai kata isi amendemen lebih dulu dibicarakan Mahathir dengan Yang Dipartuan Agung Sultan Ahmad Shah. Kalaulah ada "lobi" demikian, menurut para pengamat, tangan Sultan pasti lebih ringan untuk membubuhkan tandatangan. Kini amandemen itu kini sudah dua bulan di- "peti es "-kan, sementara Yang Dipetuan Agung terbaring sakit akibat serangan jantung. Pendapat lain bahwa Sultan Ahmad Shah, terkenal dengan julukan "raja yang merakyat", bukanlah pribadi yang sukar. Masalahnya, ia berada dibawah tekanan beberapa sultan yang menolak amendemen. Kabarnya, sultan Johor dan Perak paling keras menentang. Mengapa? Dalam pandangan sultan Johor dan Perak, amendemen itu pada hakikatnya membatasi wewenang Yang Dipertuan Agung dalam perundang-undangan. Betulkah? "Sebenarnya tidak ada kekuasaan yang dibatasi, karena kekuasaan itu sendiri memang tidak ada," kata Mahathir. Sebegitu jauh, belum ada sultan yang secara resmi menyatakan keberatannya atas amendemen itu. Mahathir menambahkan, amendemen tidak punya pengaruh apa-apa terhadap para sultan, kecuali Jika salah seorang di antaranya menjadi Yang Dipertuan Agung. Jabatan Yang Dipertuan Agung - kepala negara Malaysia - bergilir lima tahun sekali di antara sembilan sultan. Sultan Ahmad Shah akan mengakhiri masa jabatannya April depan. Calon pengganti terkuat adalah sultan Johor atau sultan Perak. Dalam kaitan krisis konstitusi, konon, yang didengar nasihatnya oleh Yang Dipertuan Agung hanyalah sultan Kedah dan sultan Perlis - keduanya pernah jadi raja Malaysia. Silang pendapat sekitar amendemen itu tidak terungkap ke luar sampai Tengku Abdul Rahman angkat bicara. Sebagai bekas PM dan orang yang ikut menyusun UUD, ia berkomentar, "Tatkala menyusun UUD tahun 1957, kami berkonsultasi dengan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali keturunan Cina dan India. Tapi ketika mereka mengajukan amendemen UUD itu, mereka tidak memberi kesempatan yang cukup bagi rakyat untuk mempertimbangkannya."Tengku menyesalkan cara Mahathir memproses amandemen yang, katanya, dilakukan begitu saja tanpa pemberi tahuan. "Jika cara begini di praktekkan perdana mentri. Malaysia bisa berubah jadi republik, secepat amandemen itu berlaku sebagai UU." Tengku, jago tua yang berasal dari keluarga bangsawan itu, akhirnya berkata, "Jika bermaksud mempreteli kekuasaan raja-raja atau mengamendir UUD, bentuklah komisi untuk itu. Ini akan mencegah pertentangan antara kalangan kerajaan dan pemerintah. Sekarang ini tiap pertentangan buruk akibatnya untuk Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus