Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM genap satu tahun melakoni tugas barunya sebagai Menteri Kehakiman Brasil, Sergio Moro sudah menuai gugatan hukum. Empat pengacara mendesak Moro dicopot dari kursi menteri karena dianggap telah berkolusi dengan jaksa dalam Lava Jato alias Operasi Cuci Mobil, penanganan kasus korupsi terbesar di Negeri Samba.
Dalam permohonan gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Federal Kota Sao Paulo, Jumat, 14 Juni lalu, para pengacara tersebut, yakni Sean Hendrikus Kompier Abib, Eduardo Samoel Fonseca, Anderson Bezerra Lopes, dan Gilney Melo, merujuk pada bocoran transkrip percakapan antara Moro dan sejumlah jaksa federal yang pernah terlibat dalam penyelidikan Lava Jato.
Moro, dalam bocoran pesan pribadi yang dilansir The Intercept, disebut menasihati para jaksa yang menangani Lava Jato. Kasus megakorupsi ini telah menyeret politikus berbagai partai ke meja hijau. Bekas presiden Luiz Inácio “Lula” da Silva turut terseret hingga harus mendekam di penjara.
“Terjadi pelanggaran etika serius dan kolaborasi terlarang secara hukum antara hakim dan jaksa yang tahun lalu menghukum serta memenjarakan mantan presiden Lula atas tuduhan korupsi, sebuah hukuman yang menyebabkan Lula dianulir dari pemilihan presiden 2018,” tulis The Intercept.
Lava Jato dimulai pada Maret 2014 sebagai penyelidikan kasus pencucian uang di Negara Bagian Parana di barat daya Brasil. Polisi dan jaksa setempat menangkap pemilik stasiun pengisian bahan bakar umum Carlos Habib Chater dan menuduhnya menjalankan bisnis dengan pelaku pencucian uang Alberto Youssef, yang membeli mobil Range Rover untuk mantan eksekutif di perusahaan minyak negara, Petrobras, Paulo Roberto Costa. Setelah diciduk dan menjalani hukuman, Youssef dan Costa bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk menguak skema korupsi masif dengan Petrobras sebagai simpulnya dan melibatkan sederet perusahaan kontraktornya, terutama di industri konstruksi, seperti Odebrecht.
Pelan tapi pasti, Sergio Moro, hakim federal yang saat itu kurang kondang di Parana, membongkar kasus penyuapan politikus hingga pendanaan ilegal partai-partai politik, yang duitnya bersumber dari penyelewengan kontrak-kontrak Petrobras senilai puluhan miliar dolar Amerika Serikat. Bersama jaksa federal Deltan Dallagnol, yang memimpin penuntutan, Moro menjebloskan satu per satu pelaku ke bui.
Makin mendalam pengusutan kasus ini, orang-orang yang terseret makin membeludak. Puluhan eksekutif perusahaan dan politikus, termasuk anggota Partai Pekerja dan sekutunya yang saat itu tengah berkuasa, ikut tergulung. Operasi Cuci Mobil berperan besar memantik gelombang sentimen negatif terhadap rezim sayap kiri di Brasil, yang dipimpin Lula da Silva selama 2003-2011 dan diteruskan Dilma Rousseff hingga pemakzulannya pada 2016.
Sebaliknya, nama Moro melejit. Rakyat Brasil, kecuali mereka yang loyal kepada Lula dan Partai Pekerja, mengelu-elukan pria 46 tahun ini sebagai pahlawan antikorupsi. Presiden Jair Bolsonaro menunjuknya sebagai Menteri Kehakiman hanya sebulan setelah politikus sayap kanan itu dinyatakan memenangi pemilihan presiden pada Oktober 2018. Bolsonaro mengakhiri 14 tahun kekuasaan rezim sayap kiri setelah menyingkirkan kandidat pengganti Lula, Fernando Haddad, yang popularitasnya nyungsep.
Tapi puja-puji untuk Moro tak berumur panjang. Begitu The Intercept memuat serangkaian beritanya mulai 10 Juni lalu, Moro menjadi sasaran kritik dan kecaman. Senat meminta keterangan Moro pada Rabu, 19 Juni lalu, yang ia tanggapi dengan percaya diri. Dia mengklaim sebagai korban peretasan oleh organisasi kriminal, yang menurutnya harus bertanggung jawab atas kebocoran data komunikasi pribadinya.
“Mereka berbuat ini untuk merusak upaya antikorupsi, yang bukan merupakan pencapaian saya atau jaksa, melainkan rakyat Brasil,” tutur Moro kepada para senator. Moro, yang memimpin pengadilan Operasi Cuci Mobil hingga tahun lalu, menolak desakan mundur. “Saya tak menyembunyikan apa pun.”
The Intercept berupaya mengungkap motif politik di balik gencarnya penyelidikan Operasi Cuci Mobil. Dari beberapa sumber anonim, portal berita yang tayang sejak Februari 2014 ini memperoleh arsip berisi kumpulan transkrip obrolan pribadi, rekaman audio, video, foto, risalah persidangan, dan dokumen lain. “Mereka mengungkap kesalahan serius, perilaku tidak etis, dan penipuan sistematis tentang hak publik, baik di Brasil maupun di dunia internasional,” tulis The Intercept dengan Glenn Greenwald sebagai salah satu jurnalisnya. Greenwald pernah meliput pelarian bekas analis Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), Edward Snowden, di Hong Kong pada 2014.
Media itu antara lain menyoroti sejumlah teks yang diduga dipertukarkan melalui aplikasi pesan instan Telegram pada Mei 2017 dan menunjukkan perkataan Moro yang menyarankan tim jaksa—salah satunya Carlos dos Santos Lima—melancarkan kampanye publik melawan Lula da Silva, yang tengah menjadi pesakitan dalam kasus korupsi yang dibongkar Lava Jato. Moro saat itu hakim yang memimpin pengadilan Lula.
“Mungkin, besok, Anda harus menyiapkan siaran pers untuk menunjukkan ketidakkonsistenan dalam argumen Lula,” Moro bertutur. Dalam transkrip obrolan lain terlihat bagaimana Moro seolah-olah mengarahkan penuntutan agar Lula dapat divonis bersalah karena telah menerima unit apartemen di tepi pantai sebagai suap dari sebuah perusahaan konstruksi. Lula menyatakan dakwaan itu tak dapat dibuktikan, tapi Moro tetap memvonisnya bersalah dan menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara.
Keputusan Moro itu berimbas tidak hanya pada Lula dan Partai Pekerja, tapi juga pada lanskap politik Brasil. Lula, yang kembali maju sebagai calon presiden, didiskualifikasi Pengadilan Tinggi Pemilihan Umum pada 31 Agustus 2018. Padahal dia saat itu kandidat paling kondang, dengan popularitas mencapai 39 persen. Adapun Jair Bolsonaro, pesaing terdekatnya, hanya meraup 19 persen.
Jika tidak tersandung penyelidikan Lava Jato, Lula diperkirakan menang telak dan kembali menjadi presiden. Dengan begitu, dia bakal mempertahankan kekuasaan rezim sayap kiri di Negeri Samba. Tapi, setelah namanya dicoret, harapan itu sirna. Hasilnya bisa ditebak: Bolsonaro menang mudah.
Dari balik jeruji besi, Lula tak mampu mendongkrak perolehan suara Fernando Haddad, kandidat presiden penggantinya. Vonis terhadap Lula kadung menggerus reputasi Partai Pekerja dan kandidat yang diusungnya. “Kasus yang dibangun melawan Lula punya lebih banyak lubang ketimbang keju Swiss yang bolong-bolong,” ujar jurnalis Brasil, Brian Mier. Menurut dia, tidak ada bukti materiel yang menghubungkan Lula dengan kejahatan apa pun.
Moro berkukuh menyatakan tak berpihak selama mengadili kasus Lula. Ihwal tudingan kongkalikong dengan tim jaksa dalam mengatur strategi untuk memenjarakan Lula, Moro mengatakan tradisi hukum Brasil tidak melarang kontak pribadi antara hakim, pengacara, detektif, dan jaksa. “Jenis komunikasi seperti itu benar-benar normal,” ucapnya, yang diiyakan oleh Deltan Dallagnol.
Belum terungkap sejauh mana dugaan keterlibatan Bolsonaro dalam residu pahit penyelidikan Lava Jato. Tapi presiden 64 tahun itu gigih menyokong Moro. “Apa yang telah dia lakukan tidak ternilai harganya,” kata Bolsonaro. Masyarakat diperkirakan juga cenderung membela Moro karena, menurut Luiz Claudio Araujo, profesor hukum dari Ibmec University, isu antikorupsi selalu menyedot dukungan publik.
MAHARDIKA SATRIA HADI (THE INTERCEPT, RIO TIMES, FOLHA DE SAO PAULO)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo