Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANKER Front Altair yang mengangkut minyak mentah dari Uni Emirat Arab itu sedang berada di perairan Selat Hormuz saat mendapat serangan misterius kala fajar baru menyingsing, Kamis, 13 Juni lalu. Lambung kapal berbendera Marshall Islands tersebut terbakar hebat, menciptakan asap tebal hitam yang bahkan juga terlihat dari satelit di luar angkasa.
Front Altair membunyikan alarm tanda bahaya. Sinyalnya diterima kapal Angkatan Laut Amerika Serikat USS Bainbridge, yang berada sekitar 64,3 kilometer jauhnya. Sekitar 38 menit kemudian, sinyal darurat serupa datang dari tanker berbendera Panama, Kokuka Courageous. Kapal pengangkut metanol dari Arab Saudi dan Qatar ini robek di bagian lambung kanannya akibat serangan misterius serupa.
Serangan ini berdampak seketika: harga minyak dunia naik 4 persen. Daftar tanker yang menjadi korban serangan saat melintas di area perairan yang dijuluki nadi ekonomi global itu pun bertambah panjang. Kawasan Teluk Oman melalui Selat Hormuz selebar sekitar 33,8 kilometer menuju Teluk Persia merupakan rute pelayaran kapal pengangkut sekitar sepertiga pasokan minyak mentah dunia dan hampir seperlima pasokan gas alam internasional.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menuding Iran berada di balik serangan itu. Iran membantah dan menyebut tudingan tersebut sebagai “Iranofobia”. Pompeo melontarkan tuduhan serupa ketika pada 12 Mei lalu empat tanker berbendera Arab Saudi, Norwegia, dan Uni Emirat Arab diserang secara misterius di Teluk Oman atau lepas pantai Fujairah, Uni Emirat Arab.
Serangan-serangan itu terjadi di tengah ketegangan hubungan Amerika dan Iran dalam soal kesepakatan nuklir 2015. Berbeda sikap dengan Rusia, Cina, dan beberapa negara Eropa, Amerika di bawah Presiden Donald Trump keluar dari kesepakatan itu tahun lalu. Trump juga kembali menghidupkan sanksi ekonomi terhadap Negeri Mullah itu secara bertahap pada tahun lalu dan secara penuh pada tahun ini.
Menurut New York Times, banyak pakar mempertanyakan tudingan Trump bahwa Iran harus bertanggung jawab atas serangan terbaru ini. Namun sebuah konsensus telah muncul di antara pejabat pemerintah sejumlah negara Barat bahwa Iran adalah pelaku serangan terhadap empat tanker di Teluk Oman pada bulan lalu.
Para pakar mengatakan Teheran mungkin mencari cara untuk membalas -Washington, tapi juga menghindari serangan balik militer secara langsung. Mengganggu tanker di teluk itu, tulis New York Times, seperti menghukum Amerika dengan menaikkan harga minyak sekaligus memberikan manfaat tambahan bagi Iran karena meningkatkan pendapatannya dari penjualan minyak.
Amerika berusaha meyakinkan dunia dengan menyodorkan bukti. Dalam siaran pers beberapa jam seusai serangan itu, juru bicara pangkalan militer Amerika yang menjaga kawasan tersebut, US Central Command, Kapten Bill Urban, menyatakan mereka mengetahui ada masalah setelah salah satu anggota armadanya, USS Bainbridge, menerima sinyal permintaan bantuan.
Begitu Front Altair terbakar, 23 awaknya meninggalkan kapal dan diselamatkan oleh kapal motor Hyundai Dubai. Menurut Urban, pada pukul 09.26, Iran meminta Hyundai Dubai menyerahkan para kru itu. Hyundai Dubai lantas menyerahkan mereka, yang terdiri atas 11 orang Rusia, 11 orang Filipina, dan 1 warga Georgia. Setelah dua hari di Iran, mereka diterbangkan ke Dubai, Uni Emirat Arab.
Urban mengungkapkan, 21 awak tanker Kokuka Courageous, meski kerusakannya lebih ringan daripada Front Altair, meninggalkan kapal setelah menemukan ada ranjau limpet yang belum meledak di lambung kapal seusai ledakan awal. Ranjau limpet adalah peledak yang biasanya dipasang penyelam dan diledakkan menggunakan pemicu atau pengatur waktu.
Mereka kemudian diselamatkan kapal tunda Coastal Ace. Menurut versi militer Amerika Serikat, kapal patroli Iran, Hendijan, terlihat berusaha mendekati Coastal Ace, tapi USS Bainbridge tiba lebih dulu dan kemudian membawa awak itu. Setelah menginap semalam di kapal perang perusak tersebut, mereka kembali ke tanker esok harinya. USS Bainbridge lalu membantu menarik Kokuka Courageous keluar dari perairan itu menuju lepas pantai Fujairah. Front Altair juga ditarik ke perairan yang sama oleh operatornya.
US Central Command menyodorkan bukti foto dua lubang di tanker Kokuka Courageous dan ranjau limpet serta videonya, yang diunggah ke YouTube. Video hitam-putih dengan durasi 1 menit 39 detik itu menggambarkan sebuah kapal yang disebut sebagai milik Iran yang mendekati tanker Kokuka Courageous dan mencopot ranjau limpet yang tidak meledak. Setelah itu, kapal bergegas pergi.
Video hitam-putih itu memantik beragam komentar dari pengguna YouTube. “Apakah Angkatan Laut Amerika sering merilis rekaman militer dalam hitungan jam (setelah peristiwa) di YouTube?” Akun lain mengatakan, “Angkatan Laut Amerika yang malang. Mereka tidak punya uang untuk memiliki kamera yang layak.” Namun ada akun yang menyebut video itu palsu dan menyatakan, “Saya masih ingat video yang ditunjukkan Collin Powel kepada dunia soal Irak memiliki senjata kimia.”
Pada 2003, dalam presentasi di depan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Collin Powell menyodorkan bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, yang menjadi dalih Amerika untuk menyerangnya. Menurut seorang analis di Washington Post, hingga perang berakhir pada 2011, tidak ada senjata pemusnah massal yang ditemukan di Irak.
Namun Donald Trump menjadikan video di YouTube tersebut sebagai bukti nyata keterlibatan Iran. “Iran melakukannya. Kau lihat kapal itu,” kata Trump dalam wawancara di program Fox & Friends, Jumat, 14 Juni lalu.
Dengan merilis video itu, tulis Washington Post, Amerika ingin menyatakan bahwa Iran hendak menghapus bukti yang dapat menghubungkan mereka dengan serangan tersebut. Ihwal gambar yang hitam-putih, menurut juru bicara Armada Ke-5 Angkatan Laut Amerika, Joshua Frey, video itu diambil dari helikopter MH-60 Seahawk dengan kamera inframerah yang merekam panas.
Kokuka Sangyo, operator tanker Kokuka Courageous, berpendapat bahwa serangan berasal dari benda terbang. “Kru kami mengatakan kapal itu diserang oleh benda terbang,” tutur Presiden Kokuka Sangyo Yutaka Katada. Pendapat ini berbeda dengan keterangan militer Amerika, yang yakin bahwa ledakan di tanker itu disebabkan oleh ranjau limpet.
Perwira dari US Central Command, Sean Kido, menyebutkan ledakan di dua tanker tersebut lebih cocok dengan serangan ranjau limpet. Ranjau itu menghantam lambung dan memicu kebakaran. Dari penempatan ranjau di atas batas air, kata dia, “Tampak bahwa niatnya bukan untuk menenggelamkan kapal.” Kido menambahkan, ranjau itu mirip dengan yang telah ditampilkan secara publik dalam parade militer Iran.
Misi Iran di Amerika Serikat menolak berkomentar dan hanya merujuk pada pernyataan Menteri Pertahanan Iran Jenderal Amir Hatami, yang mengatakan tuduhan terhadap Teheran itu “benar-benar bohong” dan dimaksudkan untuk menodai citra Iran. Menurut media Iran, Fars, Hatami mempertanyakan keaslian video. “Tanggal dan lokasi yang ditunjukkan dalam rekaman belum dikonfirmasi,” ucapnya.
Teheran menyalahkan negara-negara sekutu Amerika di Timur Tengah sebagai pelaku serangan. Kepala staf militer Iran, Mayor Jenderal Mohammad Hossein Baqeri, menyebutkan Iran dapat menutup Selat Hormuz pada siang bolong jika ingin melakukannya, bukan melalui serangan rahasia. “Jika Iran bermaksud menghentikan ekspor minyak dari Teluk Persia, itu akan dilakukannya secara penuh dan diumumkan secara terbuka.”
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyatakan tudingan Amerika itu “melompat” dan terdapat unsur “sabotase diplomasi” karena pada hari yang sama ada pertemuan Perdana Menteri Jepang Abe Shinzo dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei yang mencoba membuka dialog antara Teheran dan Donald Trump. Khamenei menolak gagasan itu dengan mengatakan, “Saya tidak menganggap Trump layak menerima pertukaran pesan apa pun.”
ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, WaASHINGTON POST, THE GUARDIAN, JAPAN TODAY, THE MARITIME EXECUTIVE)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo